logo mak-adang.com

Catatan Harianku (1412): PAK ARIE DAN PAK BAKHTIAR

 Dr. Andi Mulya, S.Pd., M.Si.     31/03/2025    Alumni,Catatan Harianku,Kaba Ari ko 1   89 Views
Catatan Harianku (1412): PAK ARIE DAN PAK BAKHTIAR
PAPAN TULIS: Dituliskan, dibaca Pak Bakhtiar. Bila sudah paham keluar dua jempol (foto:dok andi mulya)

Oleh : Dr. Andi Mulya S.Pd., M.Si

Penulis Ensiklopedia Olahraga Indonesia/Peneliti Jurnalistik Olahraga

Catatan Harian ini sudah dimuat di laman efbi saya. Dimuat di sini agar mudah diakses lebih luas, sebagaimana permintaan Pak Arie. Salam redaksi Mak Adang.com. Selamat membaca. ***

PAPAN TULIS: Dituliskan, dibaca Pak Bakhtiar. Bila sudah paham keluar dua jempol (foto:dok andi mulya)

Mak-adang.com, JAKARTA.

Kepada Pak Arie, atau Aryadie Adnan lengkapnya, saya pernah belajar statistik 2, tahun 1993. Sudah lama sekali. Kemudian sekitar tahun 2011, bersama Pak Ishak Aziz (Al-Fatihah) saya bertemu Pak Arie di UNJ. Sepulang dari acara di Yogyakarta kalau tak salah.

Baik dikata, Pak Arie juga anggota Tim Prof. Mestika Zed (Al-Fatihah), seorang sejarahwan yang sangat rendah hati dan idealis. Saya sudah mengenal Prof. Mes sejak tahun 1992. Akrab, baik dan sederhana. Itu kesan saya. Bersama Pak Arie, Prof. Mes memimpin Pusat Studi Kajian Kebijakan Ekonomi dan Sosial.

Singkat cerita, saya banyak berkomunikasi dengan Pak Arie. Saling kontak bila ke Padang, termasuk menjawab kata sambah-manyambah (yang ringan-ringan saja) di facebook satu kali. Kebetulan Pak Arie, dan beberapa dosen bergelar Datuk. Diantaranya Pak Apri Agus, yang tempo hari saya telpon, spontan : “Assalamualaikummm Pak Datuakkk.” Beliau pun tertawa panjang.

Beberapa kali ke Jakarta, saya bertemu dengan Pak Arie, termasuk satu kali datang ke rumah saya di Citayam. Satu hal yang saya senang dari Pak Arie, ia orang olahraga yang sangat eksakta.

Pak Arie merancang sendiri dengan rumah bagus Selly, putrinya di Depok. Saat saya datang, pembangunan sedang berlangsung. Kemaren, saat mampir ke rumah Pak Arie, saya merasakan sirkulasi dan pencahayaan yang sangat bagus di sini. Satu hal yang ‘mahal’ di Jakarta bagi yang tidak mengerti cara membangun rumah.

Ternyata Pak Arie lulusan STM Bukittinggi. Kemudian melanjutkan ke FPOK IKIP Jogyakarta.

USAI BERBUKA. Bersama Pak Bachtiar dan Keluarga (foto: dok arie)

Silaturahim
Kini Pak Arie sudah setahun pensiun dari FIKK UNP. Sepuluh hari yang lalu dia meminta waktu agar bersilaturahim ke rumah Pak Bachtiar, dosen Kepelatihan dan sebelum saya masuk, menjadi Dekan.

“Sudah lima tahun Pak Bakhtiar di sini, cuma saya, Pak Yunus (Dr. Junusul Hairy) dan beberapa dosen senior aja yang melihat. Mana alumni, mana dulu mahasiswa yang banyak itu,” kata Pak Arie. Saya membayangkannya di sini.

Seperti saya yakini selama ini, HP memang memudahkan kita, tapi belum tentu mendekati kita.

Akhirnya, Sabtu kemaren, saya sekeluarga menjemput Pak Arie ke Depok dan berbuka bersama di Cipinang Elok.

Saya yakin Pak Bakhtiar tahu saya. Tapi saya sangat maklum, murid sangat banyak dan sudah terlalu lama. Apalagi usia Pak Bakhtiar sebaya papa saya, lahir tahun 1938.

Jadi kini Pak Bakhtiar sudah berumur 87 tahun. Sehat dan kuat, mata terang, cuma kalau bicara harus dikeraskan agar terdengar. Saya maklum karena papa juga begitu. Malah mata papa tidak seterang Pak Bakhtiar.

Pak Arie sudah beritahu saya, Pak Bakhtiar sangat bersemangat berbicara tentang pembangunan olahraga Sumbar. Beliau lama membesarkan PBVSI dan 10 tahun wakil ketua KONI Sumbar, era Azwar Anas.

“Di maso ambo. Sumbar tak pernah di bawah 10 besar di PON,” katanya. Saya sangat paham itu, dimana masa reformasi rangking Sumbar di PON kemunduran bahkan pernah 5 besar dari belakang.

Pak Bakhtiar tampak sangat gembira. Dari sana saya tahu putra putri, menantu dan cucu Pak Bakhtiar, termasuk satu anak perempuan lulusan UI yang bermukim di Jerman.

Untuk memudahkan bicara, saya menulis ke papan otomatis. Setiap mengerti usai membacanya Pak Bakhtiar mengangkat dua jempolnya.

Sedih juga sewaktu kami tertawa bersama, jika ada yang diceritakan, Pak Bakhtiar hanya diam. Tidak bisa mengikuti.

Satu jam usai berbuka kami pamit, termasuk menyalami Ibuk yang masih dirawat di rumah.

Nama Baik.
Dalam perjalanan pulang, saya kira jalanan Jakarta sudah lengang. Ternyata lumayan tersendat di Kramat Jati. Itu pula yang terjadi, Pak Arie dan saya bercerita banyak hal.

Tahun 1983 setelah lulus, kata Pak Arie, ia dipanggil Prof. Arma Abdullah, Dekan FPOK IKIP Yogyakarta.

“You mau jadi dosen di Padang, nanti ketemu Pak Bakhtiar, setelah ketemu saya telpon beliau,” begitu cerita awal Pak Arie jadi dosen. Pak Bakhtiar semasa jadi Dekan mengatakan ke Pak Arma, yang juga orang awak, siap menerima alumni Yogya yang mau pulang ke Padang.

Itulah jasa Pak Bakhtiar. Peduli dan memberi kesempatan luas bagi mahasiswa dan alumni yang potensial untuk memajukan Sumbar.

Begitu menghadap, jelas Pak Arie, Pak Bakhtiar menanyakan nilai mata kuliah teori : statistik, tes pengukuran, dan penelitian.

Sedangkan mata kuliah lapangan ada softball dan tenis. Semuanya nilai Pak Arie A.

“Ha langsung aja ngajar itu,” perintah Pak Bakhtiar. Pada saat itu dosen FPOK tercatat baru 27 orang.

Wawancara hari Jumat, hari Senin sudah langsung disuruh mengajar. Begitu perintah Pak Bakhtiar.

Alamatnya Pak Arie menjadi dosen bagi sebagian mahasiswa yang sudah berumur lebih tua. Sebagian besar dosen yang diangkat besar-besaran usai itu, pernah diajar Pak Arie. Waktu Prof Yanuar Kiram masih mahasiswa, Pak Arie sudah jadi dosen.

“Banyak mahasiwa yang basisunguik, sehingga saya boleh dipanggil Pak, Mas, atau Abang. Bebas.”

Jadi dari sejarah mahasiswa FPOK memanggil Dosen Abang, sampai ke era saya tahun 1989. Bukan hanya ke Da Awan Wijaya, mahasiswa teladan yang waktu itu sudah asisten beberapa mata kuliah. Tapi juga ke yang jauh di atas, seperti Bang Era, nama lengkap Rasyidin Kam.

Kedekatan masa itu, baik senior dan dosen masih saya rasakan. Masih ada Opspek. Akrab karena di masa Opspek mudah mengenal dsn mengkatagori senior yang petantang-petenteng, atau intelektual, dan pemimpin penuh berisi.

Di Amerika Serikat, sejak saya lulus, beberapa angkatan sebelum dan di atas saya tidak ada yang diterima jadi dosen. Peluang waktu itu memang kecil. Termasuk da Awan Wijaya. Lulus terbaik dan penulis kolom olahraga di Singgalang, aktif dan menjadi Ketua Silat Tribela, bagai terpinggirkan.

USAI itu banyak dosen yang diterima. Banyak pula yang disebut putra-putri alumni terbaik. Sangat terkejut karena Fakultas sangat tumbuh dan berkembang. Walau ada juga yang kecewa dengan kondisi sekarang. Termasuk salah satu seperti Pak Arie bilang, silaturahim.

Buka Puasa saya di keluarga Pak Bakhtiar ini, membawa saya bagai datang ke kampus yang dulu sangat saya banggakan. Tentu saja mereka para dosen dan senior inilah yang mengerti dan tahu saya. Bukan hebatnya saya. Tapi rasa sedih saat silaturahim itu nol.

Wallahu alam.

Selamat Idul Fitri
Maaf Lahir Batin.


One thought on “Catatan Harianku (1412): PAK ARIE DAN PAK BAKHTIAR

  1. Aryadie Adnan says:

    Ijin share ke grup lain ya Andi, banyak tulisan yang tersirat dalam tulisan ini, apakah bisa dimaknai oleh semua orang, kita coba aja

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *