Usai lulus SMPI tahun 1956, papa lalu mendaftar di SMA Adityawarman, Batusangkar. Hanya sampai kelas 2 SMA, yakni pada tahun 1957, bagolak atau gejolak peri-peri dimulai.
Papa pulang kampung setelah menunggu hampir sebulan tentang kepastian sekolah akan dibuka. Padahal sekolah sedang semangat-semangatnya. Dalam ujian bahasa Jerman, misalnya, papa beroleh nilai 8.
Terkait sekolah harus ditinggalkan demi menyelamatkan diri, maka tinggallah dipan besi yang dibelikan tuan Angku Lunak. Papa masih ingat selalu jasa Tuan, atau kakak iparnya ini. Sebab sesudah itu Tuan Angku Lunak juga menghadiahi papa jam tangan bagus. Gunanya untuk mengetahui waktu saat ujian sekolah.
Selesai itu, di Nagari Keramat Rao- Rao dibuka Sekolah Penampuang, setingkat SMA. Papa mendaftar dan mengikuti sekolah ini hampir satu tahun. Dianggap lulus, kemudian papa bertolak ke Lintau. Bertemu dengan Ayah Ahmad Sutan Marajo yang berdagang di Pasar Lubuk Jantan.
Lintau kemudian berkobar. Tentara pusat menduduki Pasar Lintau. Suatu siang keadaan sangat tegang. Pesawat menjatuhkan bom di beberapa tempat. Orang yang berdagang berlarian tanpa peduli barangnya. Yang penting menyelamatkan diri.
Setelah perang reda, papa pulang menemui Umak di Nagari Keramat.
Setahun lamanya di kampung, saat darurat dengan pemerintahan nagari yang buruk, papa pindah ke Payakumbuh. Amak Hasiah berdagang kacang rebus dan kacang goreng di Pasar Ibuah. Dengan itulah menghidupi papa untul melanjutkan pendidikan di SMA Sore, Payakumbuh.
Setahun setengah lamanya, papa di SMA ini. Berbagai kenangan terukir indah. Sebab papa terpilih sebagai ketua ISMA, Osis masa itu. Sayang saat kelas III SMA, papa mengikuti tes Akademi Militer (AMN), akan tetapi tidak lulus. Rasa bahagia tentu menyelimuti dua teman yang lulus yakni Mansur dan Chaidir. Dia sudah langsung melanjutkan pendidikan ke AMN Magelang.
Satu hal yang paling mengembirakan tak lain hubungan akrab dengan teman dn guru-guru SMA Sore. Hal itu terjalin kuat saat ISMA SMA Sore mengadakan kunjungan persahabatan ke SMA Negeri Solok.
Sebanyak 200 siswa dan guru berangkat dari Payakumbuh ke Solok dengan Kereta Api. Papa terlebih dahulu sudah sampai di Solok, tiga hari sebelum acara, untuk persiapan penyambutan dan pertandingan yang akan digelar.
Saat rapat dengan Kepala Sekolah dan ISSMA SMA Solok rampung, keesokam hari, rombongan kepala Sekolah dan murid SMA Sore Payakumbuh tiba di Solok.
Saat itulah perwakilan tuan rumah mengalungkan bunga kepada papa sebagai ketua rombongan. Papa tampak tersenyum saat bersalaman. Di sampingnya ketua ISSMA SMA Negeri Solok, juga dikalungi bunga. Lalu bersalaman dengan semua yang hadir di lapangan penyambutan itu.
Acara pertandingan seperti sepakbola, papa menjadi Kapten pertandingan. Selain itu, ada bulutangkis, pingpong, dan basket.
Pada malam perpisahan, dibuat panggung gembira. Awalnya sambutan ketua ISSMA SMA Negeri Solok. Lalu sambutan balasan dari Papa. Kemudian sambutan dari guru kedua sekolah.
Lagu Bareh Solok menjadi sangat fovorit dan populer diantara kedua sekolah. Liriknya menunjukkan kebahagiaan yang tinggi saat makan dengan beras bermutu tinggi. Tanpa lauk pauk mewah pun, beras Solok enak dimakan. Beras Solok juga varietas unggul tampak dari sifat berasnya yang pulen, tapi berderai enak.
Semua kesan dan kenangan tertumpah saat itu. Acara dinilai sukses. Persahabatan antara kedua sekolah terjalin erat.
Satu kali, empat orang gadis dari Solok, tiba di SMA Sore. Dia siswa SMA Solok, masing – masing dengan adiknya, untuk bertamasya ke Payakumbuh.
“Ketua ma nyo, ketua,” begitu ia bertanya mencari papa kepada siswa SMA Sore, yang bertemu. Akhirnya dipertemukan kepada papa. Papa pun kebagian tugas untuk mengawalnya berjalan- jalan ke Ngalau. Wisata alam dengan batu-batuan dab gua alam yang alami dan terjadi ribuan tahun lalu.
Usai ujian akhir di SMA sore, ada rasa sedih yang tak terlupakan. Papa bertiga sekamar kos di rumah milik Sutan Karim di Labuah Basilang. Anis, satu kawan kos, tidak lulus. Ia kemudian mengulang di SMA Pariaman. Kemudian hari diketahui Anis berhasil memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH). Ia kemudian menjadi dosen di nagari asalnya, Bukittinggi.
Tamat di SMA Sore, papa mencoba peruntungan ke Padang. Umak saat itu sudah senang tinggal di Payakumbuh. Kota ini menjadi kampung halaman kedua bagi semua orang Rao-Rao yang merantau.
Dari kampung, singgah dulu di Surau Dagang milik perantau orang kampung kami di Ibuah, Payakumbuh. Di Surau itu tidak sekadar tempat menginap gratis. Tapi juga titik pertemuan perantau ke berbagai daerah. Pusat informasi.
Umak juga semakin senang di Payakumbuh. Walau papa, anaknya sudah ke Padang. Ternyata Umak tinggal di satu rumah milik perempuan muda yang sudah janda di Bunian.
Ia berasal dari Palembayan Bukittinggi, dengan anaknya masih kecil-kecil. Bagai aur dengan tebing, Amak mendapat anak angkat yang baik. Sebaliknya ibuk pemilik rumah itu beroleh orang tua pengganti ayah-ibu dan suami yang meninggal.
Mengapa papa tidak kuliah?
***