Idul Adha adalah kerelaan mengikhlaskan dan berpisah dengan semua yang kita cintai : keluarga, harta, dan tahta/jabatan.
Bukan mengalikan materi, melainkan kekuatan berbagi, saat susah apalagi saat senang atau berlebih.
Bukan menambah ambisi, melainkan meningkatkan syukur yang lebih tinggi.
Di negeri beradat yang banyak warganya dermawan, 30 tahun lalu ada seorang terdidik berkata kepada istrinya: “kita tidak usah baragia-ragia.”
Jangan memberi sedekah, karena gajinya memang tak cukup. Katanya hematlah dan menabung untuk membangun rumah. Kebetulan kala itu ia keluarga baru yang belum punya rumah.
Hidup lalu berputar. Ia hidup di kota, laki bekerja, bini berusaha pula. Rumah dari satu menjadi dua. Ada tanah belum lagi sawah.
Kini setelah semua cukup, ternyata ia tak berubah. Zakat tak keluar. Sedekah tak ada. Tamu juga tak diterima. Apa sebab karena tamu adalah lambang dari ‘biaya.’
Ia merasa ada orang lain yang lebih kaya yang pantas bersedekah atau membantu mereka yang lemah.
Idul Adhanya sudah puluhan kali ia rayakan. Haji dan umrah juga sudah. Tapi mabrurnya ia tak punya. Semangatnya juga tidak. Semangat untuk berkorban, sebagaimana ajaran haji dan Idul Adha.
Semangat bahwa rezeki bukan hanya gaji yang dihitung ternyata memang tidak cukup. Melainkan semangat bahwa Allah mencukuplan rezeki dan memberi dari tempat yang tiada diduga. Itulah Idul Adha menurut diri yang awam.
Selamat Idul Adha.