Bagaimana Strateginya?
Berikut 1 dari 7 Halaman Paper saya 5 Tahun Lalu.
Oleh : Andi Mulya (Pernah Tenaga Ahli Anggots DPR-RI)
Sejarah telah membuktikan bahwa partai-partai nasional kita dalam perjuangan kemerdekaan didirikan oleh kaum terpelajar, bersemangat kebangsaan yang tinggi, dan berusia muda. Tan Malaka mendirikan partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), Soekarno mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Hatta mendirikan Partai Pendidikan Nasional Indonesia, Syahrir mendirikan Partai Sosialis Indonesia, serta banyak partai lainnya di tanah air. (Ramadhan KH: 2004, Malaka, 1999, dan Soekarno, 1964).
Apapun visi dan misinya, semua partai tersebut mengagendakan satu kesamaan yakni perubahan. Namun dalam setiap perubahan itu, sejak perjuangan kemerdekaan Indonesia, disertai sejarah berbagai Negara dengan pemimpin visioner, selalu dilakoni oleh kaum muda. Kaum mudalah yang menjadi ikon perubahan.
Akan tetapi Indonesia gagal mewariskan kepemimpinan muda kendati potensinya sangat luar biasa di masa lalu. Kaderisasi kepemimpinan puncak terhenti tatkala Soekarno dan Seoharto menggenggam tampuk kekuasaan begitu lama. Orde lama dibawah Soekarno berlangsung (1945-1968) selama 24 tahun. Sedangkan Orde Baru masa Soeharto lebih lama lagi (1968-2008) yakni 30 tahun lebih. Tiadanya tampil kaum muda seperti Mochtar Lubis menulis (1985:4): “masyarakat Indonesia ditandai oleh organisasi hirarkhi yang amat kuat, tunduk pada penguasa, setia dan merasa berhutang budi pada sang ‘patron’ atau ‘bos,’ cenderung cepat menyetujui sesuatu untuk menghindari kontroversi….”
Keduanya berasal dari kawah candradimukanya kepemimpinan kaum muda, namun berambisi terus berkuasa dengan cara dan politiknya sendiri. Kedua sama, yakni berkuasa dengan tempo yang lama, Cuma bedanya, Soekarno terus terang mengatakan presiden seumur hidup. Sedangkan Soeharto, merelakan tidak menjadi presiden seumur hidup, tapi berkuasa terus dengan mencicilnya lima tahun–lima tahun, sampai tujuh kali Pemilu.
Berbeda caranya, tapi substansinya sama, bahkan keduanya memperlihatkan kekuasaan yang tidak dinamis bahkan fatal bagi kepemimpinan pemuda di masa Soekarno. Lalu, lebih buruk lagi di masa Soeharto, karena kejatuhannya diiringi dengan negeri yang porak poranda dan kerusuhan fisik di seluruh penjuru negeri.
Era reformasi telah membuka peluang tampilnya kalangan idealis apalagi kaum muda dari aktivis kampus telah menjadi lokomotif reformasi ditandai Tragedi 1998. Sejak itu semua berubah. Tapi akhirnya kepemimpinan muda tampak tidak tumbuh konsisten terlihat kasus korupsi yang menjerat tokoh muda, serta kendali partai besar yang dinominasi penguasa di penghujung Orde Baru. Politik tak ubahnya hanya pindah tempat duduk diantara elit dari eksekutif pemerintahan ke ‘politik riil’ ditandai mantan lingkaran penguasa lama mendirikan partai-partai baru (Apriadi, 2014: 61).
Kini, mungkin ada era lahirnya partai-partai baru, dengan corak mendatangkan harapan baru, terutama kaum muda. Apalagi tren kaum muda berpolitik telah menjadi kajian di banyak Negara diantaranya dalam studi Bruter dan Harrison (2009) dan Estevez-Abe (2008). ***