Mak-Adang.com
Menjelang masuk sekolah, Papa membawa saya berfoto ke jalan Soedirman, arah masjid Ihsan. Foto itu kemudian dijadikan untuk mendaftar di SD Center, dan termuat dalam rapor di sekolah itu.
Akan tetapi setahun sekolah di SD Center, papa menyuruh kami pulang kampung dulu. Tepatnya tiga bulan setelah kebakaran Pasar Duri. Toko belum buka. Kain bameter atau barang-barang tekstil jualan papa sedikit sisa kebakaran yang berhasil diselamatkan, tidak laku dijual. Bila siang hari papa pulang dari Pasar, ia di rumah sampai malam hari.
Lama berada di rumah. Situasi tidak ada perputaran uang, yang berarti tidak ada pula untuk belanja. Akhirnya mendorong papa untuk menyuruh kami pulang kampung dulu ke Nagari Keramat, di pinggang Gunung Merapi. “Paniang den, di rumah (kampung) lah dulu,” begitu kata papa saat mengantar kami. Artinya pusing saya, di kampung saja dulu.
Saya masih ingat bagaimana suasana di rumah kayu saat kami sampai di Nagari Keramat. Di rumah ada Mama Itu, kakak Mama yang perempuan paling tua. Juga ada Ni Rina, Ni Titut dan Ni Pop. Satu lagi Neli dan terkecil Adek yang belum sekolah.
Ada Tek Mar dan Mamak. Ayah Gaek Rasyidin juru tuli kala itu sudah wafat di Mekkah dan di makamkan di sana. Hanya terlihat satu ranjang kecil di dekat jendela ruang tengah yang masih tersisa. Di sanalah Ayah Gaek sering mengaji pada malam hari buta, pukul 03.00 kadang sampai masuk waktu Shubuh.
Ninik Pakiah juga datang dari Surau Jariang. Rumah meriah karena malam diterangi satu lampu Petromak. Di sanalah setelah makan kakak dan adik sepupu itu belajar.
Pertanyaan pertama Mamak tertuju kepada saya. “Andi juara berapa?”
“Tidak juara,” jawab saya.
“Eh di rumah kita ini semua yang sekolah juara, Andi.” Lanjut si Mamak yang berkulit keling itu.
Saya hanya diam. Nyata, memang saya tak juara di SD Center. Biarlah, saya hanya perlu pandai membaca dan berhitung. Setelah itu bagi saya, dunia manggaleh atau perdagangan, jauh lebih menarik. Sekolah bisa apa, gaji pegawai pemerintah kecil. Begitu jawab saya dalam hati.
Sejak itulah saya menjadi murid SD 2 di Gudang. Tapi hanya berkisar 6 bulan, setelah satu kali kenaikan kelas di kampung, papa menjemput kami kembali ke Duri.
Nah, SD Center kembali menjadi pilihan Papa untuk saya duduki di kelas 2.
Akan tetapi semua teman baru. Bukan teman kelas 1 dulu yang pernah ditinggal saat pulang kampung. Ternyata kelas 2 SD Center memiliki dua kelas. Kelas 2 A dan 2 B. Duri kala itu semakin ramai oleh pendatang terutama perantau asal Sumatera Barat. Bahasa yang digunakan juga umumnya bahasa Minangkabau. Sebagian besar berbahasa Melayu, dan Medan.
SD ini sangat dekat dari rumah. Berjalan lurus ke arah Obor III, lau di simpang empat berbelok ke kanan. Di kiri jalan nanti ada Wisma Byduri, dengan pohon besar berdiri di tengahnya. Di kana nada rumah kayu sederhana tanpa pagar. Tanahnya kuning kecoklatan. Hanya tumbuh sedikti bunga di halamannya.
Lalu ada kantor kehutanan, satu toko makanan juga dari kayu. Setelah ada simpang empat lagi, bertemu dengan SD Center itu.
Sehari-hari orang menyebutnya SD Center. Padahal ada dua SD di komplek ini. Satu SD 2 yang terkenal dengan SD Center. Dan SD 01 yang batasnya hanya kelas masing-masing, tidak ada pagar.
Awal berdiri SD itu hanya tiga kelas yang letaknya menghadap ke jalan Obor. Jadi dari jalan, ada halaman baru bangunan kelas disebut lokal. Sewaktu masuk kelas 1 dulu, saya menempati kelas yang paling tepi kanan.
Akan tetapi saat masuk kelas 2 B ini, di depan kelas itu dibangun lagi dua lokal baru. Posisinya membelakang ke jalan Sumur Ladang. Jadi seperti huruf L bila dilihat dari 3 lokal pertama. Walau Duri adalah kota kaya minyak bumi, SD Center dibangun sangat sederhana. Pondasi dan dindingnya setinggi satu meter dari bata. Sisanya ke atas dipasang dinding dari kayu susun sirih. Kayu yang dipaku berhimpitan tepinya, sehingga potongan yang tidak lurus akan tertutup, tak ada lobang.
Kursi belajar yang disebut bangku terbuat dari kayu. Bangku baru hanya ada di awal tahun ajaran baru. Sebab orang tua murid dikenakan biaya masuk, sekaligus biaya pembangunan. Ini menjadi ciri sekolah negeri di negeri manapun, termasuk di kawasan kaya minyak seperti Duri.
Bila menanjak ke kelas yang lebih tinggi, bangku makin sempoyongan dan buruk. Ada pula sebabnya mengapa bangku cepat rusak. Itu terkait dengan usaha membersihkan kelas yang disebut dengan piket. Sebanyak 40 murid dibagi enam yakni hari belajar, yang libur di hari Ahad.
Murid yang piket harus datang satu jam menjelang guru masuk. Dialah yang membersihkan kelas yang penuh pasir, debu, dan sampah makanan. Bila piket sedang semangat, mereka menyapu dari depan kelas. Semua kursi dimundurkan. Caranya dengan mengangkat bangku panjang dan meja dari ujung ke ujung, berdua.
Setiap diangkat lalu dilepaskan. Berdentang-dentanglah bunyi kaki bangku dan kursi saat jatuh ke lantai. Bisa pula terjadi satu murid sudah melepaskan, satu temannya masih memegangnya. Kursi yang longgar paku-pakunya akan cepat menemui ajal. Sering pula kursi itu menjadi pesakitan. Ditendang atau dilempar. Atau diinjak sepatu bagi teman yang berkejar-kejaran di dalam kelas. Perangai anak sekolah dasar memang begitu.
Ventilasi kelas di bagian atas dari kawat berlobang besar. Kadang kala ada saja yang melemparkan tanah pasir dari luar ke dalam. Akibatnya kotor dan berdebulah baju semua murid. Itu terjadi hanya bila tidak ada guru.
Setiap usai mengajar, guru biasanya ke kantor sekolah. Lataknya di depan lama. Dari tigea lokal itu di terasnya pas pertengahan dibangun kantor. Atapnya mengambil atas teras. Dindingnya tinggal menutup bagian kiri dan kanan. Serta depan yang ada pintu di tengahnya.
Sekolah masuk setengah delapan (07.30) dan pulang pukul 12.00, setengah jam menjelang waktu sholat zuhur masuk. Bila lonceng pulang berbunyi, semua murid berlari keluar kelas. Halaman dan jalan pulang ramai dan penuh seketika.
Di luar sekolah sudah menunggu penjual makanan. Tek Lim menjual kerupuk kuah sate dan mie laksa. Ad es dan permen, serta buah-buahan seperti jeruk dan manggis. Onde-onde yang dibaluri kelapa dan gula ditusuk lidi seperti sate. Onde-onde ini tersusun di talam bertutup plastik putih. Semua bisa dibeli dengan harga limper atau Rp 5 per makanan.
Satu siang yang panas, saya ingin membeli es. Tapi naas, uang bekal dari papa Rp 10 setiap berangkat sekolah telah habis waktu belanja saat istirahat.
Saya coba meminjam ke hepi satu kawan sama pulang sekolah. Ia tidak punya uang. Jim satu teman yang lain ada uang tidak mau meminjamkan.
“Nanti keluarkan air ludahmu, lalu raguak,” katanya, artinya air ludah bila ditelan bisa penghilang haus. Saya terdiam dan terus berjalan menuju rumah.
Papa ada di rumah siang ini. Setelah makan dan sholat zuhur Papa duduk di beranda. Saya datang mengatakan uang belanja agar ditambah. Mama duduk pula di dekat piintu kamar.
“Pa, piti balanjo Rp 10 tidak cukup,” kata saya.
“Cukup kan saja dulu, Rp 10 sudah banyak,” jawab Papa ringkas.
“Papa dulu Sekolah Rakyat tidak belanja ke sekolah,” lanjutnya. Saya tak tahu akan berkata apa lagi. Mama hanya diam, karena tahu ceritaa masa kecil Papa tinggal di ibu tiri. Juga kondisi Pasar Duri yang belum membaik. Papa memakai jurus yang lama ia terapkan. Hemat mengeluarkan uang. Tidak belanja untuk yang tidak penting. Pakai dulu, seperti sepatu dan baju selagi bisa dipakai.
Tapi tiba-tiba saya teringat ucapan Jim, lalu saya tirukan ke Papa. “Kata teman saya, saat dia minum es, minum saja air liur dulu,” saya menjawab tepat. Papa terdiam akibat ucapan itu. Saya mendapat angin baik. Dan yakin saya harus bicara ke Papa.
“Untuk apa kita dari Kampung Pahlawan Revolusi Pa, kalau belanja sekolah saya tidak cukup.” Lagi-lagi Papa tak menjawab. “Iya,” katanya pendek sambil berdiri, terus memakai baju mau berangkat ke Pasar.
Keesokan hari, Papa menambah uang belanja menjadi Rp 20. Beberapa hari kemudian saya tahu, Mama meyakinkan Papa untuk menambah uang belanja.
“Anak tentu tidak bisa disamakan dengan kita,” Mama berargumen. Kali ini Papa tak bisa menolak. Apakah karena kebanggaannya tentang Kampung Pahlawan Revolusi itu saya sentuh?
Juga terusik? Entahlah. Tapi inilah kenang-kenangan membekas 43 tahun lalu di SD Center.***