Novel: Wahyu dari Rahasia yang dijaga baik
Bismillahirrahmanirrahim.
Novel adalah karya sastra paling populer di dunia. Ia beredar luas karena komunikatif.
Tidak sekadar informasi sejarah yang serius, tapi sekaligus menghibur. Menghibur bukan tujuan utamanya. Melainkan dampak dari penulisan. Novel seserius apapun, harus diuraikan dengan me-
narik, enak dibaca, dan berbobot, karena informasinya yang bernas berisi.
Lebih dari sekadar menghibur, novel yang bagus juga akan menginspirasi. Ia mendorong orang untuk sadar dan melakukan sesuatu. Novel juga diketengahkan karena memperjuangkan martabat manusia.
Selain memuaskan hati, novel juga menjadi cermin
agar seorang pembaca mengerti siapa dirinya. Jadi
novel memiliki misi pendidikan yakni memanusiakan
manusia. Ia mengajarkan kisah-kisah lama sebagai
referensi prilaku. Juga menyajikan percakapan yang
lucu, serius, nakal, tapi tetap humanis.
Novel bukan hanya penting bagi penulis, kisah yang
ditulisnya. Tapi yang lebih penting bagaimana men-
jawab kebutuhan masyarakat atau pembacanya.
Karena novel memuat nilai nilai moral, sosial dan
pendidikan.
Lalu, apakah novel itu?
Marina Mackay telah menulis bebas batasan tentang
novel dalam bukunya : “Introduction to the Novel,”
Cambridge University Press, 2011. Ia berkata: “The
sory of the novel’s emergence can be told differently
depending on what you think a novel actuallyis.And-
depending on how you define the novel.” Intinya, piki-
ran andalah yang menentukan apa sebenarnya novel
menurut anda. Tergantung kepada anda bagaimana
mendefinisikannya.
Ini adalah sekelumit pengetahuan saya tentang novel.
Saya penasaran novel ini ‘makhluk’ apa? Rugi sekaliMak Adang 2
Tragedi Bunga Setangkai bila saya senang membaca novel, juga menulisnya,
tapi tidak mengerti hakikatnya. Kebetulan ada bebe
rapa buku pengantar tentang novel. Saya dapatkan
karena saya terbiasa mencari buku sumber referensi,
terutama sejak masuk S3.
Apakah saya ahli? Tentu saja tidak. Ibarat menge-
nal satu negeri, saya hanya singgah sebentar di sana.
Lalu mencatat dan menelisik semua yang terlihat.
Saya adalah orang yang ‘singgah’ untuk mengerti
hakikat novel. Tentu mereka yang ‘tinggal menetap’
yakni mempelajari tentang novel, jauh lebih baik
pemahamannya.
Nah ada buku yang lain, yaitu: “The modern novel : a
short introduction,” ditulis Jesse Matz (Blackwell Pub-
lishing, 1988).
Kata Matz (h. 16), ada satu esai “The artoffiction”
ditulis James (1884). “…Fiction could even create re-
ality, or add to its significance, and that it deserved
‘aesthetic’ status.”
Fiksi, jelas James, bahkan dapat menciptakan reali-
tas. Bahkan ia meningkatka signifikansinya,
dengan kedudukan yang indah, penuh ‘estetika’.
James pula mematri bahwa “fiksi adalah salah satu
seni yang baik (fine arts) dengan kehormatan dan
penghargaan yang harus diterimanya (all the honours
and emoluments that have been hit hertorese). Bah-
kan cerita yang dibangun dalam fiksi, sama nilainya
dengan karya seni arsitektur tinggi.
Pendapat ini menguatkan bahwa fiksi saja bisa me-
numbuhkan kenyataan. Ia menguatkan hal-hal po-
kok (substansi) dan memperkaya kisahnya.
Saya tidak paham, mengapa Matz membahas fiksi
dalam buku pengantar singkat novel. Akan tetapi
bagi saya ini referensi, bahkan kisah fiksi saja me-
mengaruhi hidup masyarakat. Apalagi kisah nyata,
yang menapak ke bumi. Kisah nyata perjalanan hid-
up papa, terutama masa sekolah dan masa berda-
gang di Duri.
Pada akhirnya, setelah membaca cepat buku-buku
itu, saya gembira menemukan kalimat Hendry James
(dalam Mackay, 2011: 25). Ia mengatakan sebuah
novel adalah sebuah novel. Sebagaimana puding
adalah sebuah puding. Satu-satunya urusan kita
dengannya adalah menelannya.
“A novel is a novel, as a puddingis a pudding, and tha-
tour only business with it could be to swallow it.”
Akan tetapi ada pendapat Mazt yang saya kira pal-
ing pentng tentang novel. Dalam pengantar “The True
of the Novel,” Margaret Anne Doddy (1996) menulis
novel adalah: “the relevation of very well-kept secret.”Mak Adang 2
Tragedi Bunga Setangkai
Yaitu wahyu dari rahasia yang dijaga dengan sangat
baik. Sepenuh hati.
Novel Mak Adang di Tragedi Bunga Setangkai ini
bertema pendidikan dan perjuangan keluarga. Tema
yang dimaksud adalah ide pokok yang mendasari ja-
lan cerita novel.
Setingnya adalah masa saya Sekolah Dasar tahun
1970-an sebagai seting waktu. Nagari Keramat, Lint-
au, Padang, Payakumbuh, Bangkinang, Pekanbaru,
dan Duri sebagai seting tempatnya. Lalu budaya
sekolah, budaya berdagang, dan budaya pergaulan
di kampung dan rantau sebagai seting sosial buday-
anya.
Kemudian dari sisi sudut pandang, Novel ini me-
makai ketiga bentuk yang tersedia dalam praktik
penulisan novel. Pertama, penulis langsung ber-
peran sebagai tokoh dalam cerita. Mengingat semua
pengalaman masa lalu, dan menuliskan semua fiki-
ran dan perasaan.
Kedua, penulis lebih banyak menceritakan tokoh
lain, sebagai tokoh utama di novel ini, yakni papa.
Ketiga, sudut pandang impersonal. Yakni mengisah-
kan rahasia batin dari tokoh, yakni papa, secara
maksimal dari melihat, mendengar dan mengetahui
tindakan tokoh.
Dari segi alur, atau plot atau rangkaian perisitiwa,
Novel ini banyak menggunakan alur maju. Namun
ada beberapa kisah yang reevan dan cukup kuat
untuk memperkaya nilai cerita, maka dipakai alur
mundur (flashback). Tiada lain karena peristiwanya
terkait erat.
Dari segi unsurnya, Novel ini mengetengahkan pem-
bahasan yang mendalam. Tidak sekedar menyebut
gejala permukaan saja. Penulis merujuk kepada
buku yang relevan bila ada satu masalah yang perlu
dikupas mendetail.
Kisah asmara, sebagai pemanis kisah novel, sangat
sedikit dalam novel ini. Misalnya bagaimana perte-
muan papa pertama kali dengan mama dibawah un-
dangan Mak Datuk, yang kala itu mahasiswa tahun
akhir di IKIP Padang.
Adapun beberapa kisah tentang sejumlah gadis yang
dekat dengan papa, belum dikisahkan dalam novel
ini. Penulis berencana menulisnya di Novel ketiga,
saat penulis remaja yakni SMP dan SMA serta kuliah
di Padang.
Boleh dikatakan 95 persen dari kisah ini adalah nya-Mak Adang 2
Tragedi Bunga Setangkai
ta. Tidak bulat 100 persen karena ada bagian yang
dimajukan atau dimudurkan agar memudahkan
mengisahkan lebih logis.
Dilandasi dengan budaya Koto Kaciak yang banyak
melahirkan pendekar dan seniman, novel ini me-
wariskan misi heroik, yakni kepahlawanan Jumhur
Jamal dan Mukhtar Said yang makamnya di Taman
Pahlawan Kuranji Padang.
Pada akhirnya, ada apa sebenarnya dengan novel
ini? Jawabannya tiada lain, novel ini adalah bagian
dari marwah kampung kecil Koto Kaciak, di negeri
kecil bernama Nagari Keramat. Di pinggang Gunung
Merapi, tampak dari Batusangkar, pusat pemerintah
Tanah Datar.
Dan yang lebih penting, seperti Anne Doddy men-
gatakan wahyu dari rahasia yang dijaga dengan sang
at baik. Maka novel ini memang bermula dari raha-
sia yang tersimpan berupa foto-foto papa terutama
kisah sekolah ke Ciloto 1963, serta kisah Pahlawan
Revolusi yang kini, orang seusia papa pun ada yang
tidak megetahuinya.
Betul yang diceritakan adalah kisah keluarga, dengan
Mak Adang atau papa sebagai figurnya. Namun di
dalamnya tertumpang kisah-kisah nagari dan orang-
orangnya di masa lalu, lebih setengah abad lalu.
Novel adalah marwah.
Novel adalah martabat.
Novel adalah kekayaan batin.
Yang tak kalah pentingnya dengan kekayaan harta
benda sebagai rezeki yang kita cari bersimbah kerin-
gat siang dan malam.
Hanya Allah Swt penguasa semua kalam. Alhamdu-
lillah.
Citayam, malam Idul Adha. 30 Juli 2020.
Andi Mulya