logo mak-adang.com

Arsip (9): SOSOK Harian Kompas 27 Juni 20232, halaman 16.

 Dr. Andi Mulya, S.Pd., M.Si.     28/06/2023    Arsip 1   130 Views

Jon Eddi, Renjana dan Inovasi Peternak Ayam Petelur.

Berawal dari sebuah peternakan kecil di tahun 1999, Jon Eddi (53) berhasil menjadikan PT Radja Poultry Shop sebagai peternakan ayam petelur beromzet miliaran rupiah setiap bulan. Pencapaian itu tidak mudah.

Jon Eddi (53) adalah sarjana Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Padang, Sumatera Barat. Namun, kecintaan dan semangat untuk terus belajar dan berinovasi mengantarnya menjadi peternak ayam petelur sukses di kampungnya di Kabupaten Limapuluh Kota. Dia terus menebar inspirasi bagi peternak lain dan meneruskan berkah bagi warga sekitar.

”Saat ini saya sudah punya sekitar 500.000 ayam petelur. Tersebar di 12 titik. Total karyawan 265 orang,” kata Jon Eddi saat ditemui di lokasi peternakannya di Jorong Katinggian Guguak VIII Koto, Kecamatan Guguak, Kabupaten Limapuluh Kota, Selasa (13/6/2023).

Jon tidak datang dari keluarga berlatar peternak ayam. Orangtuanya adalah pegawai negeri sipil. Meski demikian, di kampungnya, sejak 1980-an banyak muncul peternakan ayam tradisional. Kegemaran Jon pada ayam laga pun ikut menumbuhkan ketertarikannya ke bisnis ternak ayam sejak muda.

 

Pada saat yang sama, ia melihat, menjadi PNS tidak selalu jadi jaminan kesejahteraan. Kedua orangtuanya yang PNS ternyata tetap kesulitan memenuhi kebutuhan hidup Jon dan saudara-saudaranya. ”Saya bertekad untuk berbisnis ayam petelur, berharap dari sana bisa memperbaiki kehidupan keluarga,” kata Jon.

Pekerja memindahkan telur ayam yang baru dipanen di peternakan ayam petelur PT Radja Poultry Shop di Kecamatan Guguak, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, Selasa (13/6/2023). Peternakan ayam petelur itu menggunakan tenaga listrik untuk mesin pemberi makan otomatis dan penyemprot air untuk menjaga suhu tubuh ayam.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Pekerja memindahkan telur ayam yang baru dipanen di peternakan ayam petelur PT Radja Poultry Shop di Kecamatan Guguak, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, Selasa (13/6/2023). Peternakan ayam petelur itu menggunakan tenaga listrik untuk mesin pemberi makan otomatis dan penyemprot air untuk menjaga suhu tubuh ayam.

Setelah meraih gelar sarjana pendidikan di Universitas Negeri Padang (UNP) pada 1994, Jon tidak langsung berbisnis ayam petelur karena terkendala modal.

Ia menganggur sekitar setahun sebelum akhirnya mengikuti program magang manufaktur di Jepang pada 1996 selama dua tahun. Di sana, ia mengumpulkan modal dan belajar tentang dunia bisnis. Sepulang dari Jepang, tak menunggu lama, Jon mulai merintis usahanya pada 1999.

Tanah warisan neneknya ia gunakan untuk membangun kandang pertama. Awalnya, ia hanya memelihara 1.200 ayam dengan modal Rp 80 juta. Semua pekerjaan kala itu dilakukan secara manual bersama satu karyawan.

”Tidak seperti sekarang (yang sudah mulai terotomatisasi), dulu di awal, kalau mau kasih makan ayam satu per satu, harus pakai tangan,” kata Jon.

 

Peternakan ayam petelur PT Radja Poultry Shop di Kecamatan Guguak, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, Selasa (13/6/2023).

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Peternakan ayam petelur PT Radja Poultry Shop di Kecamatan Guguak, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, Selasa (13/6/2023).

Saat memulai bisnisnya, Jon tak langsung berhasil menembus pasar. Ia terlebih dulu menjual telurnya ke agen-agen di Kota Payakumbuh. Baru pada 2001, Jon mulai menyentuh pasar Riau, lalu meluas ke wilayah lain di Sumatera Barat dan Sumatera, hingga Jakarta sejak 2010.

 

Usaha peternakan Jon pun tumbuh pesat dari 1.200 ayam menjadi 500.000 ayam. Omzetnya juga otomatis bertambah. Saat ini, setiap bulan ia bisa mengantongi hingga Rp 10 miliar, tumbuh berkali-kali lipat dari keuntungan awal yang hanya Rp 2 juta per bulan.

Strategi

Salah satu prinsip Jon adalah tak berhenti belajar dan berinovasi. Tidak hanya peternakan ayam petelur, ia melebarkan usahanya untuk mengisi kebutuhan hulu hingga hilir. Dari pabrik pengolahan pakan ayam petelur, pabrik kawat untuk pembuatan kandang ayam, hingga pabrik pembuatan kertas telur.

Pada 2021, ia meninggalkan genset untuk operasional usahanya, beralih sepenuhnya memakai listrik dari PT Perusahaan Listrik Negara (PLN).

 

Mesin pemberi pakan konvensional yang masih digunakan di sebagian kandang di peternakan ayam petelur PT Radja Poultry Shop di Kecamatan Guguak, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, Selasa (13/6/2023).

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Sebelumnya, selama 20 tahun, Jon menjalankan peternakan dengan mesin genset berbasis diesel. Listrik ia gunakan hanya untuk penerangan. Sejak 2021, Jon sepenuhnya beralih ke listrik. Tidak hanya untuk penerangan, tetapi juga otomatisasi pada pemberian pakan.

Karyawannya cukup memencet tombol di mesin operator, maka ransum berisi campuran jagung, dedak, dan konsentrat itu otomatis terdistribusi ke seluruh unit kandang melalui sistem instalasi yang dia buat sendiri. Dalam waktu dekat, tidak hanya pakan, otomatisasi juga akan digunakan untuk pengambilan telur.

Ketimbang membeli mesin jadi, Jon dan pekerjanya merakit mesin sendiri. ”Kami pelajari lalu merancang semua sendiri, bisa hemat sampai separuh harga pasaran,” kata Jon.

 

Tak berhenti sampai di situ, ia kini tengah membangun kandang dengan sistem closed-house atau tertutup, perbaikan dari kandang saat ini yang masih terbuka meski sudah terotomatisasi.

Ayam petelur di peternakan ayam petelur PT Radja Poultry Shop di Kecamatan Guguak, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, Selasa (13/6/2023).

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Pria yang kerap diminta memberi kuliah umum di berbagai universitas itu mengatakan tak pernah berhenti belajar dari peternak lain di sekitarnya sejak awal mendirikan usaha hingga sekarang.

 

Ia juga belajar dari berbagai negara, seperti Malaysia, Thailand, dan Korea Selatan. ”Saya studi banding di dalam dan di luar negeri. Apalagi, perkembangan dunia peternakan sangat cepat. Kalau tidak studi banding, rasanya seperti berjalan di lorong gelap,” kata Jon.

Jalannya tak selalu mulus. Dengan dinamika industri perunggasan dalam negeri yang penuh tantangan, tak jarang ia harus menekan margin profit dan bahkan merugi. Apalagi, harga jual telur kerap terjun bebas, tak sebanding dengan biaya produksi.

Ketika harga telur anjlok dan peternak lain membuang atau membagi-bagikan telur secara gratis sebagai bentuk protes, Jon tetap mengirim telur ayam kepada pedagang offtaker di sejumlah daerah. Untuk itu, ia harus menjual rugi telur-telurnya untuk menjaga agar alur pasokan tidak terputus.

Jon bisa saja mengalihkan pengiriman ke daerah lain yang harga telurnya sedang lebih tinggi. Namun, ia memilih tidak melakukan itu untuk menjaga ceruk pelanggan.

Peranti untuk menyalakan mesin pemberi pakan otomatis bertenaga listrik di peternakan ayam petelur PT Radja Poultry Shop di Kecamatan Guguak, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, Selasa (13/6/2023).

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Untuk menjaga agar biaya produksi tidak terlalu tinggi dan kerugian yang ditanggung tidak terlalu berat, Jon pun harus memutar akal. Salah satunya adalah memanfaatkan lahan kosong di sekitar lokasi kandang untuk menanam jagung sebagai bahan baku pakan. ”Kami tanami ladang-ladang yang kosong di sekitar sini supaya seluruh prosesnya aman dari hulu ke hilir,” katanya.

Berbagi dan belajar

Kesuksesan tak dinikmati Jon sendiri. Seiring dengan usahanya yang berkembang, ia turut menciptakan lapangan kerja yang layak bagi warga sekitar. Saat ini, Jon mempekerjakan 265 orang di 12 titik peternakan ayam miliknya. Ia juga menyediakan rumah kecil atau mes di lokasi peternakan bagi pekerjanya. ”Biasanya, suami dan istri sama-sama ikut bekerja di sini,” katanya.

Keputusannya beralih dari peternakan berbasis diesel menjadi listrik ikut menciptakan efisiensi ongkos produksi. Sebagian uang kas yang berhasil dihemat itu pun dialihkan untuk menaikkan upah harian dan mendaftarkan pekerjanya ke program jaminan sosial ketenagakerjaan.

 

foto

Pekerja melintas di peternakan ayam petelur PT Radja Poultry Shop di Kecamatan Guguak, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, Selasa (13/6/2023).

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Atas kiprahnya, pada tahun 2021, Jon mendapat penghargaan sebagai Wirausaha Tangguh dari PT PLN, menduduki posisi nomor dua sebagai peternak mandiri berskala kecil menengah yang konsisten beroperasi, berinovasi, dan menghidupi warga sekitar di tengah pukulan pandemi Covid-19.

Bagi Jon, mencapai titik saat ini tidak mudah. ”Kesuksesan itu memerlukan pengorbanan. Keringat dan air mata. Tak bisa secara instan,” kata ayah dari tiga anak ini.

Ia juga belajar dari berbagai pengalaman yang memukul usahanya. Pada 2005, misalnya, serangan flu burung membuatnya kehilangan 4.000 ayam. ”Kami rugi, tetapi dari situ kami belajar berhati-hati. Mungkin karena manajemen dan biosecurity kami kurang. Setelah itu kami tingkatkan, termasuk vaksinasi ayam harus lengkap,” tutur Jon.

Jon tidak mau banyak perhitungan untuk urusan berbagi ilmu. Ia pun sering memberi bimbingan ke peternak lain yang meminta masukan darinya. Bagi Jon, beternak adalah renjana, rela dilakukan tanpa terlalu banyak berhitung untung-rugi.

”Saya tidak takut ada saingan karena semakin banyak kita memberi, itu akan kembali lagi ke kita. Lagi pula, kalau memang sudah passion, orang lain mau mencontoh pun belum tentu bisa mengikuti kalau mereka tidak punya passion yang sama,” ujarnya.

Lagi pula, kalau memang sudah passion, orang lain mau mencontoh pun belum tentu bisa mengikuti kalau mereka tidak punya passion yang sama.

H Jon Eddi

Lahir: Katinggian Lima Puluh Kota, 18 Januari 1970

Pendidikan terakhir: Sarjana Jurusan Pendidikan Kepelatihan Olahraga Universitas Negeri Padang (1994)

Penghargaan:

Juara II Nasional Wirausaha Tangguh 2021 PLN

10 Orang Alumni Terbaik dari Fakultas Ilmu Keolahragaan UNP

Editor: DAHONO FITRIANTO

 


One thought on “Arsip (9): SOSOK Harian Kompas 27 Juni 20232, halaman 16.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *