Oleh: Ampera Salim SH. M. Si.
Mak-adang menurunkan setiap Ahad pagi pukul 07.00 tulisan bersambung tentang Surau Tuo, sebagai potret pendidikan masa lalu. Surau diyakin pendidikan terbaik dan paling modern yang mengagetkan penjajah Belanda masa itu. Di Surau pula perlawanan dan perjuangan kemerdekaan dimulai, baik fisik, mental, dan intelektual. Selamat membaca.***
Mak-adang.com, PADANG PANJANG.
Pagi sekitar pukul 06.00, setiap hari Kamis, anak siak (santri), Surau Baru, kini disebut santri Pondok Pesantren Darul Ulum Padang Magek, Tanah Datar, Sumbar, sibuk keluar menuju nagari-nagari tertentu untuk minta sedekah atau disebut juga mamakiah.
Daerah yang mereka kunjungi berkisar di Kabupaten Tanah Datar, paling jauh ke Baso, Agam dan ke Sumani Kab. Solok.
Santri ini hanya membawa bekal sebuah karung kosong berwarna putih. Itulah yang dinamakan buntia. Buntia ini dibuka di halaman rumah penduduk pada nagari yang sudah direncanakan semula.
Dengan mengucapkan kalimat Assallamualaikum Wr.Wb, mulut buntia dibuka. Selanjutnya sambil menjawab salam, si tuan rumah langsung mengetahui, bahwa yang datang itu adalah santri dari Padang Magek.
Biasanya tuan rumah menyuruh santri naik ke rumah, melafalkan doa untuk arwah orang tua-tua dan keselamatan keluarga. Jika tidak, dia langsung memberikan segelas beras kepada santri yang berdiri di halaman. Beras langsung dituangkan ke dalam buntia. Kemudian santri inipun mengucapkan terimakasih dan menuju rumah lain untuk berbuat hal yang sama.
Setelah seharian berjalan dari rumah ke rumah dan dari desa ke desa (nagari ke nagari), buntia yang disandang pun akhirnya penuh. Isinya berkisar 10-20 liter beras. Kemudian santri memutuskan pulang ke pondok.
Hasil mamakiah itulah, yang dijadikan bekal oleh santri pondok pesantren Darul Ulum Padang Magek, selama seminggu untuk makan. Sebagian bisa dijual dijadikan uang belanja.
“Begitulah siklus kehidupan mamakiah yang dipraktekkan anak siak Surau Baru, sejak pengajian di surau ini dimulai tahun 1942 di bawah asuhan Almarhum Tuanku S. Malin Kuning,” kata salah seorang pengurus pesantren ini.
Sejauh ini katanya, nama anak siak, atau disebut santri arul Ulum, belum pernah cacat di luar. Malah banyak masyarakat nagari tetangga yang memujikan kehadiran anak santri mamakiah setiap hari Kamis. Sebab, tidak sulit menunggu orang untuk melafalkan doa keluarga, bagi kalangqn ibu ibu yang telah menetap di kampung.***
Penulis: Kadinas Kominfo Kota Padang Panjang.
Jika pembaca tertarik berdonasi agar tetap bertahan pendidikan ala Surau di masa dulu di Minangkabau, dapat menyalurkan ke:
Bank Nagari Syariah
Rekening: 72020201001560
A/n. PONDOK PESANTREN DARUL ULUM Padang Magek.