logo mak-adang.com

“Orang-orang di Rumah Sakit (6): DATUK CORONA DAN ‘DINASTI’ BISNIS KELUARGA

 Dr. Andi Mulya, S.Pd., M.Si.     29/11/2023    Kaba Ari ko,Kearifan Lokal 4   389 Views
“Orang-orang di Rumah Sakit (6): DATUK CORONA DAN ‘DINASTI’ BISNIS KELUARGA

Mak-adang.com, JAKARTA.

Ia masih sosok yang sama dengan Orang-orang di Rumah Sakit yang kedua. Yah betul saya panggil namanya Datuk Corona. Lelaki yang mirip dengan wakil gubernur tanah ini. Ternyata kini ia menjadi peje gubernur. Singkatan dari penjabat (Pj) yang artinya setara dengan gubernur itu sendiri. Lebih tinggi dari pelaksana tugas disingkat Plt.

Seperti kemaren, saya berjumpa Datuk saat ia memandang ke jendela kaca lantai 2. Bercerita sambil berpangku tangan. Di luar memang dingin. Usai hujan.

Datuk memang ramah. “Nah ini pak dosen,” sambutnya sambil mengerling ke satu teman yang duduk di tangga. Ia memberi isyarat cerita akan sero pagi yang dingin ini.

“Ayo minum pak, minum. Ambil air dulu,” tunjuknya ke air galon yang sudah panas. Ia memang tahu saya butuh air panas untuk diisi ke termos kecil warna coklat ini.

Orang-orang di Rumah Sakit (5): TEK BAYA SI TUKANG LOUNDRY TERCANTIK DI DUNIA

Saya pun berbasi-basi menyuguhkan roti bantal, yang dibawa Arnoldi, teman alumni Islamic Center di Padang, kemaren petang. “Oh iya, akan enak cerita nampaknya ni, ” katanya.

“Gimana Pak Dosen, sudah sehat Emak?” tanyanya.

Saya jawab bahwa mama sudah membaik.

Datuk lalu bercerita ia anak pertama dengan tujuh adik. Keluarga besar. Ia hidup dan tinggal dekat pasar d jalan lintas Sumatera, ke arah Jambi.

Jadi kalau Bapak ke sana, sebut saja nama Datuk Corona, semua orang akan tahu. Kebetulan di pasar itu banyak keluarga besarnya. Adiknya ada yang bekerja di pemerintah, jadi politisi, dan pengusaha. Semuanya sukses. Begitu jelasnya.

“Tapi begitulah,” katanya kemudian.
“Begitu bagaimana Datuk? sergap saya.

Dia menjelaskan satu adik yang pengusaha sukses. Uangnya banyak. Ia menguasai penjualan besi di kota ini. Lima tahun terakhir malah meledak lebih kaya karena usaha burung walet. Pembelinya pengusaha China.

“Bagus itu, begitulah bagaimana maksud Datuk?” kali ini saya bagai tak mau kalah.

“Adik saya itu pengusaha.”
Lalu?
“Ia kemudian masuk pula menjadi dosen, di tempat saya mengajar pula,” kata Datuk.

Oh itu mungkin Datuk memanggil saya dosen. Baru meluncur tak sengaja dari mulutnya, ia dosen.

“Pengusaha itu mencari uang, ini mau mengabdi pula, sudah jelas jadi dosen ini tak jelas uangnya,” katanya lagi.

Lalu apa masalah Datuk? Apa dia mengganggu karier Datuk? Membuat malu keluarga?

“Bukan itu,” kali ini ia menarik nafas panjang.

Saya beranjak duduk sedikit di pinggir tangga.

Datuk lalu bercerita panjang lebar. Begini ceramahnya ke saya:

Bapak tahu, dulu Bung Hatta jadi Wakil Presiden. Kalau mengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia yang baru dibuka, waktu itu, ia langsung yang mengajar. Tidak pernah terlambat. Apalagi sampai tidak masuk kelas.

Itu makanya Bung Hatta dikenal sampai ke rakyat bawah. Saya ingat tahun 40-an, Om saya bercerita, waktu Bung Hatta ke Bukittinggi. Belum sampai Bung Hatta turun pesawat di Padang, orang sudah berkumpul di lapangan. Dari malam hari berjalan kaki karena kampung halamannya jauh. Padahal kala itu tidak semua orang kampung yang kenal wajah Bung Hatta. Belum ada tivi, koran cuma di Kota Besar.

Lalu apa hubungannya dengan adik Datuk yang dosen itu?

Datuk lalu menjelaskan tak kurang panjangnya dari pertama tadi.

Itulah beda dulu dengan sekarang. Dulu orang kenal nama saja, tapi serasa masuk ke dalam batin. Walau tidak pernah berjumpa, tapi orang merasa punya tokoh yang disegani. Diteladani.

Sekarang banyak dosen, masuk tivi, punya buku, katanya dia yang tulis, punya pangkat sampai guru besar, tapi yang diingat orang bukan ia sebagai teladan. Tapi lebih sebagai pejabat. Ia berkuasa.

Bapak ingatlah kata Al-qur’an azab yang pedih bagi seorang yang berbohong. Apalagi melaporkan pekerjaan yang bukan dia yang mengerjakan.

Plagiasi maksud Datuk? Apa terjadi di tempat Datuk? Di tempat saya tidak ada. Begitu sanggah saya.

Datuk lalu melanjutkan. Nampaknya ia ingin sekali Curhat.

Berikut katanya: Bapak lihat sajalah di koran. Berapa banyaknya kasus dossn sampai rektor yang dipecat gara-gara kasus menjiplak. Itu yang masuk ranah hukum. Sah pidananya. Di luar itu banyak sekali paaaak.

Datuk seperti tiga alif suaranya.

Ada yang jiplak secara sah. Begini misalnya. Bapak anak buah saya. Namanya atas nama saya. Bapak yang menulis, juga menelitinya. Nanti uangnya dan namanya atas nama saya. Banyak sekarang pak.

Dulu saya ada profesor senior. Ia diundang dalam dan luar negeri. Kalau orang mau mencantumkan namanya, dia menolak. Lalu dosen junior memohonlah supaya diperkenankan. Maksudnya supaya nama besar profesor itu bisa menaikkan nama mereka yang belum dikenal.

Apa kata profesor itu, kalau masuk nama saya, saya harus ikut menulisnya, juga memeriksanya. Dua kali dikoreksi, kemudian ia setuju. Dikirimlah tulisan itu ke luar negeri. Masuk karena profesor itu integritasnya selalu terjaga.

Sekarang coba bapak lihat, banyak profesor tiba-tiba, karena ia punya jabatan tadi. Mudah saja dia atur.

Itukan sama dengan munafik pak. Mengatakan yang dusta saja salah. Ini mengerjakan yang bukan dia yang kerja. Bagaimana Tuhan mau kasih ilmu dan ilham yang baik. Juga nama baik seperti Bung Hatta dulu.

Lalu, apa hubungan dengan adik Datuk yang dosen tadi?

Tunggu dulu, kata Datuk, kemudian tak sabar karena dipotong ucapannya.

Kini banyak orang apa politisi, apa pejabat kota, sampai Bupati dan gubernur, dimana-mana ada fotonya. Juga orang-orang pintar di universitas. Tapi yang menonjol darinya jabatan saja. Ilmu dia tak punya. Itu maka bapak lihat banyak yang sakit orang kalau pensiun.

Ohhh. Jadi apa pasal Datuk kesal dengan adik Datuk?

Dia, kata Datuk, orang yang tidak cocok mengajar. Diminta pula mengajar di tempat saya. Padahal saya tahu ilmunya.

Bapak paham, dia mengajar bukan karena dia pintar tapi karena kaya. Sebagian politisi juga mengajar ke kampus. Apa itu namanya?

Jadi apa kita yang sungguh-sungguh ini? Dia tidak tahu mengajar itu harus membaca. Dia juga harus belajar. Orang yang belajar harus merendahkan hatinya. Ini tidak, dia berlagak hebat saja. Yang didapat anak-anak bagaimana menjadi sombong.

Nanti anak-anak kita ini menjadi generasi yang kurang adab. Sebab gurunya bukan orang yang rendah hati. Zuhud, kalau dalam agama. Itu masalahnya pak.

Kali ini panggilan pak Datuk kepada saja sudah merendah menjadi satu alif.

Bukankah bagus, bapak dikenal keluarga hebat. Dia kaya, bapak hebat. Dinasti istilahnya mudah diwariskan. Demikian saya membela adik Datuk itu.

Datuk tidak terpancing ucapan saya. Tampak sekali ia berilmu.

Bapak, katanya, bandingkan dulu dengan sekarang. Sekarang orang makin mudah terkenal di mana-mana. Ada media dia manfaatkan. Juga wartawan dia bayar. Juga tim kampanye. Tapi penyakit orang makin banyak. Dulu mana ada orang berhenti atau tidak naik jabatan yang stres. Mana ada dulu jadi Caleg. Tidak jadi lalu gila.

Kini ada rumah sakit khusus menerima Caleg stres. Coba bapak bayangkan. Itukan sama dengan guru dan dosen yang mengajarnya makin tidak mutu.

Saya sudah dari tadi mau minta diri. Tapi kali ini tak bisa ditunda.

Menjelang saya melangkah, Datuk tetap saja bertanya : “Apakah bapak dosen? ”

“Tidak, jadi guru SMA saja tidak,” jawab saya. Apakah Datuk Corona kuatir saya tersinggung.

Saya menuju kamar 301. Agak terlambat saya kembali. Tapi alhamdulillah kami bertiga yang berganti menunggu mama. Dan kali ini ada satu adik saya yang minta ijin sehari datang dari negeri kaya minyak.

Kalau mama kesal saya lama duduk di sini, saya sebut saja ada Datuk Corona yang Curhat. Datuk oh Datuk.
(andi mulya) ***

foto: kota tanjungpinang.

Nantikan Pekan Depan:

Orang-orang di Rumah Sakit: OB YANG SETARA DIREKTUR.

 

 


4 thoughts on ““Orang-orang di Rumah Sakit (6): DATUK CORONA DAN ‘DINASTI’ BISNIS KELUARGA

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *