Hari ini papa mengajak kami ke kuburan nenek. Papa memanggilnya Amak artinya ibu. Letaknya di jalan Soedirman persimpangan jalan Imam Bonjol. Oleh sebab itu banyak disebut Kuburan Umum Imam Bonjol. Dari rumah ke kuburan nenek berjalan kaki. Melewati Pasar Duri Barat, lokasi dua toko kain papa yang terbakar, terus ke jalan Soedirman belok kiri menuju Tambusai.
Di depan Pasar Swakarya jalanya agak menurun sedikit menuju Masjid Jami. Di sini ada oplet Duri Indah tujuan Tambusai dan beberapa angkutan yang agak jauh menuju Ujung Tanjung dan Bagan. Walau jalan menurun, tapi orang oto menyebutnya kate, kate: Ke atas. Jalan lintas ke Medan itu memang lebih tinggi datarannya dibandingkan Sebanga, jala menuju Pekanbaru.
Kuburan nenek tak jauh dari Masjid Jami. Mendaki sedikit lalu berbelok kanan. Ada pintu masuk tak berpagar. Ada jalan di tengah komplek makam itu. Kuburan nenek di sisi kiri setelah masuk makam. Dekat dengan tanah sebelah, dibatasi dengan pohon dan pagar tinggi dari bunga raya.
Nenek bernama Hasiah, berasal dari Koto Kaciak, Rao-Rao. Ia memiliki satu anak laki-laki saja, yakni Papa. Konon kata Papa dulu ada kakak perempuan Papa, yang wafat di usia kanak-kanak karena sakit panas.
Sejak kecil Papa menempati rumah gadang di kaum Poruk nan Gadang artinya perut yang besar. Papa adalah Penghulu di Poruk nan Gadang ini bagi tujuh rumah gadang. Dengan masing-masing rumah gadang adalah satu keturunan dengan jumlah besar, lima sampai tujuh ibu disebut parinduan.
Poruk nan Godang bertetangga kampung dengan Ampek Niniak, artinya Empat Nenek/Kakek. Ampek Ninik memiliki 28 rumah gadang. Berarti ada empat pula penghulu kaum di sana.
Papa bergelar Datuk Sahih Penghulu. Empat penghulu Ampek Ninik adalah Datuk Parmato Alam, Datuk Marajo Bosa, Datuak Marajo Pokiah dan Datuk Bagindo Camano.
Walau berada di satu kampung kecil, kaum Papa Poruk nan Gadang boleh kawin-mawin dengan Ampek Niniak. Sebagai wilayah kampung, batasnya boleh dikatakan tidak berpagar. Bahkan karena perkembangan penduduk, rumah-rumah dibangun menempel. Penghulu kaum berbeda, tapi atap rumah bertemu, atau berhimpitan.
Ayah Papa bernama Ahmad Sutan Marajo. Meninggal di Lintau 1968. Mengapa tidak dimakamkan di kampung? Nagari Keramat ini?
Tersebab Kakek Ahmad atau dipanggil Amek memiliki tiga istri. Istri pertama Papa Ande (Ibu) Siti Hawa, di kampung Mandeliang. Rumahnya kelihatan dari rumah kayu Mak Tuo di Pliang. Bila mau ke Sungai Jambu, maka akan melewati rumah berjendela kaca milik Ande Siti Hawa.
Papa memiliki dua kakak seayah, yakni Kak Nila dan Tuan Saman yang meninggal waktu bujang tanggung artinya masa remaja. Kak Nila atau saya panggil Tek Nila, menamam banyak salederi dan bawang perei (daun bawang) di depan rumahnya.
Bila Mak Tuo memasak sup atau sayur, dulu di kampung, Mak Tuo menyuruh saya untuk membeli salederi itu. Dengan uang Rp 10 masa itu saya datang dan memanggil Tek Nila dari halaman rumahnya. Salederi itu ia cabut dua rumpun besar. Dan diserahkan ke saya. Sambil berkata: “Yang ini dibeli, yang ini dikasi,” sambil menyerahkan satu rumpum besar lagi.
Mak Tuo sangat senang bila saya yang membeli salederi karena dikasih banyak. Tek Nila juga memanggil saya Nak atau anak. Anak si Fakori, katanya. Papa bernama kecil Fakhri Ahmad, dan dipanggilnya Fakori. Waktu itu saya belum terlalu paham hubungan adik-beradik papa seayah itu.
Papa tidak pernah bercerita, dan kakek Ahmad sudah wafat tahun 1968, tiga tahun sebelum saya lahir. Seladeri itu tanda adanya hubungan tali darah tersebut. Itu pula sebabnya walau ada kakak sepupu yang lain yang semua perempuan, nyaris tidak pernah disuruh ke Tek Nila, Mak Tuo senang karena dibayar murah, dengan menyuruh saya, cucu laki-laki satu-satunya ini.
Istri ketiga kakek adalah Amak Nur Rahmah atau dipanggil Nurama, asli Tembok Itam, Lubuk Jantan, Lintau Buo. Papa punya dua adik laki-laki seayah bernama Aziz dan Mukhtar. Bersama mereka Papa pernah tinggal di Payakumbuh karena kakek Ahmad berdagang keliling di sekitar Pekan atau Balai. Bila ia bermalam di satu pekan, Papa tinggal dengan ibu tirinya, atau Amak Nurama itu.
Satu kali Papa disuruh mencari kayu ke ladang, di daerah Ibuah, tak jauh dari rumah tinggal. Papa hanya beroleh pelepah daun kelapa yang kering. Di usia masih kecil, 6 tahun papa berusaha memotong pelepah kelapa itu. Tiba-tiba dari belakang Amak Nurama memukul punggungnya dengan keras.”Mana adikmu,” tanyanya seperti orang mabuk.
Papa terkejut dan merintih menahan sakit. Adik ti-rinya Aziz dan Mukhtar menurut sang Ibu tiri adalah tanggung-jawab papa kemana pun mereka pergi. Papa tak menerima perlakuan itu. Tapi tinggal de-ngan ibu tiri memang begitu. Kerja berat dan selalu kena umpat. Apalagi saat Ayah tidak di rumah. Tangan Amak melayang dari belakang tak terkira saat cincangan pelepah kelapa belum selesai dipotong.
Sampai malam Papa tidak mau makan. Ia juga tak mau masuk ke dalam rumah. Ia menunggu Ayah Ahmad pulang berdagang, di kedai kopi tak jauh dari rumah. Malam hari Ayahnya pulang dari babelok (berdagang keliling). Dia melihat papa lesu dan murung. “Manga ang? Tanyanya yang berarti me-ngapa kamu?
“Dicakak de induak ang?” tanyanya lagi. Cakak adalah kelahi, dicakak lebih kurang berarti dipukuli oleh ibu tiri, Papa tida menangis. Tapi ayahnya mengerti.
“Besok kita pulang ke kampung,” katanya, sekaligus ancaman kepada Amak Nurama yang berlantas angan, sewenang-wenang.
Keesookan hari, Papa berkemas hendak pulang ke Nagari Keramat, kampung halaman. Sampai di Pasar, Ayah Ahmad mengajaknya makan sate dan cendol dadiah. Lama berkeliling pasar Payakumbuh, akhirnya Kakek tak jadi mengantarkan Papa ke kampung. Papa kembali ke rumah Amak Nurama, yang mungkin ia telah berubah baik.
Kakek Ahmad beralasan di masa kecil, papa harus selalu bersamanya. Sebab Ibu kandung Papa, Hasiah, tidak punya pencarian tetap kecuali sawah dan ladang semata. Dari pada susah makan di kampung. Itu alasan Kakek Ahmad. Tapi di rumah ibu tiri, makan hanya kenyang saat ada sang Ayah.
Itu sebabnya, Papa sangat sayang kepada Amak Hasiah ini. Sebab di waktu kecil hidup susah, papa sering dibawa keluar kampung, ikut ayahhya. Sewaktu berdagang sudah mulai maju, Papa tertimpa musibah besar, kebakaran pasar, termasuk rumah sewa nenek yang tinggal dengan satu kemenakan papa yang perempuan.
Tatkala pasr sudah rata dengan tanah, api kecil masih membubungkan asap, papa mengajak saya dari rumah petak melihat nenek. Melalui pasar yang terbakar, bau asap dan hangus dimana-mana. Di tengah ada satu tiang yang masih berdiri tegak, hitam dan retak dimakan api sejak semalam.
“Itulah toko kita,” kata Papa menggendong Teti, yang masih tiga tahun. Kami berjalan ke arah Tanah Lapang. Di satu rumah nenek menumpang sejak tadi malam. Nenek duduk di teras, barang-barang berserakan di halaman. Mengenakan kain panjang dan baju kebaya, serta selendang putih yang disilangkan di kepala, Nenek berdiri menyambut saya datang.
Saya yang diam dia rangkul dan cium sepuasnya. “La abih galeh papa, lah abih galeh papa Nak,” artinya sudah habis dagangan papa. Air matanya jatuh dan menempel di pipi saya, Saya tak mengerti apa yang akan dikata.
Tak lama setelah kebakaran itu, Nenek tinggal bersama kami. Juga tak lama. Dalam usaha pemulihan usaha dagang, Nenek meninggal siang hari. Saat saya pulang dari bermain di belakang rumah agak jauh ke arah SD Center.
Saya masuk dari pintu belakang, mama menghidupkan kompor. “Nenek meninggal,” katanya sambil terus menangis. Nenek dimakamkan pada malam hari. Dengan lampu petromax rombongan berjalan membawa keranda ke Tanah Pekuburan Umum Imam Bonjol. Kuburan inilah yang kini ingin dibersihkan. Papa berencana menembok agak kokoh. Tapi entah bila?***