Sumatera Barat, dan orang Minangkabau umumnya, berhutang budi kepada Prof. Harun Zain. Bagaimana kepemimpinannya dan mengapa Sumbar bisa ‘bangkit’? Mak-adang. com menurunkan empat tulisan setiap hari Senin. Ini edisi penutup. Selamat membaca. ***
Tetap Minang walau Berpendidikan Barat.
Oleh: M. Fuad Nasar.
Prof. Harun Zain meski pejabat berpendidikan Barat, alam pikirannya adalah alam pikiran bangsanya sendiri, khususnya Minangkabau. Setelah menjabat gubernur, ia kembali ke Jakarta. Menarik dan langka, mantan gubernur dua periode menumpang tinggal bersama keluarganya di Wisma Perwakilan Sumatera Barat Jalan Matraman Raya No 19 Jakarta Timur. Pada waktu itu ia belum punya rumah milik sendiri di Jakarta, kecuali rumah warisan dari orangtuanya Prof. Sutan Muhammad Zain.
Harun Zain, gubernur sipil pertama di masa Orde Baru dan purna gubernur pertama yang menjadi menteri. Ia diangkat menjadi Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabinet Pembangunan III (1978-1983) dan selanjutnya anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA-RI). Pengabdiannya berlabuh di dunia pendidikan sebagai Rektor Universitas Mercu Buana Jakarta dan Guru Besar Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK).
Harun Zain diamanahi sebagai Ketua Eksekutif Gebu Minang (Gerakan Seribu Minang) di Jakarta sejak terbentuk. Gebu Minang lahir dari saran Presiden Soeharto dalam acara Pekan Penghijauan Nasional 1982 di nagari Aripan, Singkarak, Kabupaten Solok. Presiden menggambarkan potensi perantau Minang. Seandainya satu juta perantau menyumbang Rp 1.000 per kepala, maka akan terkumpul dana sebesar Rp 1 Milyar. Orang Minang yang hidup di luar Sumatera Barat diperkirakan waktu itu antara 2,5 sampai 3 juta orang. Setiap bulan bisa terkumpul dana cukup besar untuk pembangunan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan.
Kepemimpinan Gubernur Harun Zain meninggalkan legacy berharga bagi kehidupan beragama dan kesejahteraan masyarakat. Harun Zain adalah ninik mamak dan gubernur urang awak se-Indonesia. Kendati demikian dalam perilaku kepemimpinan, ia tidak menyukai nepotisme dan tidak berpikir provinsialis atau sukuisme yang mengancam persatuan bangsa
Selayaknya Pemerintah Daerah mengabadikan nama Harun Zain sebagai penghargaan atas jasa-jasanya dan untuk memotivasi generasi muda agar berkhidmat membangun ranah Minang dan Indonesia. Salah satu penghargaan patut dipertimbangkan ialah penetapan nama Stadion Utama Sumatera Barat di Sikabu Pariaman menjadi Stadion Utama Harun Zain.
Harun Zain wafat di Jakarta 19 Oktober 2014 dalam usia 87 tahun. Sesuai riwayat hidup yang dibacakan saat upacara pemakaman di Taman Makam Pahlawan Nasional Utama Kalibata Jakarta, ia tercatat sebagai pejuang kemerdekaan eks Tentara Pelajar Republik Indonesia (TRIP) yang berjuang di Jawa Timur. Pemerintah menganugerahinya tanda kehormatan Bintang Gerilya dan Bintang Mahaputera Adipradana.
Penulis menyimak pidato Prof. Dr. Emil Salim, mantan Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup pada upacara pemakaman jenazah almarhum Harun Zain di TMP Kalibata. Emil Salim mengatakan; di antara jasa Pak Harun Zain yang tetap tersimpan di hati orang Minang adalah jasanya membangkit batang tarandam supaya duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan suku dan provinsi lain di Indonesia.***
Menarik, sebenarnya banyak tokoh Minang yang bisa diangkat, apalagi sebagian dari mereka sudh membukukan riwayatnya, seperti Mohammad Radjab, Hasan Basri Durin, Djoeir Mohammad (tokoh PSI), dsb. Btw, Pak Harun Zain bisa tuh diusulkan menjadi salah satu tokoh pahlawan nasional.