Toko Papa di Pasar Swakarya dibuka pukul 08.00 dan ditutup pukul 21.00. Bila siang tiba, Papa pulang makan ke rumah dengan berjalan kaki 5 menit. Lalu berangkat lagi setelah makan dan shoolat zuhur sekitar 1 jam di rumah. Saat pulang ada Badrul, anggota kedai yang menjaga toko. Kemudian sore nanti Uda Bad—panggilannya– akan pulang untuk mandi dan sekaligus makan malam.
Malam hari Papa kadang kala magrib di toko. Makan malam dititip ke Da Bad de-ngan rantang dibawa kantong asoi (kresek). Nanti setelah toko ditutup, Papa baru pulang. Malam hari Papa menonton tivi di depan apotik Cinta Sehat. Ada tivi milik kelurahan yang ditaruh dipinggir jalan dan semua yang lewat boleh menonton dengan berdiri atau duduk beralas karton atau sandal sendiri.
Papa berada di Toko dari Ahad sampai Sabtu. Nyaris tidak pernah libur. Mengapa Papa punya waktu untuk bertukang-tukang di rumah? Bila dirasa ‘bulan tanggung’ (penghujung bulan) yang sepi, Papa me-nyerahkan toko ke Da Bad. Ia berada di rumah meng-isi kegiatan, ganti olahraga agar berkeringat.
Selain bertukang-tukang, Papa juga mengolah tanah di belakang rumah. Rumah petak ini dari Jalan Obor Utama menjulur sampai ke jalan Sumur Ladang. Tanah karena masih murah dijual bukan per meter. Tapi peratu jalur namanya.
Dari rumah petak di depan ini terus ke belakang ada kebun dan tebat ikan, kemudian ada banda (parit) melintang ditengahnya ada kebun lagi, baru rumah pemilik rumah. Pak Haji pemilik rumah kini tinggal di Komplek Caltex. Rumah itu dihuni oleh saudaranya, yang kami panggil Pak Gaek. Pak Gaek tinggal dengan dua anak lelaki, yang konon adalah anak atau cucu angkat yang keduanya yatim piatu. Bila pak Gaek bertani, Can dan Nang ikut membantu.
Papa ikut pula bercocok tanam di belakang rumah. Luasnya lebih kurang tiga meter sesuai ukuran lebar rumah petak. Lalu memanjang ke belakang lima sampai enam meter sampai berbatas dengan satu pohon kelapa.
Papa menanam cabe dan terung. Sekelilingnya dipagar dengan pelepah pohon kelapa kering. Di pinggir ada dua batang pohon pepaya. Diantara tiang diselip pohon singkong untuk diambil daunnya yang disebut pucuk ubi, atau cuk ubi.
Bila lelah mencangkul tanah, Papa duduk di dapur sambil maunjua, artinya selonjoran. Pada saat itu ia suka bercerita sambil minum air putih dan the panas.
“Siko Waang,” panggilnya yang berarti sini kamu.
Papa ternyata ingin mengisahkan sesuatu. Ia me-ngambil satu buku yang sudah agak lama tentang perjuangan revolusi.
Siapa pengarang buku itu? Prof Amura, tampak dari halaman kulit buku itu. Apakah Papa kenal dengan guru besar itu?
“Tidak,” jawabnya.
“Ada yang ingin Papa ceritakan ke Waang (kamu) di luar dari isi buku itu,” lanjutnya.
Oh, saya jadi semangat duduk didekatnya. Apalagi ada gambar bamboo runcing di kulit buku, cerita kepahlawanan yang menarik.
Papa lalu berkisah: “Waktu Papa berumur 8 tahun, kelas dua Sekolah Rakyat, tahun 1948, di kampung halaman kita terjadi pegolakan revolusi.” Kacama-tanya ia seka karena basah tertimpa keringat. Saya duduk bersila makin padat.
Lalu.
Sejumlah pemuda di Koto Kaciak dan beberapa pemuda lain di Nagari Keramat berlatih ala militer di Gudang. Mulai senja hari mereka sudah berkumpul dan siap berlatih. Pengajarnya adalah para pejuang yang sebagian mereka adalah ulama juga ahli bela diri silat Kumango.
Gudang adalah lapangan sepakbola yang luas, dan gelap karena belum ada penerangan seperti sekarang. Walau banyak yang ikut berlatih beladiri militer, mereka tidak kelihatan karena gelap. Sebagian anak-anak seusia Papa dan sekolah yang lebih tinggi berkumpul juga ke Gudang. Mereka ingin melihat latihan tersebut.
Tidak terlihat karena bersembunyi di antara lapau atau kedai makanan, juga ada yang duduk dekat ladang di samping Gudang.
“Dengan siapa Papa ke sana?” saya bertanya.
“Dengan Nazir, kawan sekampung kecil Koto Kaciak,” jawab Papa. Bila hendak ada latihan militer pemuda, Natsir memberitahu, karena abangnya Jumhur pasti akan ikut. Papa bergerak ke Gudang setelah Jumhur dan kawan-kawannya dari Koto Kaciak meluncur ke bekas penyimpanan kopi Belanda itu.
Biasanya Nazir akan mengode (isyarat) Papa untuk siap-siap berangkat. Bermodal kain sarung karena udara malam yang dingin di pegunungan, Papa seperti mengendap-endap ke Gudang.
Dari jauh terlihat Jumhur dan Mukhtar, teman sebayanya dari Koto Kaciak berjalan menuju Baruah, menurun jenjang lalu ke Tanah Tumbuah. Terus melintas untuk sampai ke Congkiang, lurus terus ke arah Batusangkar. Tak jauh dari Congkiang ada Puskesmas. Di depannya adalah lapangan Gudang. Kini di sana ada Puskesmas, SD dan lapangan bola yang semuanya disebut dengan Gudang.
Tuan Jumhur, begitu Papa dan temannya pak Natsir memanggil saudara tuanya itu. Dari kejauhan dan gelap ia tampak tinggi tegap. Orangnya juga gagah. Ia berpakaian hitam, pakaian pendekar Kumango. Bambu runcing sepanjang dua meter berada digenggamnya. Ia berjalan tenang dan berkumpul di Gudang.
Demikian Papa menggambarkan peristiwa masa kecil di kampung.
Apakah Papa ikut berlatih militer?
“Tidak pernah. Tapi Jumhur dan Mukhtar ini perlu Waang (kamu) tahu,” lanjutnya.
Begini kisahnya kemudian.
Pada awal Desember 1948, telah tersiar kabar bahwa Presiden Soekarno akan berkunjung ke India. Ia akan singgah di Bukittinggi diperkirakan sebelum 19 Desember 1948. Akan tetapi senja sehari menjelang tanggal itu pesawat udara meraung-raung di atas kota Padang Panjang dan Bukittinggi.
Orang mengira itulah tanda kedatangan Presiden Soekarno. Tapi Ahad subuh tanggal 19 Desember itu rakyat terkejut karena adanya pamphlet “politicioneel actie,” dari pihak Belanda. Agresi militer Belanda ke II secara total dimulai.
Ternyata kemudian diketahui pesawat Belanda itu jenis Catelina yang bisa mendarat di air. Sudah pasti ia menjadikan Danau Singkarak sebagai tempat mendarat. Pesawat Catelina dikawal oleh beberapa pesawat Mustang terus memuntahkan peluru ke sekitar danau. Mereka mencoba masuk Sumani, tapi gagal. Demikian pula dari Lubuk Alung mereka mereka tertahan karena Tentera dibantu pemuda Indonesia memiliki pertahanan kooh di sekitar Gunung Tandikek, dan Gunung Singgalang.
Suasana makin genting. Sejumlah Resimen Rakyat di Padang Panjang telah bersiap siaga. Sebagaian penduduk hendak mengungsi. Palang Merah Indonesia aktif membantu para pejuang.
Petang hari diperoleh kabar bahwa Belanda telah masuk Teluk Kabung, Air Sirah dan Lubung Alung. Tiga titik untuk mengepung kota Padang, namun tujuannya adalah merebut Bukittinggi.
Di kecamuk revolusi itu, Jumhur dan Mukhtar berangkat dengan rombongan pemuda ke Padang.
Semangat pemuda terbakar untuk mempertahankan kemrdekaan RI, 17 Agustus 1945. Jumhur dan Mukhtar berhasil melewati Padang Panjang. Ia terus menuju Lubuk Alung untuk mempertahankan wilayah Republik dari pendudukan Belanda.
Pada satu subuh yang pekat, terjadilah pertempuran di Tabing, pintu masuk kota Padang dengan Bandaranya itu.
Jumhur dan Mukhtar gugur terkena peluru Belanda. Ia berhasil diselamatkan resimen yang disebut Harimau Kuranji. Bersama para suhada lain, ia dimakamkan di Makam Pahlawan Kuranji, Padang Selatan.
Bersama dengan Jumhur dan Mukhtar, kata Papa, ikut pula dimakamkan di sana Bagindo Aziz Chan.
Sewaktu muda, Papa bekerja di Padang, Nazir teman sebaya Papa dan satu tuannya Abu Bakar yang mengajar di Fakultas Ekonomi Unand, pernah menziarahi makam Jumhur dan Mukhtar.
“Sayang mereka setelah pulang dari Kuranji baru memberi tahu, padahal Papa mau ikut,” ucap Papa.
Nah kini tak ada lagi yang akan ingat tentang dua pemuda Koto Kaciak yang pahlawan revolusi itu. Hanya tinggal kenangan oleh orang saisuak (dulu) jalan masuk ke Koto Kaciak dari gerbang Bawah Cubadak diberi nama jalan Suhada.
Demikian pula Surau Tabiang di kiri jalan ke Koto Kaciak seberang Sawah Gadang, juga diberi nama Surau Suhada.
Walau kita tak punya apa-apa, lanjut Papa, tapi masih ada kebanggaan berasal dari kampung pahlawan. Walaupun orang kini tak ada lagi mengingatnya.
“Apakah Papa di Padang juga kuliah sama seperti Mak Adang dan Mak Datuk?” sergap saya.
“Tidak,” katanya menutup buku sejarah itu.
“Dari dulu Papa hanya pandai berdagang,” sambung Papa lagi.
Oh Papa memang tidak orang sekolahan. Mungkin ia hanya rajin membaca. Saya berkata begitu dalam hati.***