Mak-Adang.com, JAKARTA.
Indonesia telah memberikan kritik yang tajam terhadap pembakaran Al-Qur’an di luar masjid di Stockholm, Swedia. Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Indonesia telah mengumumkan akan memaggil Duta Besar Swedia untuk Indonesia menjelaskan peristiwa tersebut.
Direktur Eropa II Kemlu, Winardi Hanafi, menyampaikan bahwa rencananya pemanggilan akan dilakukan minggu depan.”Rencananya minggu depan ini akan dipanggil,” ucapnya Winardi Hanafi, seperti disiarkan detik.com Ahad (2/6) pagi.
Hubungan bilateral antara Indonesia dan Swedia, jelas Hanafi telah berjalan cukup baik selama ini. Telah terjalin kerja sama antara kedua negara sejak tahun 1950. Namun, peristiwa pembakaran Al-Qur’an di Swedia oleh politikus ultranasionalis Rasmus Paludan telah menimbulkan kecaman dan amarah publik, terutama dari negara-negara dengan mayoritas penduduk Muslim, termasuk Indonesia yang merupakan rumah bagi populasi Muslim terbesar di dunia.
Pertemuan antara perwakilan Indonesia dan Swedia ini menjadi momen penting dalam menjaga hubungan bilateral yang baik dan saling menghormati antara kedua negara. Dalam menghadapi tantangan kontradiktif antara kebebasan berekspresi dan perlindungan simbol keagamaan, dialog dan kerja sama antarnegara menjadi kunci dalam mencapai pemahaman yang saling menguntungkan.
Bukan Pertama.
Ini bukan pembakaran Al-Qur’an pertama oleh warga Swedia. Peristiwa serupa terjadi di Swedia. Paludan sebelumnya telah melakukan aksi serupa dua kali berturut-turut, pada 21 Januari 2023 di depan Kedutaan Besar Turki di Stockholm. Kemudian sepekan setelahnya, 27 Januari 2023, di Kopenhagen, ibu kota Denmark. Tindakan ini dianggap sebagai bentuk protes kepada Turki yang mayoritas Islam dan Negara Daulah Islamiyah yang runtuh tahun 1924. Pemrotes berpendapat Turki kerap menghalangi Swedia untuk bergabung menjadi anggota Aliansi Pertahanan Negara Atlantik Utara (NATO), seperti ditulis detik.com pada 30 Januari 2023. Kemlu RI saat itu juga memanggil Dubes Swedia.
Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi, saat itu menyampaikan kecewa atas tindakan yang dilakukan oleh Paludan. Melalui pemanggilan diplomatik ini, Indonesia ingin menegaskan sikapnya terhadap perlindungan simbol-simbol keagamaan dan menghormati keyakinan agama. Tindakan pembakaran Al-Qur’an dianggap sebagai penodaan agama dan memicu kemarahan publik, terutama di negara dengan mayoritas Muslim. Dengan melakukan pemanggilan ini, Indonesia berharap untuk menunjukkan bahwa tindakan semacam itu tidak dapat diterima dan harus dikecam secara internasional.
Nista
Membakar kitab suci agama apapun adalah pekerjaan nista yang tidak pantas dilakukan negara maju, kata Heru Susetyo, dalam situs law.ui.ac.id. Berusaha mengambil sikap tengah, Perdana Menteri Swedia, Ulf Kristersson menyampaikan melalui Twitter resminya tentang kegalauan itu.
“Kebebasan berekspresi adalah bagian mendasar dari demokrasi. Tapi apa yang legal belum tentu sesuai. Membakar buku yang suci bagi banyak orang adalah tindakan yang sangat tidak sopan. Saya ingin mengungkapkan simpati saya untuk seluruh umat Muslim yang tersinggung dengan apa yang terjadi di Stockholm hari ini.” Dikutip Heru dari Humas Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Sesuai tulisan Heru, Swedia mengalami dilema antara perlindungan simbol keagamaan dan kebebasan berekspresi menjadi sebuah permasalahan yang kompleks dan sensitif. “Pemerintah Swedia berusaha mencari sikap tengah,” kata pemegang gelar , S.H., LL.M., M.Si., M.Ag., Ph. D., ini. .
Permasalahan terletak pada pertanyaan penting tentang batas-batas kebebasan berekspresi dalam menghormati keyakinan agama. Jadi sebagai negara maju, Swedia dihadapkan pada dua pilihan yang saling bertentangan. Di satu sisi, masyarakat global, terutama dari negara mayoritas Islam, mendesak Swedia untuk melindungi dan menghormati simbol-simbol suci agama Islam. Namun, di sisi lain, ada kebutuhan untuk menghormati hak atas kebebasan berekspresi. Perdana Menteri Swedia, Ulf Kristersson, mencoba menemukan sikap tengah dalam pernyataannya di Twitter resmi, di mana ia menekankan bahwa kebebasan berekspresi adalah bagian mendasar dari demokrasi. Namun, ia juga menegaskan bahwa membakar buku suci yang dianggap suci oleh banyak orang adalah tindakan yang sangat tidak sopan.
Meskipun pemerintah Swedia berusaha menegaskan bahwa aksi Paludan adalah tindakan tidak bermoral yang harus dikecam, namun secara hukum tidak dapat dilarang. Namun, sikap tersebut ternyata belum cukup untuk memulihkan ketersinggungan umat Muslim akan penghinaan terhadap simbol Islam. Kelemahan dalam tanggapan tersebut adalah bahwa jika pemerintah Swedia terlalu lunak dan gagal mengambil tindakan yang lebih tegas, hal ini bisa memicu penyebaran narasi Islamofobia dan xenofobia, yang pada gilirannya dapat menyebabkan perpecahan di antara umat manusia.
Sebagai warga negara, memiliki hak untuk meyakini bahwa membakar Al-Quran dan kitab suci agama atau keyakinan apapun bukanlah bagian dari hak atas kebebasan berekspresi, tetapi merupakan tindakan provokatif dan penodaan terhadap agama dan keyakinan. Oleh karena itu, saatnya bagi para pemimpin negara dan organisasi keagamaan internasional untuk mengambil langkah-langkah yang lebih serius dalam melindungi simbol-simbol keagamaan dan praktik ibadah, tanpa hanya memberikan kecaman dan pernyataan kecaman yang kosong.
Langkah-langkah ini penting untuk mencegah terulangnya penghinaan terhadap kitab suci dan praktik keagamaan di masa depan, dengan menggunakan kedok kebebasan berekspresi. Dalam konteks ini, perdebatan tentang batas-batas kebebasan berekspresi dan perlindungan simbol keagamaan harus dilakukan dengan penuh pertimbangan, dialog, dan penghormatan terhadap nilai-nilai keagamaan dan kebebasan individu.
Perlindungan terhadap simbol keagamaan dan praktik ibadah keagamaan harus menjadi fokus utama bagi pemimpin negara dan organisasi keagamaan internasional. Hanya dengan melakukan langkah-langkah konkret, kita dapat mencegah terjadinya penghinaan terhadap keyakinan agama dan menjaga kerukunan antarumat manusia dalam kehidupan yang semakin kompleks dan beragam ini.(andi mulya)
Foto: pexels.