Pulang sekolah adalah waktu yang tepat untuk bermain. Mulai usai sholat zuhur, sampai magrib tiba.
Siang hari bisa bermain ke pasar. Bisa pula di belakang rumah yang banyak pohon dan agak jauh ada kolam ikan.
Di samping rumah ada lapangan bengkel dan pertukangan kayu. Bengkel itu dengan bangunan sederhana. Atap dari daun rumbia. Dinding dari kayu susun sirih. Ada dua kamar di samping. Tempat yang mestinya ruang tamu di jadikan bengkel kayu.
Di halaman rumah tersebut berdiri beberapa mobil besar, sejenis truk. Untuk pengamanan mereka memelihara beberapa ekor anjing. Satu anjing coklat dan berekor pontong, galaknya bukan main. Tapi dengan Da Am, yang pandai bermain enggrang, anjing itu malah tak berkutik. Sebab ia terus berjalan dan mencoba menggigit kayu enggrang itu. Tapi kemudian anjing itu lari. Da Am juga tak menyepakkan enggrang ke mulut anjing itu. Sebab tau pemiliknya yang tangan berotot dan sering buka baju kalau bekerja, juga agak pemarah. Galak seperti peliharaannya.
Pernah pula anjing itu mengejar sampai ke seberang jalan. Seorang anak laki -laki itu duduk tiba-tiba. Sang anjing pun lari. Mungkin ia kira mengambil batu. Anak itu pun tertawa. Merasa menang.
Bila sore hari, Ajo, begitu tukang bengkel itu dipanggil, mengeluarkan permainan dari kampung halamannya. Mereka berdiri melingkar. Lalu bola yang terbuat dari rotan ditendang bergantian. Bola itu seperti bola takraw, tapi lebih lembut dan mudah memantul. Permainannya pun tidak mencari angka atau menang kalah. Melainkan menghidupkan bola selama mungkin. Semua pemain berusaha menyelamatkan bola dan diseberangkan ke kawan yang di depannya dengan baik.
Puncak kesenangan main sepak raga ini terletak pada gaya pemain. Semua penjuru dimanfaatkan untuk menyepakkan bola. Sepak ke depan, ke belakang dengan merunduk sedikit. Bola ditendang dengan menggunalan tumit. Sepak ke samping baik kanan dan kiri menggunakan pisau pisau kaki sebelah kelingking.
Bisa pula berputar di lingkaran penuh. Samakin beragam gaya pamain, semakin gembira dan dipuji pemain tersebut. Menggunakan kepala dan bahu sangat jarang digunakan.
Permainan lain adalah layang-layang danguang. Ukurannya besar, dengan ekor seperti gunung terbalik. Di kepalanya di pasang ssnar dari film bekas, yang diregang dengan bambu seperti busur panah. Lalu diikatkan di kepala layang-layang.
Bila dinaikkan apalagi sedang tinggi membubung di udara, layang-layang ini berbunyi keras. nguung.. Ngunggg. Makanya disebut layang-layang danguang, artinya dengung.
Pada penghujung pekan, saat Ajo-Ajo libur bekerja, mereka berlomba menaikkan layang-layang danguang petang hari. Jamak terjadi layang-layang itu baru diturunkan esok hari. Sampai larut malam yang hening, layang-layang iti masih mendengung.
Suaranya menjadi penghias tidur penduduk jalan obor yang terbangun malam hari.
Bila Ajo-Ajo menaikkan layang-layang danguangnya, kami anak-anak ikut pula bermain layang-layang. Ada layang-layang darek, yang berekor panjang. Ada pula layang-layang ula artinya ular yang panjang seperti ikan.
Layang-layang maco, yakni yang tanpa ekor dijadikan untuk aduan berbenang kaco atau kaca. Tanah Lapang menjadi pilihan kalau mau bermain layang-layang maco ini.
Di depan rumah dengan teman sebaya seperti Edi, Sul, Man, Jim dan Am yang lebih besar sering kejar-kejaran. Main bersama dan berkelompok.
Demikian pula permainan patok lele, diketok dari depan rumah Edi, petak pertama. Lalu dicongkel dari lubang seperti perahu di tanah. Patok lele dari kayu bulat atau rotan itu melayang sampai ke depan rumah saya.
Bila ditangkap dengan dua tangan nilainya 5. Satu tangan kanan saja nilainya 10. Kalau dengan tangan kiri saja nilainya 15. Patok lele dimainkan lima lawan lima. Bisa kurang, juga bisa lebih.
Pemenang adalah yang berhasil mengumpulkan angka tertinggi. Permainan musiman seperti di kampung juga dimainkan di depan rumah.
Saat musim karet, semua akan membeli dan menyimpan karet gelang sebagai taruhan bermain. Bisa dengan main tembak dengan memasang 10 karet setiap pemain. Bisa pula dengan tebak-tebakan angka tertinggi. Satu orang akan menjadi bandar. Setelah remi dikocok, lalu dibagi secara tertelungkup sesuai jumlah pemain. Bandar beroleh remi yang tidak dipilih oleh pemain lain
Bila ia beroleh angka tertinggi, maka semua karet yang ditaruh di depan pemain yang memasang menjadi milik bandar. Bila ia terendah, maka ia yang membayar sesuai jumlah karet yang dipasang.
Main pasang dengan remi itu juga dilakukan untuk permainan kwaci dan gambar. Sedangkan main kelereng bertanding di tanah dengan dijantiak, maksudnya disentil. Ada tiga lobang yang dibuat di tanah. Pemain berusaha memasukkan kelerengnya ke lobang kedua dan ketiga.
Bila berhasil masuk ke lobang yang ke sepuluh, maka ia menjadi pemenang. Hukumannya adalah yang kalah menguasai semua lobang, dan berhak menembak kelereng yang mencoba masuk atau mebdekati lobang. Bila ia bisa masuk, maka dinyatakan hukuman berakhir. Permainan diulang dari kembali dari awal.
Semua permainan itu, termasuk mobil-mobilan balap, gasing dan yoyo, berubah ketika di depan rumah dibangun Hall Badminton Arjuna.
Hall itu dibangun tinggi sejajar dengan jalan, atau setara dengan empat rumah petak yang kami tempati. Bangunan dari kayu, tiang kayu bulat, dan atap dari seng. Di depan pintu masuk masih ditumbuhi ilalang.
Sore hari anak-anak masuk ke Hall melihat orang main badminton. Bila ada pertandingan, hall penuh sesak karena berkompetisi dengan daerah lain. Orang yang usai bertanding biasanya berjalan di pinggir lapangan dengan handuk dan minum limun, keluar menuju pintu depan. Gayanya tampak hebat, berkeringat dan memegang tas serta raket Yonex yang bagus.
Tontonan dan gaya pemain menular pula kepada kami anak Sekolah Dasar. Sul dan Man telah membeli raket kecil. demikian pula Edi yang rumahnya di ujung sana. Ia mulai bermain badminton di halaman rumah petak empat. Pengganti lapangan dibuat garis di tanah. Net tidak ada, yang penting chock masuk atau di dalam garis.
Tatkala mereka asyik bermain, saya coba meminjam kepada Edi yang rumah berdekatan.
Di luar dugaan, jawabannya sangat tajam. “Kalau rusak lai taganti dek Ang,” artinya kalau rusak mampukah kamu menggantinya.
Saya terdiam, karena papa memang belum membelikan raket. Mama di dalam mendengar ucapan itu. Ia ingin saya segera punya raket ini. Tapi keputusan ada pada papa yang selalu hemat.
Saat itu ada Da Jun, satu kemanakan Papa yang datang dari kampung. Tersinggung karena ucapan Edi, walau seorang anak-anak, Da Jun berangkat ke pasar. Tak lama kemudian ia membawakan raket dan chock yang disebut bulu ayam.
Permainan ternyata terus berkembang. Edi selalu jadi ukuran. Setelah bosan main badminton, ayahnya membelikan sepeda baru.
Petang hari ia melintas di depan rumah petak. Gembira dan bangga sekali berkeliling kemana ia suka. Saya tak kalah ingin punya sepeda pula. Mama ternyata sudah mempersiapkan jawabannya.
“Papa belum ada uang nak,” katanya.
“Edi itu toko ayahnya tak kena saat kebakaran,” tambah Mama lagi. Petunjuk bahwa saya tidak bisa membanding-bandingkan.
Soal sepeda berbeda dari raket. Saya dan Edi tidak sama. Dua anak yang satu usaha ayahnya terbakar. Sedang yang satu lagi tidak. Tidak mengalami jatuh bangun termasuk pindah sekolah ke kampung.***