Cerita 2
Di Facebook telah memuat cerita 2 ini, namun dengan perbaikan dan lebih lengkap. Selamat membaca.
***
Ayah Gaek adalah panggilan saya kepada kakek yang bernama lengkap Rasyidin Sutan Parhimpunan. Tapi kepada kami jarang dipanggil orang Nagari sebagai cucu Datuak Idin atau Rasyidin. Melainkan lebih familiar bahwa kami adalah cucu Juru Tuli.
Juru tuli dalam bahasa Indoonesia adalah juru tulis, karena era Nagari sedang maju Ayah Gaek menjabat sebagai sekretaris nagari. Sering terjadi kemenakannya memanggil Ayah Gaek Mak Idin Juru Tuli atau Tuak Idin Juru Tuli. Juru tuli tak lepas dari namanya.
Ayah Gaek mungkin hanya sampai kelas 2-3 Sekolah Rakjat, begitu tulisannya dalam ejaan lama. Tapi tulisan tangan halus kasar yang sangat rapi. Bila menulis, ia menggunakan pena dengan ibu jari dan tulunjuk yang dimiringkan ke kanan. Pena seolah-olah rebah bak bambu di lereng bukit. Cara ini secara anatomis lebih ringan untuk menulis rapi dan dalam waktu lama. Ayah Gaek sebagai sekretaris Nagari Keramat ini harus menulis banyak surat, dokumen dan laporan.
Mak Datuk, Prof. Husni Rasyid bergelar Datuk Paduko Sinaro pernah menceritakan tentang hal ini. Ayah Gaek termasuk sibuk bekerja dan menjadi andalan administrasi nagari di saat belum ada mesin tik apalagi komputer, laptop, bahkan internet seperti sekarang.
Meski berada di kampung, perlintasan di kota utama di Sumbar, yakni Batusangkar ke Bukittinggi/ Payakumbuh, namun Ayah Gaek bekerja tak mengubahnya seperti pegawai tinggi di kota besar. Ia memakai peci, yang agak miring ke kiri, karena tidak tersedia kaca seperti di banyak toilet. Memakai pakaian putih dengan balutan jas warna gelap. Sering pula kain Bugis digulung dan dibalutkan ke leher, untuk melawan hawa dingin Gunung Merapi. Suhu kala itu bisa dibawah 20 derajat Celsius.
Banyaknya tugas menulis Ayah Gaek, seperti diulang Mak Datuk, tampak dari banyaknya peta yang ia bawa di pangkuan tangan kirinya. Sedang tangan ditempatnya memegang tongkat warna coklat dari rotan besar, yang bentuknya seperti huruf J terbalik. Tongkat itu diletakkan di belakang pintu depan agar mudah Ayah Gaek mengambilnya bila pergi.
Ayah Gaek, kata Mak Datuk sangat bersih dan rapi. Wajahnya putih, aura kebaikan terpancar darinya yang lembut.
“Apakah karena kulitnya putih Mak?” tanya saya kala itu.
“Tidak sekedar itu, Ayah orang yang lurus dan bersih,” kata Mak Datuk.
Kemudian hari saya baru paham ucapan Mak Datuk, mengapa Ayah Gaek tampil bersih meskipun ia birokrat yang punya izin penting di nagari.
Ayah Gaek menjadi birokrat yang mengabdi setulus hati. Cenderung tidak ada gaji seperti sekarang. Malah yang terjadi sebaliknya, Ayah Gaek harus tetap menjamu tamu nagari, termasuk bila harus menyediakan makan di Rumah Kayu Piliang, rumah masa kecil kami.
Terkait itu Mama menceritakan, Mak Tuo, nenek kami, sengaja menangkap ayam di roban (=kandang) untuk dipotong. Perlakuan ini adalah ajaran Islam yang tinggi dalam menghargai tamu. Rumah-rumah orang Minang dulu tak tega membiarkan tamu yang datang masih lapar saat keluar rumah.
Ada atau tiada anggaran resmi, seperti operasional pemerintah seperti sekarang, makan bagi tamu wajib tersedia di rumah.
Menjadi birokrat sama dengan menjadi Ninik Mamak di Minangkabau. Ia memberi bukan mengambil. Ia menghubungkan bukan memutuskan. Menambah menjadi berkah, bukan mengurangi menjadi laknat dan sumpah.
Kembali ke ucapan Mak Datuk, Ayah Gaek tidak tinggi semampai, tapi juga tidak kecil dan pendek. Bila turun dari jenjang kantor Wali Nagari, jalannya pelan dan tenang. Penuh wibawa. Gagah sekali.
“Satu saat bilo Waang lah gadang, cari foto Ayah tu,” perintah Mak Datuk kala itu.
Berkali-kali saya pulang kampung, termasuk saat Rumah Kayu sudah kosong tiga puluh tiga tahun lamanya, tidak ada foto Ayah Gaek berjas rapi itu saya temukan.
Saya ingat mengapa sangat penting foto itu. Kata Mak Datuk, gaya Ayah Gaek di depan kantor itu mengalahkan gaya banyaknya guru besar saat ini.
Ohh.
***
Goreng Puyuh dari Sawah.
Di rumah kayu, Ayah Gaek tidur di ruang tengah dekat jendela. Saya ingat harus memanjat ke dipannya untuk bisa naik dan duduk di dekatnya karena dipan itu di atas perut saya yang masih Balita, hampir setinggi dada.
Pukul 20.00 lewat semua lampu sudah dipadamkan. Mama dan Etek sudah masuk ke kamar usai Isya. Makan malam biasanya bersama-sama petang hari. Ini juga cara yang mudah untuk menyediakan hidangan makan karena belum ada listrik yang cukup terang seperti sekarang. Tidak ada pemasak nasi apalagi seperti rice cooker. Nasi ditanak di tungku kayu dalam.periuk besi yang tebal. Bila terlambat mengangkat atau mengaduk keraknya bisa setebal kue talam.
Petang hari saat nasi dengan asap bakabun-kabun, begitu bahasa Mama, makan bersama langsung digelar. Malam sangat panjang di Nagari Keramat.
Udara dingin membuat mata cepat mengantuk. Tidak ada yang kuat menahan dingin apalagi terbiasa tidur di awal malam. Selimut tebal yang dibeli papa dari Singapura menjadi kawan tidur yang hangat. Warnanya putih berbunga hijau dengan pinggirnya ada list dari bahan seperti pita yang berkilat. (Selimut ini masih ada di kampung pada akhir Februari lalu, untung bisa diselamatkan, tidak masuk ke api saat bersih-bersih dengan berempat dengan teman Aziz).
Ayah Gaek biasanya masih zikir sebelum tidur. Walau Rumah Kayu sudah sepi. Tapi dari pukul 02.00 sampai menjelang Subuh Ayah Gaek terbangun dan duduk di dipannya usai sholat tajahud. Zikirnya lama diikuti melantunkan ayat Al-Qur’an.
Tak jarang kami, bertujuh cucunya kala itu ada yang terbangun, Ayah Gaek yang mengasuh dan menidurkanya malam itu. Ayah Gaek menggendong semua cucunya di pangkuannya sambil terus mengaji. (lihat novel 1 dan 2 Mak Adang dari Nagari Keramat dan Mak Adang dan Tragedi Bunga Setangkai). Banyak yang meyakini lantunan zikir dan doa Ayah Gaek adalah terapi penerang hati. Membuat otak cerdas, kalau bahasa sekarang.
Usai subuh Ayah Gaek sudah mandi. Ini cara sehatnya karena selama tidur tubuh mengeluarkan toksin atau racun sehingga mandi sebelum Subuh membuat orang sangat sehat.
Ayah kemudian beristirahat sebentar sambil minum teh atau kopi lalu makan pagi. Tidak sarapan seperti lontong atau goreng-gorengan seperti sekarang.
Ayah Gaek kemudian pergi ke Sawah dan Ladang baik milik keluarga besar kami, peninggalan Penghulu Datuk Paduko Sinaro, maupun milik Ibunya, Ande Chaniago. Ayah Gaek mengolah semuanya secara adil, mana yang hak anak, mana hak keluarga besarnya, atau milik kemanakannya.
Mama menceritakan walau Ayah Gaek bukan sarjana atau Doktor pertanian, tapi semua yang ia tanam besar dan ranum. “Lado, bawang, tomat nan ditanam Ayah, sadoo godang-godang,” artinya cabe dan sayur-sayuran yang ditanam Ayah Gaek besar-besar hasilnya.
Ayah Gaek membawa sendiri pupuk dari tahi ayam di roban yang telah dikeringkan ke sawah. Bertani, kata Ayah Gaek satu kali, sama dengan beribadah. Satu saat Nak, lanjutnya, bila tak ada lagi yang mau ke sawah, tanda-tanda Nagari kita akan hancur. Termasuk manusianya akan miskin.
Entah dari mama Ayah Gaek memahami seperti teori ilmu sosial seperti itu.
Satu petang Ayah Gaek pulang dari sawah Menjan Panjang. Satu dari delapan sawah yang ukurannya cukup luas di keluarga kami. Letaknya tak jauh dari rumah ke arah Gunung Merapi. Sawah milik keluarga yang hasilnya diambil bertahun-tahun secara tidak sah oleh orang kampung itu.
Mengapa tidak sah. Karena sawah adalah milik kaum perempuan dan laki-laki punya hak mengelola. Mengambil jasa dan upahnya sesuai keringat yang ia keluarkan. Keringatnya yang keluar itulah hasil yang halal baginya.
Ayah Gaek menyerahkan ke saya bungkusan dari daun keladi. Sudah lecet karena digulung dan tertimpa perkakas lain dalam karungnya.
“Ini, tadi ada puyuh terkena sabit,” kata Ayah Gaek. Mama lalu menggorengnya. Dengan nasi panas dan daging puyuh yang lunak dan garing di atas pinggan kanso/belek berbunga, saya makan enak petang itu. Pas dengan badan yang segar usai mandi di Sungai Jariang.
Goreng puyuh kenangan tak terlupakan saya kepada Ayah Gaek sebagai anak Balita.
****
Naik Haji.
Dalam dokumen keberangkatan haji Ayah Gaek, (disalin apa adanya) tertulis sebagai berikut:
Naama pelamar tjalon Hadji: Rasjiddin St. Parhimpunan
Umur 63 tahun
Tinggi 148 cm
Ciri-ciri: Tahi lalat di dada
Tempat lahir dan tempat tinggal Rao-Rao
Pekerjaan Pamong Nagari Rao-Rao
Keterangan tentang kemampuan : mampu
Sudah/belum naik Hadji: Belum
Diangkut dengan Polisi/Pengadilan: T ida k. Pembelian
saham dari PT Arafat : Rp. 50.000 : no rek. 15 tanggal 30-9-1965.-
Rao-Rao 18 Oktober 1965
Kepala Nagari Rao-Rao
Iljas Sutan Bidjajo
Npv. 11605
Ada topi
KEPALA NAGARI
RAO-RAO
KECAMATAN SUNGAI TARAB
DASWATI II
T.DATAR.
Panitia Pendaftaran Ketjamatan
Sj. seorang Dt Nago Basa
Di sebelah kiri dibawah foto tertulis Tanda Tangan taak tiga djari tengah tangan kiri
Pelamar Calon Hadji
Mak Tuo kala itu tercatat berusia 55 tahun. (bersambung)
