Mak-Adang.com menurunkan kisah untuk Ota Lapau ke 6 ini. Jadi Ini sebelumnya ada di perbuk Catatan Harianku berbahasa Minangkabau yang berisi tentang ajaran sopan santun dan balas dulu. Catatan harianku itu saya bahasa Minangkan menjadi Nan Den Tulih Sari-ari (1032). Secara per kata berarti yang saya tulis sehari-hari.
Silahkan mengikuti. Semoga jadi teladan sekaligus terhibur di sini. Selamat membaca.
***
DATUK KORONA ABDUL SADDAM
Wakotu ngenek, inya dipanggil Badul. Tasabab namonyo Abdul. Urang maagihnya gala Saddam karena inya kareh ati. Tapi utaknya santing.
Tapi tahun lalu ia diangkat jadi Datuk bertepatan Korona. Maka ia dipanggil Datuk Korona.
Badul sejak SD lah kematian ayah. Saingga inya hanya digedangkan oleh amak nan sebenar sayang. Beruntung benar inya punya Mamak nan sebenar elab pula, Mak Rahman namanya. Dipanggia Mak Aman kotu di kampung nan baradat itu.
Untung kedisebut, Mak Aman bukan sumbarang Mamak. Ia bertanggung jawab ke anak bini, santun dan kasih ke kamanakan. Anaknya empat,
kemenakan ada delapan, termasuk Badul Saddam.
Karena sebenar encer utak Badul, Mak Aman semakin sayang pula ka inya. Bersualah rueh dan buku. Mamak elab kamanakan santing. Bacahayo terang bandarang ka sada sudut nagari.
Mak Aman bukan kaya belindak. Ia cuma guru nan tamat SPG tempo dulu. Kunun baitu bijaksananya sebenar tarsebut ka sada orang kampung.
Selain mangajar, ia bertani. Menanam kacang, bawang, dan lada. Apalagi kini lada ndak tanggung-tanggung sakila berapa: saratus dua pulu rebu.
Mamak elab dan barasaki, Amai Badul baitu pula. Amai Satia namanya. Bak namanya, ia sailir semudik dengan sikap Mak Aman. Hormat ke laki, parduli pula kepada sesama. Apalagi ke Badul Saddam nan kamanakan lakinya.
Mangapa dia bagitu elab. Tasabab ia orang sekampung kita. Baitu kata Amak Badul satu hari. Sebab ada Mamak orang nan berbini ke nagari lain, tak menitik pencarian lakinya do. Ia gulung bulat-bulat. Bak kata orang sebelah kampung itu, jikok diminta (minta ampun) eeknya, karena sempilitnya itu. Eek pun tidak ka diagihnya. Pam pam.
Satu kali mengecatla Badul ke Mamaknya setantang ia lulus di Unipersitas gedang di kota. Badul dengan Amaknya mengadu ke Mak Aman. Bak diapakan surat kelulusan ini. Masuknya ia lulus, tapi piti sedang sarit.
Mak Aman walau lulus SPG tapi pandangannya luas bijaksana. Jadi berapa uang sekola dan ongkos-ongkos mau dibayar? Bagitu tanyanya.
SPP saja, jawab Badul, 3.5 juta Mak. Ditamba sewa kamar dan ongkos ke kota habis 5 juta. Mak Aman tak banyak kecatnya. Iya hanya berkata: “Hho ooh.”
Ia langsung pergi ke bilik dan dia bawa satu kampir berpulun tali kain. “Ini ada 6 juta, pakailah untuk sekolah,” katanya. Mamak tidak bisa mengantar ke Padang, tambanya, tasabab banyak karaja nan kadikakap.
Terperanjat Badul dan Amaknya. Bagitulah Mak Aman, sesuai benar dengan namanya Rahman. Pengasih. Tidak sempilit, dan tidak ditakiknya pula biaya tu. Malah perlu 5 juta dilebihkan dari yang disebut.
Begitu gedang uang nan keluar dari kampir Mak Aman, Amai Setia aman saja. Gelaknya sama sewaktu kemaren dan saat lakinya beragih sebesar itu.
Pendek cerita sikola tenggila Badul di kota. Ia memang cerdas dan santing. Tidak sedikit pula mahasiswi yang ketuju ke dia. Sementara Amak-amak di kampung beradat sudah memasang pula anak kemenakan perempuannya untuk kan jadi bini Badul.
Akan tetapi Badul sudah berniat dalam hati. Ia akan membalas jasa amaknya. Juga membalas jasa Mak Aman dan Amai Setia. Juga mau mengeramik kuburan ayahnya.
Lalu lepas jadi sarjana dan pascasarjana pula, ia bekerja di tempat yang tenggi. Dalam hati ia berkata: Mak Aman saja yang SPG bisa menyekolahkan anak dan kemenakannya. Apalagi kalau saya berpangkat tinggi jauh dari itu.
Apa angan-angan tak sama dengan yang bersua atau kenyataan. Badul memang sangat kaya. Rumah besar, bini besar, gelang bini juga besar. Anak cuma dua bak anak balam. Orang nan tau lalu berkata itu pun anak pungutnya. Caiyia.
Di masa sarit dia berniat membantu orang rami, tak ada kesampaian. Mengapa? Karena dia berbini bukan dengan orang sekampung. Tapi tetangga kampung yang terkenal sarit.
Badul nan santing, tak melakat pribadi Mamaknya. Sejak itu di nagari beradat orang berpesan ke anak cucunya : jangan terima minantu dan semenda dari kampung bini Datuk Korona Abdul Saddam. ***