logo mak-adang.com

Novel 2 (05): Taragak Umak di Ciloto.

 Dr. Andi Mulya, S.Pd., M.Si.     19/02/2023    Novel Tragedi Bunga Setangkai   81 Views

 

Usai ujian mid semester, saya sering datang ke toko papa. Pulang mengaji di Masjid Jami’ langsung ke pasar.
Di toko papa punya langganan majalah Panjimas singkatan Panji Masyarakat, yang dipimpin Buya Hamka.
Papa menaruh majalah itu di dalam kota penyimpan uang dan buku catatan belanja barang. Bila sudah datang majalah baru, majalah lama akan di bawa pulang.
Hobi membaca dimiliki oleh banyak pedagang asal kampung kami. Sebab ada keyakinan bahwa berdagang harus lebih pintar daripada bertani. Berdagang berurusan dengan jual-beli, pemasaran, tegur sapa ramah ke pelanggan. Juga soal uang dan catatan hutang-piutang.
Sebagian besar baik bos maupun ‘anggota toko’ pandai membaca dan menulis. Akan tetapi tulisan papa berbeda. Ia menulis dengan pena yang miring ke kanan dan tulisan halus-kasar yang rapi.
Satu kali, mama pernah berkata, dari tulisannya saja, orang bisa diketahui berpendidikan atau tidak. Sebab sejak zaman Belanda, semua pribumi dididik disiplin menulis bagus dan rapi. Dapat dipahami karena kala itu tulisan tangan banyak diandalkan untuk surat menyurat sekaligus dokumen bisnis. Saat itu cetakan masih sangat terbatas.
Lebih khusus lagi dalam bacaan. Papa juga berbeda dari kebanyalan pedagang. Ia senang membaca surat kabar nasional, terutama dipimpin oleh tokoh pergerakan asal Minangkabau.
Menurut papa, orang Minangkabau masih terjaga idealismenya. Lebih patriotis, dan loyal membela yang benar. Berhubung sering sibuk di toko, papa memilih majalah Panjimas yang dua kali sebulan.
Sementara pedagang lain di pasar, tampak bukan orang yang sungguh-sungguh membaca. Buku tebal yang mereka punya paling hebat novel percintaan. Murahan cenderung cengeng.
Saat pembeli lengang, apalagi kalau hari hujan, pedagang Swakarya paling tinggi mengisi Teka-teki Silang, disingkat TTS.
Petang itu hujan turun di Pasar Swakarya. Pasar hanya dihuni oleh pedagang. Tidak ada pembeli. Tapi juga tidak ada yang menutup toko untuk tidur dengan pulang ke rumah.
Papa mengeluarkan plastik putih besar untuk menutup kain di teras toko. Dua bagian ke toko AM Konveksi, dan satu bagian ke arah Mak Suman.
Sebagian barang yang diangkat dengan gantungannya, sudah dimasukkan ke dalam toko. Saya duduk samping teras, pas di batas pintu. Papa di dalam di depan etalase.
“Hujan, jadi kita bisa berkisah,” katanya tanpa ditanya.
Ha iya, saya masih ingin tau cerita papa di Ciloto? Seperti apa? Berapa lama? Mengapa papa tidak minta pindah saja dan punya rumah di Jakarta?
Untuk apa di Duri ini? Jalan berdebu, tidak ada trotoar, juga lampu jalan. Malam hari hanya terang di pasar dan Komplek Caltex. Sisanya sepiii…sepi.
Tanpa menunggu lama, papa pun mengisahkan begini.
Usai menempuh tiga hari dengan kapal Tampomas ke Jakarta, papa mengawali, rombongan Kopem Sumbar langsung menuju Rawasari dan Salemba, disamping Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Di sana ada asrama Kopem, dan menjadi tempat transit semua peserta didik.

 

 

 

 

 

 

 

Padang, Suhaimi asal Lubuk Basung, dan Mukhlis kemanakan Pak Sahar B.Sc., yang kepala Kopem Sumbar itu. Ada satu lagi asal Payakumbuh, tapi papa lupa namanya, termasuk dua lainnya selain papa.
Seminggu lamanya menginap di Rawasari. Semua utusan dari propinsi lain juga sudah datang. Senanglah rasa hati, karena akan dipindahkan ke Pusat Pendidikan Kopem Ciloto.
Dari Rawasari rombongan yang dijemput bus Deperteman Kesehatan melewati jalan by-pass yang dibangun atas bantuan pemerintah AS dalam rangka Asian Games. Kemudian terus menuju Ciliitan, Cimanggis, dan Cibinong. Terus ke Bogor dan naik ke Ciawi.
Udara sejuk di Ciawi, daerah di pinggang Gunung Gede, diduga peserta sudah sampai di Kopem. Ternyata masih naik terus menuju Puncak, dan menurun menuju Cianjur.
Tak lama mengikuti jalan yang berbelok dan menurun tajam, tampaklah Gerbang Pusdik Kopem di sebelah kiri. Dari pintu masuk sudah terlihat asrama, ruang kelas dan ruang pertemuan yang luas. Udara dingin, sama dengan di Koto Kaciak, rumah masa kecil papa di kampung.
Tersedia pula lapangan bola, lapangan tenis, dan lintasan atletik. Ibu Asrama sudah menunggu dengan ramah menyalami kami satu persatu. Besok pagi pendidikan Kopem akan dibuka.
Pendidikan dibuka oleh Kepala Kopem Pusat, Pak Sumarlan, namanya. Ia berpidato tenang dan lancar. Sebagian ia menggunakan bahasa asing. Maklum karena ia memimpin lembaga yang terkait dengan bantuan PBB bidang kesehatan yakni Word Health Organization (WHO).
Dari Pak Sumarlanlah papa tahu bahwa malaria telah mengancam banyak negara dengan kematian yang tinggi. Bila tidak diambil langkah yang serius, katanya, akan banyak jatuh korban terutama di desa dan pelosok Indonesia. Terkait dengan geografis yang sulit, pedalaman serta pulau-pulau yang jauh, maka gerakan memberantas malaria ini dinaikkan menjadi Komando Operasi Pemberantasan Malaria. Setara dengan pendidikan komando di Tentara Nasional Indonesia.
Lihatlah, tunjuk Pak Sumarlan ke atas, tulisan di atap gedung kita ini ditulis Pusat Pendidikan atau Pusdik, sama bunyinya dengan Pusdik militer dan dinas khusus lainnya. Semua utusan bertepuk tangan. Merasa bangga dan percaya diri.
Awalnya usaha ini dilakukan oleh Dinas Pemberantasan Malaria tahun 1959. Pemerintah menyemprotkan secara massal obat Dichloro Diphenyl Tricloroethane (DDT) ke rumah penduduk di seluruh Jawa, Bali dan Lampung.
Yakin bahwa pemberantasan malaria harus terpadu didukung semua pihak, maka Presiden Soekarno meningkatkan dari dinas menjadi Kopem saat ini.
“Presiden Soekarno sendiri yang meresmikan penyemprotan secara simbolis di desa Tirtomartani, Kalasan, Yogyakarta, pada 12 November 1959,” ucap Pak Sumarlan, seperti diakui papa semua arahan itu dicatatnya.

bung Krno Presiden Soekarno melakukan pemyemprotan rumah penduduk

Saat apel bendera pertama di lapangan upacara terpilih sebagai ketua kelas dari Bali. Made Tastra namanya. Ia berbadan tegap dan gagah. Saat pendidikan usai, ia melanjutkan pendidikan penyakit menular di Pilipina satu tahun.
Salah satu latihan fisik siswa Kopem adalah baris-berbaris yang dilatih satu anggota TNI berpangkat Kapten. Latihan PBB ini paling terkenang oleh papa.
Karena hebatnyakah?
Ternyata tidak.
Papa selalu salah dalam gerakan saat maju jalan. Sesuai peraturan, maju dengan melangkah kaki kiri, seiring dengan mengayun ke depan tangan kana. Papa seperti robot maju dengan tangan dan kaki kiri. Kemudian kaki dan tangan kanan.

 

 

 

 

Mungkin sebabnya latihan silat Kumango dimana sikap pasangnya adalah kuda-kuda kaki kiri dengan tangan kiri juga ke depan. Entahlah. Tapi yang pen-ting papa kena sanksi berlari keliling Pusdik Kopem dan push-up yang berat.
Saat kelelahan papa teringat Umak di rumah. Juga kakek yang melambai-lambaikan tangan di Teluk Bayur. Umak sejak papa kecil hidup sengsara. Untuk makan hanya mengandalkan sawah dua piring di Talago. Saat senggang, Umak mengayam lapiak atau tikar dari mensiang. Lalu dijual di Balai Sotu.
Pernah saat papa SMP, Umak menjual kayu surian yang tersimpan di kandang rumah gadang. Umak membelikan kain bermeter lalu dijahit sesuai ukuran badan papa.
Karena tidak ada uang, baju itu dipakai untuk dua kali lebaran. Caranya dicuci dan disetrika agar licin.
Papa merintih menahan hukuman di depan seorang pelatih Kapten TNI. Wajah Umak menguatkan karena lulus di Kopem ini diharapkan akan berganti nasib. Akan bersisa uang untuk membeli kain panjang, baju dan selendang Umak.
Papa terus bertahan dalam letih dan sabar.
Saya kemudian menggeser duduk, saat papa juga berdiri. Hujan sudah reda. Magrib sudah turun di Pasar Swakarya. Sebentar lagi Pak Karim akan menghidupkan listrik tenaga diesel langganan pedagang pasar.
Umak, atau nenek saya itu, adalah pembakar semangat papa.***

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terkait