logo mak-adang.com

Minangkabau dan Perubahan (4): MENGAPA ORANG MINANG MERANTAU

 Dr. Andi Mulya, S.Pd., M.Si.     8/01/2024    Kaba Ari ko,Kearifan Lokal   204 Views
Minangkabau dan Perubahan (4): MENGAPA ORANG MINANG MERANTAU

Ini kumpulan  tulisan  keempat Mak-adang. com tentang Minangkabau yang dimuat secara bersambung.  Kembali Fuad Nasar mengupas tentang Minangkabau yang berubah.  Perubahan yang disyukuri atau dicemaskan.  Walau semangat perubahan di Ranah Minang kini sedang tak terbendung.  Selamat membaca. ***

OLEH:  M.FUAD NASAR

Jenderal Polisi (Purn) Prof. Dr. H. Awaloedin Djamin, MPA, dalam buku H. Basril Djabar Sahabat Kita (2009) menulis; orang Minang sejak dulu terkenal sebagai suku perantau. Selama puluhan tahun Sumatera Barat tidak bertambah penduduknya, pada saat tingkat pertumbuhan penduduk Indonesia secara nasional 2,8 persen. Apakah Sumatera Barat berhasil dalam Keluarga Berencana? Karena sebanyak yang lahir, sebanyak itu pula yang merantau, meninggalkan daerah. Baru beberapa dekade terakhir ini penduduk Sumatera Barat bertambah, sehingga mencapai jumlah sekarang, antara lain karena keadaan daerah bertambah baik.
Menurut mantan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) itu, tokoh-tokoh besar Indonesia yang berasal dari Minang, semuanya besar di luar Sumatera Barat. Awaloedin Djamin waktu itu menyebut Basril Djabar adalah tokoh baru yang tanpa merantau, dengan tetap bermukim di Sumatera Barat, perjuangan dan pengabdiannya cukup penting.
Budaya merantau bagi suku Minang (Sumatera Barat) telah melembaga dan menjadi bagian dari kehidupan pribadi dan sosial. Barangkali tidak ada kota di Indonesia ataupun negara yang tidak kita jumpai orang Minang atau keturunan dari Minangkabau, entah garis keturunan ke berapa. Taufik Abdullah melukiskan orang Minang itu ”haus akan ilmu dan lapar akan kemajuan”.
Menurut sosiolog Dr. Mochtar Naim (1984) merantau merupakan pola migrasi suku Minangkabau yang tidak ditemukan pada suku atau kelompok masyarakat lain di Indonesia bahkan di dunia. Dari sudut sosiologi istilah atau konsep merantau sedikitnya mengandung enam unsur pokok sebagai berikut: (1) meninggalkan kampung halaman, (2) dengan kemauan sendiri, (3) untuk jangka waktu lama atau tidak, (4) dengan tujuan mencari penghidupan, menuntut ilmu atau mencari pengalaman, (5) biasanya dengan maksud kembali pulang, dan (6) merantau ialah lembaga sosial yang membudaya.
Orang Minang mudah membaur dan menyesuaikan diri dengan lingkungan sekelilingnya di rantau. Dalam hubungan ini, sesuatu yang unik sebagai ciri khas perantau Minang ialah kepedulian dan kecintaan kepada kampung halaman. Kecintaan kepada kampung halaman membentuk pola hubungan rantau dan ranah yang erat dalam konteks pembangunan daerah dan pemberdayaan masyarakat lokal. Pada waktu Idul Fitri diperkirakan uang masuk ke Sumatera Barat dari para perantau mencapai sekitar Rp 3 triliun.
Sewaktu pembukaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) RKPD Provinsi Sumatera Barat Tahun 2024 pada tanggal 21 Maret 2023 di Padang, di mana saya berkesempatan hadir, Gubernur Sumatera Barat Mahyeldi Ansharullah mengatakan bahwa untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi diperlukan uang masuk lebih banyak ke daerah ini dari berbagai penjuru.
Ditinjau dari sudut pandang ekonomi pembangunan, para perantau Minangkabau merupakan aset non-benda terbesar Sumatera Barat. Dengan kata lain, kontribusi para perantau menjadi faktor penting bagi pembangunan di daerah. Sepanjang periode kepemimpinan daerah sejak dari zaman Orde Lama, Orde Baru sampai Reformasi, Sumatera Barat dibangun bukan hanya oleh putra daerah yang menetap di Sumatera Barat. Dalam pembangunan dan kemajuan Sumatera Barat terdapat andil para perantau atau diaspora Minang, baik materil maupun moril, ada mata-rantai sinergi dan kontribusi para perantau yang terpelihara selama ini.
Kecintaan orang Minang kepada kampung halamannya memiliki dasar ikatan batin yang kuat. Hal itu dibuktikan sekurangnya tampak dari dua kondisi sebagai berikut:
Pertama, kepedulian orang Minang yang tinggi kepada negeri asal dan adat-budayanya.
Kedua, di mana tempat berada mereka membangun ikatan-ikatan kekeluargaan dalam bentuk kesatuan se-nagari asal, se-kabupaten, atau yang lebih luas dalam ikatan kekeluargaan Minang atau Sumatera Barat.
Benar, seperti dikatakan Prof. Mr. M. Nasroen (1971) bahwa kepergian orang-orang Minang yang merantau tidaklah merugikan masyarakat Minangkabau, melainkan berisikan harapan akan mendapat rezeki di negeri orang yang akan dibawa pulang di kemudian hari. Dalam sebuah pantun dilukiskan, ”Karatau madang di hulu, babungo babuah balun. Marantau bujang dahulu, di kampuang paguno balun” (Karatau madang di hulu, berbunga berbuah belum. Merantau bujang dahulu, di kampung berguna belum).
Budaya merantau memberi bekal visi masa depan bagi generasi muda Minang di ranah (kampung halaman) maupun di rantau. Falsafah ini sekaligus mengharuskan anak-anak muda Minangkabau untuk mengasah ilmu dan mencari pengalaman hidup serta berhasil dulu di rantau baru bisa menjadi orang yang berguna bagi diri sendiri, keluarga, dan masyarakat. Dengan demikian, merantau lebih daripada sekadar migrasi penduduk dari daerah asal ke daerah tujuan sebagaimana teori demografi. Merantau adalah pola migrasi yang sarat dengan konsep nilai dan budaya sebagaimana dikupas dalam buku Mochtar Naim.
Satu segi lain yang menarik pada nilai kepribadian orang Minang adalah daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan barunya. Hampir tidak pernah terjadi atau terdengar perantau asal Minang konflik dan perang antarsuku di daerah lain. Falsafah adat Minangkabau mengajarkan kearifan sebagai bekal merantau, ”nan rancak diawak, katuju dek urang handaknyo” (yang bagus bagi kita, disetujui oleh orang lain hendaknya).
Kearifan lokal sebagai pegangan perilaku orang Minang dapat disimak antara lain dari ungkapan berikut: ”Di ma tagak, di sinan tanah dipijak, di situ langik dijunjuang, masuak kandang kambiang membebek, masuak kandang kabau melanguah. Mandi di-ilie-ilie, manyauak di bawah-bawah, Musuah indak dicari, tapi kalau batamu pantang dielakkan. (Di mana berdiri, di situlah tanah di-injak, langit dijunjung, masuk kandang kambing mengembek, masuk kandang kerbau melenguh. Mandi di-ilir-ilir, menyauk di bawah-bawah. Musuh tidak dicari, tapi kalau bertemu pantang lari).
Pepatah ”masuk kandang kambing mengembek, masuk kandang kerbau melenguh,” bukan berarti mengajarkan orang Minang hidup tidak punya prinsip atau pendirian, tidak punya jatidiri alias bunglon, bagaikan ”Pucuk pohon aru ke mana angin bertiup ke sana ia condong. Londong aie londong dadak.” Sama sekali bukan begitu. Ungkapan di atas, sejatinya mengajarkan nilai toleransi dan moderasi dalam pergaulan sosial, sepanjang tidak mengorbankan hal-hal yang bersifat prinsip, seperti akidah agama, integritas moral, dan sebagainya.
”Kok gadang jan malendan, kok cadiak jan manjua” (kalau besar jangan melanda, kalau cerdik jangan menipu).
”Nan kuriak iolah kundi, nan merah iolah sago, nan baiak iolah budi, nan indah iolah baso” (Yang kurik adalah kundi, yang merah adalah saga, yang baik adalah budi, yang indah adalah bahasa).
”Nan tuo dimuliakan, nan mudo dikasihi, samo gadang hormat menghormati” (Yang tua dimuliakan, yang muda dikasihi, sama besar sebaya hormat menghormati).
Merantau sepanjang dipahami secara benar tidak menjadikan seorang Minang tercabut dari akar kulturalnya. Makna kampung halaman bagi orang Minang adalah sumber kekuatan, sumber inspirasi, dan tempat kembali.
Sehebat-hebat orang Minang di rantau, dia tetap memerlukan pengakuan di kampung halamannya. Perantau Minang memerlukan pulang untuk melihat kampung halaman, menyaksikan tanah pemakaman niniak dan angku, menjumpai sanak-famili, mengumpulkan memori masa kecil di masjid, tempat bermain, dan batang aie (sungai) tempat mandi, serta menyapa orang kampung di lapau dan di jalan meski generasi di kampung sudah patah tumbuh hilang berganti. Syukur kalau masih berdiri rumah gadang nan sembilan ruang.
Dalam kenyataan, tidak sedikit pula orang Minang yang merantau jarang pulang atau tidak pulang-pulang istilahnya merantau cina hingga berkubur di rantau. Pernikahan seorang pemuda atau pemudi Minang dengan pasangan suami-istri nyang berasal dari etnik atau suku lain, daerah lain atau mungkin negara lain asalkan sama menghadap kiblat, sama-sama muslim, tidak boleh menyebabkan lupa dengan kampung halaman atau tidak mengenal lagi dunsanak di kampung.***

Senin depan :

MAMBANGKIK BATANG TARANDAM,
MANARUKO MASO NAN KA TIBO.

 

#Etnik Minangkabau era kini.

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *