Perjalanan ini lumayan jauh. Melewati kota-kota seperti Bukittinggi, Payakumbuh, kemudian masuk ke lubang Jepang, yang disebut Lubang Kalam (gelap). Lalu ke Lubuk Bangku tempat persinggahan mobil dan bus yang melewati lintas Sumatera untuk berisitirahat dan makan.
Terus ke Pangkalan di perbatasan Sumbar dan Riau. Lalu melewati hutan lindung dengan pemandangan Selat Malaka yang indah. Kemudian masuk ke daerah Kuok, dan Bangkinang di Kabupeaten Kampar, yang rumah adat penduduknya juga beratap rangkiang.
Rumah Gadang seperti di kampung. Pasalnya, Bangkinang adalah kawasan yang beradat Minang. Tak jauh dari situ masuk ke kota Pekanbaru. Sebagian penumpang turun dan bus melanjutkan perjalanan ke Duri. Kota yang sebentar kami tinggalkan sejak kejadian kebakaran pasar setahun lalu. bus menuju ke arah Utara melawati kota-kota kecil yang disebut Minas. Han teman satu SD dulu menyebut Minas, adalah singkatan dari Minyak Nasional.
Sejatinya ia harus lebih terkenal dari Monas. Monumen Nasional yang di atasnya bertengger emas murni itu. Minas bukanlah karya buatan manusia. Ia adalah perut bumi yang menghasilkan minyak terbaik, sehingga minyak Minas tertinggi harganya di pasar minyak dunia.
Lalu mobil terus berjalan memasuki hutan yang sebagian sudah terbakar dan gundul. Tidak ada tanaman hijau di kiri kanannya. Di beberapa tempat ada pompa angguk, yang naik turun mengisap minyak dari perut bumi.
Di kiri atau kanan jalan ada pipa besar yang mengalirkan minyak itu ke pelabuhan. Konon begitu banyaknya minyak Riau yang disedot setiap hari, perusahaan minyak Caltex itu tidak sanggup membawa dengan alat transportasi apapun. Dengan pipa yang besar, minyak mengalir bagai derasnya arus sungai ke muara.
Pemandangan itu terus sampai ke Dumai, pelabuhan di pantai Timur Pulau Sumatera. Tempat perhentian untuk istirahat, sholat dan makan baru ada di Kandis. Itupun satu-satunya rumah makan berdinding kayu di kiri jalan dari Pekanbaru. Pengusaha Minang membuka rumah makan itu, dan menjadi pilihan tempat orang mengisi perut yang kosong di perjalan-an baik siang maupun malam hari.
Dari Kandis, ke Duri masih 60 km. lagi. Begitu terlihat komplek Caltex di Sebanga, nyata Duri semakin Dekat. Hari semakin gelap. Lampu-lampu perumah-an Caltex tampak dari jendela bus. Terang dan enak dipandang. Komplek itu bagai kota besar yang penuh lampu. Terang berwarna putih di rumah-rumah.
Sedangkan jalan-jalan dalam komplek dihiasi lampu warna kuning. Tak jauh dari situ, bus akan berhenti di Pokok Jengkol. Inilah terminal bayangan Kota Duri, dimana semua penumpang harus turun. Bus akan melanjutkan ke Dumai, tujuan akhir lintas Sumbar Riau ini. Kami pun turun, dan oplet bermerek Duri Indah, sudah mendekat.
Mereka menawarkan jasa carter di malam hari menuju Pasar. Papa memilih oplet Pak Toni, tetangga yang juga kenal di Pasar. Kami naik, dan 15 menit lagi rumah petak sewaan yang dulu kami tinggalkan akan dihuni lagi. Begitu masuk jalan Obor Utama, oplet terus berjalan, walau rumah petak dulu sudah terlewati. Papa memberi isyarat, ke depan. Dengan tulunjuk bahwa rumah petak kami bukan itu. Rumah yang penuh kenangan, pertama kali ke Duri, saat saya berusia 5 tahun dan Teti adikku usia dua tahun. Masih segar teringat, tiga tahun lalu. Pagi hari pap membawa kami berjalan dari Pasar ke Jalan Obor. Kemudian berhenti di depan rumah itu.
Di Depan ada satu keluarga Pak Ali, bernama lengkap Ali Putih. Nama itu terpampang di atas pintu terbuat dari tulisan cetak dari perak bercat hitam. Bukan sekadar nama saja, Pak Ali putih dan seluruh anak-anaknya memang berkulit putih. Semua anak-anaknya yang sebaya atau berbeda satu dua tahun adalah teman bermain saya. Jalan Obor masih sepi.
Rumah petak belum banyak. Tapi bulan demi bulan ada saja orang baru. Kota Duri tumpuan banyak perantau mengadu untung. Untuk berdagang seperti papa, atau bekerja di perusahaan Caltex, serta berbagai perusahaan kontrak dio bidang pendukung operasional Minyak dan Gas (Migas).
Saat baru tiba, papa mengangkat barang-barang. Aku memegang jaket. Di saku baju masih ada kojai (karet gelang) yang disimpan sejak dari kampung. Di kampung memang lagi musim main kojai. Dan saya punya simpanan kojai itu. Uni-uni sepupu di kampung, waktu itu minta kojai itu untuk mereka bermain.
“Nanti kalau sampai di Duri, Andi bisa dapat kojai yang banyak, sebab dekat pasar?” begitu rayu ni Titut saat barang-barang sudah dikemas dan kami berangkat meninggalkan rumah kayu di kampung.
Begitu turun, eh ternyata ada Is dan Era yang mendekat. Mereka juga belum sekolah. Teman bermainnya belum banyak. Mereka baik, dan saya berfikir inilah teman main kojai baru di Duri. Waktu pintu rumah petak di buka, mereka juga ikut masuk. Papa menata barang. Mama menyapu dan menyiapkan makan.
Rumah itu empat petak. Kami paling kiri di batas pagar. Di sebelahnya ada satu rumah Tek Mai. Di tengah ada satu keluarga dari Bagan. Lalu di ujung ada buk Nis, guru SD Sebanga. Rumah itu beratap seng, dan sudah mulai kecoklatan, karena mungkin sudah agak lama usianya. Orang di sini menyebutnya rumah ‘separoh batu.’
Pondasi dan dindingnya setinggi satu meter dari batu bata. Sedangkan tiang dan dinding ke atasnya dari kayu. Plafon dari triplek. Ruangnya terbagi empat. Ada teras yang dibatasi tembok satu meter dan berguna untuk duduk.
Ruang tamu, lalu kamar dibatasi pintu baik di depan dan dibelakang. Bilapintu dibuka, pintu itu berfungsi sebagai jalan untuk ke dapur. Tapi itu rumah yang dulu. Pertama ke Duri.
Kini rumah petak baru itu lebih dekat ke arah pasar. Berbatasan dengan rumah yang dulu. Ada empat petak, dan kami menempati petak paling kanan. Ada halaman yang cukup untuk bermain sepeda di depannya. Di antara jalan dibatasi dengan pagar dari batu bata, sudah dilapisi semen halus, tapi tidak di cat. Rumah petak baru itu di sewa papa waktu kami pulang kampung.
Mengapa pindah? Papa tidak menceritakannya. ***