logo mak-adang.com

Catatan Harianku (1025) EDI WIRMAN: KETUA UKIK

 Dr. Andi Mulya, S.Pd., M.Si.     23/02/2023    Alumni   180 Views

Mak Adang.com memuat  perjalanan dan silaturahim ke Bukittinggi lebih setahun  lalu.

***

Sabtu petang di Jam Gadang, Bukittinggi, 22 Januari 2022. Inilah pertama kali bersua Uda Edi Wirman, setelah berpisah sejak 1993. Jadi hampir 30 tahun tidak bertemu dengan ketua Unit Kegiatan Ilmiah Ko-Kurikuler (UKIK) itu.

Sebelumnya info tentang Da Edi saya peroleh dari Group WA Lapak Gadang. Kumpulan para aktivis IKIP Padang tahun 1990-an. Beberapa kali saya sempat menelpon dan bercerita tentang kenangan masa lalu. Juga tentang keluarga.

Saya mengenal Da Edi tahun 1990, sebagai anggota baru UKIK. UKIK adalah organisasi mahasiswa pemikir, karena kegiatannya antara lain latihan Metodologi Penelitian. Masuk sebagai anggota juga ada syarat nilai Indeks Prestasi (IP).

Kala itu ada masa orientasi setiap hari Sabtu, menghadirkan–diantaranya–Dr. Nurtain. Sebelum pembina UKIK itu datang, Da Edi memimpin orientasi. Ada dua orang yang ditunjuk bicara. Yosi dari mahasiswi, kemudian saya mewakili Mahasiswa. Tempatnya adalah kelas antara kantor Rektor dan Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM).

Usai itu UKIK juga mengadakan acara rekreasi ke Taman Hutan Raya Bung Hatta. Saya menjadi orang yang mengacaukan acara di saat ramah tamah. Soalnya ada satu senior yang ulang tahun. Lalu ada drama sedikit seolah-olah acara itu tidak becus. Ketua panitia, yang berbadan gempal mendatangi saya, seperti mengaku salah. Acara seakan deadlock. Lalu saya mengambil mikropon dan berkata : “ikuti saya.” Saya menyanyikan lagu selamat ulang tahun. Semua langsung cair. Mengucapkan selamat kepada senior itu.

Usai itu, langkah menjadi aktivis di kampus makin terbuka buat saya. Pada semester lima, saya mewakili jurusan Kesehatan Rekreasi (Kesrek), untuk fotmatur pemilihan Senat Mahasiswa (Sema) FPOK.

Hanya tiga orang. Yakni saya angkatan 89, uda Junaidi Nur (87) dari Pendidikan Olahraga dan Mas Sulaiman (87) dari Kepelatihan..

Saat melangkah ke gerbang kampus, Junaidi Nur mengode saya seolah-olah kita satu arah. Pilihlah saya, seolah itu yang ingin ia katakan. Lalu kami terus masuk ke ruang kelas. Dari jendela tampak Cafeteria dan lapangan basket.

Rapat tidak mungkin menunjuk saya sebagai ketua. Pertama jauh junior. Kedua jurusan yang mahasiswa sedikit. Kesrek juga dianggap ‘anak manis.’ Apalagi jumlah mahasiswi seimbang dengan mahasiswa. Di Jurusan lain, mahasiswi boleh dihitung dengan jari sebelah tangan.

Sekitar pukul 10.00 pagi itu. Mas Sulaiman lalu menyerahkan kepada saya, siapa yang pantas jadi ketua. “Karena Andi yang paling muda, Andi lah yang memilih,” Mas Sulaiman mempersilahkan.

Spontan siapa yang saya pilih, itulah yang jadi, karena saya bukan calon ketua Sema. Saya langsung memilih Uda Junaidi Nur.

Mengapa? Saya telah melihat selama ini pengurus Senat dipimpin oleh Kepelatihan. Kepel merasa sangat superior. Saya ingin ada perubahan paradigma. Makanya saya menunjuk Uda Jun.

Sah, detik itu beliau terpilih sebagai ketua Senat. Lalu Ketua I, Mas Sulaiman sportif menunjuk saya. “Melihat gaya bicaranya, saya pilih Andi jadi ketua I,” katanya.

Saat itu ada tiga ketua. Ketua I bidang penalaran, ketua II (kok bisa lupa saya), dan ketua III bidang minat dan bakat. Mas Sulaiman mengajukan ketua II.

Lalu ketua III belum terpilih. Saya menanyakan bagaimana kalau Budi. Da Jun cendrung Budi, kawan sejurusan dan seangkatannya jadi Sekretaris Umum.

Saya pun tidak mempermasalahkan. Sebab Ketua dan Sekum memang harus orang yang siap bekerja sama. Anggapan ini ternyata meleset. Dalam perjalanan organisasi, saya menghadapi kesulitan apalagi bila ada yang saya tidak setuju dengan keputusan ketua.

Tapi ada penyeimbang. Saya berhasil mendudukkan Uda Elvis Martin sebagai Ketua III, juga dari Kepel. Pemain voli dengan tinggi lebih 190 itu memanggil saya Adinda. Dan dari banyak senior, ke Elvis Martin pula saya sangat dekat. Saya diajak ke rumahnya dengan vespa coklat. Juga ke kamarnya, dengan dipan yang lebih 2 meter, agar kakinya tidak gantung.

Di sisi lain, Wakil Sekretaris juga duduk Rizon Fetria, ketua kelas saya. Bendehara ada Ni Adek. Hasil penunjukan ketua umum. Lalu saya juga berhasil meyakinkan agar wakil Bendahara adalah mahasiswa yang memang orang tuanya di Padang. Tidak kos seperti kami.

Alasan itu diterima, dan Susi Nilasari, juga sekelas saya duduk sebagai Wakil Bendahara. Seperti saya tulis di atas, walau di semester 5 sudah jadi pengurus Senat, dan saya beroleh beasiswa Supersemar usai itu, tidak akan ada di jurusan kami menjadi ketua Senat.

Usai tak jadi pengurus, saya aktif di pers kampus. Kemudian menjadi wartawan tak resmi Harian Semangat, karena manajemennya yang terbuka. Siapa yang sudah sering menulis, boleh memasukkan berita. Saat itu pula saya belajar fotografi. Dan untungnya, karena mereka butuh naskah dan foto, semua yang saya kirim masuk dan ada honornya.

Dari aktivis kampus, saya melangkah menjadi wartawan yang mulai ada penghasilan, saat banyak teman masih ‘menyusu’ ke orang tua.

Da Edi pula yang merekomendasikan saya untuk menjadi pengurus SMPT (Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi), atau BEM sekarang.

Mungkin karena memang junior, suatu kali saya mewakili Senat FPOK menghadiri rapat dengan ketua SMPT. Tempatnya di PKM, kalau tak salah kantor Pramuka.

Ada Da Edi yang Ketua I SMPT, dan ketua Umum SMPT, Hendra.

Karena tidak kenal, Hendra berkata ia akan rapat. Jadi ruangan ini mau dia pakai. Kalau bukan undangan silahkan keluar.

Saya langsung meninggalkan tempat itu. Beberapa hari kemudian, Hendra menyapa saya di Al-Azhar. Dengan bawaan sangat akrab. Berbeda dari sebelumnya.

Belakangan saya tahu, ternyata da Edi berkata kepada ketua. Cara kamu mengusir Andi Mulya, tidak bijak.

“Dia kan bukan pengurus,” begitu kira-kira jawabnya.

Tidak apa? Dia mewakili FPOK. Tanggap Da Edi.

Lepas itu, Da Edi jauh lebih akrab dengan saya. Ia memperlihatkan sebagai senior yang perhatian. Ini sedikit sampai saat ini membedakannya dengan ketua umum itu.
***

Petang Sabtu, saat saya obrol dengan uda Asroelbb Asroelbb, di hotel, Da Edi datang dan kami kemudian berfoto bersama.

Sebelumnya, Da Edi pula yang saya minta bantu memesan hotel yang penting muat berlima beranak dan dekat Jam Gadang. Walau saya hobi berselancar website wisata, saya memilih Da Edi yang mencarikan. Tidak ada sarapan pun tak masalah. Karena mau menikmati makanan jajan/jalanan.

Saat itu anak-anak sudah rehat setelah berkeliling Jam Gadang. Malam hari kami keliling Jam Gadang lagi sampai pukul 22.00.

Pagi hari Da Edi datang lagi menemani kami makan. Pilihannya adalah Pical Ayang. Juga ada Anda dan Lidia.

Dari hotel kami berjalan kaki ke arah Hotel Rocky. Kemudian berbelok ke kiri melewati Hotel Santika. Di seberang itulah Pical Ayang, yang sangat ramai, walau masih pukul 07.00 lewat.

Sambil pical, teh telur, mie goreng, bubur campur, dan lain-lain dipesan, kami terus obrol.

Satu yang saya catat. Saat menjadi Sekcam di Bukittinggi ini Da Edi pernah mengadakan reuni untuk SMA 1 Bukittinggi, sekolahnya.

Tingkat ketidak-hadiran dibawah 5 persen. Luar biasa, karena alumninya tersebar di seluruh Indonesia.

Bagaimana kiatnya?
Kata Da Edi, langkah awal, ia mencari semua foto masa SMA teman-teman seangkatannya, 87 kalau tak salah.

Lalu foto itu didesain cantik dan diperbesar. Foto itu menjadi ‘undangan’ semua alumni untuk datang.

Hampir 200 orang alumni hadir. Teman satu kelas, katanya, hanya 3 orang yang tidak hadir. Setelah dihubungi usai acara, alasannya sangat pribadi. Dan bisa dimaklumi. Tapi mereka tetap dikirimi baju dan jaket reuni secara gratis.

Saya sudah menduga, dalam reuni yang tidak datang biasanya bukan soal waktu. Alasan sosial, dimana dunia kerja telah membuat antar teman punya strata sosial berbeda. Bila ada yang kurang beruntung, misal perceraian dll, reuni baginya sangat ‘berat.’

Keberhasilan Da Edi seperti ini bukan tiba-tiba. Da Edi telah menceritakan bagaimana memimpin UKIK, dengan memberi perhatian kepada junior. Untuk meramaikan kantor, maka di setiap momen ada debat tidak formil. Seperti menjadikan kantor PKM sebagai lapau. Semua orang merasa terlibat dan memuaskan batin dengan tertawa bersama setiap ada yang lucu.

Cara ini, secara tak langsung berhasil saya rasakan saat menjadi Sekjen Ikrar Jaya. Setiap rapat selalu banyak yang hadir, baik pengurus maupun bukan. Rapat formal hanya sebentar. Setelah itu, ‘lapau’ beralih ke teras. Di sana tanpa terasa pukul 23.00 malam. Orang berdebat sengit. Seperti mau berkelahi
Tapi tertawa bersama-sama.

Tatkala satu kali, saya mampir ke kantor itu, terbuktilah semua itu dari Mas Satpam. Mas itu bertanya: “Kenapa tidak ada rapat ramai-ramai seperti dulu Pak Andi?”

Resep itu saya peroleh dari Da Edi, 30 tahun silam. Organisasi ramainya bukan karena uang. Orang beruang bila berkumpul dengan temannya sesama beruang, jumlahnya tidakkan banyak.

Tidak ada kesetaraan bila yang dikedepankan adalah uang. Sementara organisasi dibangun karena sama pikiran dan harapan.

Jadi, ini adalah pelajaran 30 tahun lalu.
***

Usai puas makan minum di Pical Ayang, Da Edi mengantar kami ke gerbang Lubang Jepang. Di sebelah kiri kami ada SD Da Edi. Ternyata Da Edi gratis kos dan sekolah di SD itu karena ia pandai azan.

Saya baru tahu, Da Edi juga aktif di Al Azhar dan sering pula azan di situ.
Saat menyinggung Amal Saleh, Da Edi pun pernah ikut dan akrab dengan Da Asrul Lukman. Da Edi juga satu SMA dengan Da Dahril Qudni dan Da Witra Rangkayo Sutan. Keduanya saya pernah serumah kos.

Kami berpisah saat karcis 60 ribu masuk Lubang Jepang sudah saya tap. Sampai pukul 11.00 saya kembali ke hotel, rehat kemudian check out. Sholat lagi di Masjid Raya Bukittinggi sambil menungggu Cutni membawakan oleh-oleh ripik. Cutni Susi Agusti juga sama di Yayasan Amal Saleh itu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *