logo mak-adang.com

Catatan Harianku (1414): MANDI PAGI DI DARUL ULUM

 Dr. Andi Mulya, S.Pd., M.Si.     14/04/2025    Uncategorized   14 Views

 

Mulai tanggal ini Mak-adang.com menurunkan tulisan perjalanan ke Ranah Minangkabau. Semuanya berisi tentang jejak budaya yang terangkai dalam kegiatan ilmiah, sosial, adat budaya, termasuk keluarga. Mulai dari kunjungan ke Darul Ulum, memperbaiki rumah, menebang pohon surian, bataji dan berdoa di rumah masa kecil. 

Selamat mengikuti.

  ***

14 Februari 2025.

Mak-adang.com, BATUSANGKAR.

Sejak sampai dari Jakarta petang kemaren, ini adalah mandi kedua saya di Darul Ulum.

Ini bukan kali pertama ke sini. Dulu tahun 1992 masa mahasiswa, Ampera Salim Patimarajo mengajak saya ke kampungnya ini. Saya diperkenalkan sebagai wartawan. Namun masalah apa pun yang dihadapi saat itu tidak disampaikan secara detail. Pokoknya Ampera menangani masalah tanah.

Saat itu Darul Ulum belum menjadi apa-apa. Hanya berupa surau kecil, yang kala itu saya juga sempat melihatnya. Posisinya agak menurun terus dari simpang jalan raya Pasar Rambatan ini.

Usai Ampera bertugas di kantor Gubernur Sumbar, saya dikabarkan pondok pesantren yang ia rintis. Jadi mulainya tahun 1994. Saat itu pula Buya Jafar, kalau tak salah, mulai menjadi guru utama di Pondok ini. Muridnya tidak banyak. Dibawah 10 orang.

Mengapa berkembang hingga sekarang? Saya dapat memahami dari jawaban beliau hari ini. Setiap guru harus mampu mencetak guru penerus, walaupun hanya 1 orang. Kesungguhan mendidik dari siswa lepas SD yang belum tahu apa-apa itulah yang disebut berkah, barokah, yakni bukti ada hasil dari belajar. Waktunya tidak pasti. Bisa enam sampai 10 tahun. Setelah diwisuda ada ijab kabul serah terima ilmu dari guru kepada murid. Sejak itu murid menjadi manusia baru, dipanggil Ungku. Yang siap menjadi guru baru dimanapun ditempatkan.

Kali kedua, saya diajak Ampera berkunjung ke sini bertepatan ada perayaan Hari Pers Nasional di Padang. Niat saya sebenarnya melihat mama di Duri. Tapi kala itu penelitian disertasi saya tentang jurnalistik olahraga saya kira relevan untuk bertemu dengan para tokoh pers nasional.

Dengan Ampera saya kemana pergi di acara itu. Termasuk usai acara ke Darul Ulum. Selaku Kahumas Pemko Padang Panjang, Ampera mengajak makan di Pondok Baselo yang enak bukan main. Siang hari baru ke Darul Ulum.

Saat itu semua fasilitas sangat sederhana. Tapi tampak alami dan ramah. Saya masuk ke kamar santri yang di dalamnya satu Ungku sedang mengajar berbahasa Minang Tapasia, tafsir artinya. Mengingatkan saya pada Mak Tuo Hajjah Hindun, begitulah dulu tahun1990 bila ia menerjemahkan Al-Fatihah. Beririma berbahasa Minang dan beberapa kata sering diulang-ulang. Ini sastra lama Minangkabau, menurut saya.

Di belakang pondok kolam ikan kecil. Air dari sawah membosek jatuh ke dalamnya. Di halaman ada lapangan takraw, yang berair di tengahnya. Bancah.

Berarti hari ini kali ketiga saya ke Darul Ulum. Namun ada dua hal penting. Pertama. Aisyah , putri bungsu saya, diaqiqahkan di sini. Tapi saya tidak hadir. Hanya mengirimkan uang untuk beli seekor kambing, bertepatan dengan perayaan di sini.

Hal penting kedua, Aziz sudah berada di sini mengabdi atau magang guru jadi sebagai kewajiban sebelum lulus Pondok Darunnajah. Selama lima bulan lebih Aziz belum pernah saya kunjungi. Afiq waktu ngabdi di Belilas, Riau, lebih 10 bulan juga tidak pernah saya mampir. Syukur kala itu bertepatan dengan menyambut hari raya puasa juga. Pas pula saya wisuda online masa pandemi covid yang ingin bertoga diapit mama papa.

Jadilah Aziz saya kunjungi pada waktu yang tepat hari ini. Begitu maxim sampai di Pondok, Aziz lama baru keluar dari kamar. Saya diketahui berdiri di depan gedung BLK yang megah untuk belajar menjahit pakaian. Saat itu ada Da Sal, abang tertua Ampera pertama bersua. Da Sal ahli garmen lama di Blok M yang kini menjadi instruktur di BLK ini. Kolaborasi pondok yang bagus memberdayakan SDM sendiri. Apalagi gedung ini dibangun Pak Syamsuir Syam, dana aspirasi Dewan. Jelas saja ini prestasi Ampera karena soal pengembangan hanya lulusan otonomi daerah UGM ini yang tanggung jawab.

Aziz keluar menyongsong saya dan membawa ke dalam BLK. Terasa ia bukan anak Bogor lagi. Ia sudah pandai berbahasa Minang yang sangat totok. Saat mengaji dengan Buya, saya menilai ada unsur sastra Minang di dalam belajar tatap mukanya. Usai itu saya bertemu dengan Ungku Feri yang sekamar dengan Aziz.

Pagi Jum’at 14 Februari ini, atau tepat dua bulan lalu saya siap-siap berjumat di Masjid Hijau Pariangan, dibangun oleh H. Jarmaita, jurusan Kesrek FPOK IKIP Padang angkatan 1988. Saya berjanji di sana Jumat dengan Datuk Ampera. Begitu saya sering menjelajah, saat ia sering mamanggil saya Mak Adang.

Pagi hari, bersama santri Darul Ulum, saya mandi di pemandian bersama. Ada air yang mengalir dari sawah yang besar dan masuk ke kolam. Udara itu ditimba dan didinginkan bertambah karena tertiup angin gunung.

Mandi adalah salah satu kebahagiaan di Ranah Minang, apalagi menyambut hari Jumat. Ditambah dua agenda penting saya dengan Ampera dan Pak M. Fuad Nasar yakni meluncurkan dua buku yang selama ini sudah ditulis dalam website Mak-adang.com.

Kedua, menyaksikan acara membantai dua ekor kerbau untuk menyediakan makan setara 1.000 tamu karena ada 10 orang guru baru yang disebut Ungku di Darul Ulum.

Mengenai kedatangan Aziz, serta memperbaiki rumah yang membawa saya dan menginap sahur sampai empat hari di Nagari keramat bersama mama dan papa adalah barokah yang tidak mudah saya dapatkan. Mungkin juga bagi banyak orang terbukti banyak rumah di sini seperti terlantar. ***

Bagaimana Acara di Darul Ulum, segera saya turunkan di sini.

Salam
Krl Bogor, Kalibata, Citayam.
14 April 20259, 11.54

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *