logo mak-adang.com

Catatan Harianku (346): SUMPAH DI SELAT SUNDA

 Dr. Andi Mulya, S.Pd., M.Si.     14/08/2024    Catatan Harianku   28 Views
Catatan Harianku (346):  SUMPAH DI SELAT SUNDA

 

Tepat sebulan lalu (14 Juli 2017)
Berakhir pulalah perjalanan mudik idul Fitri nan barokah itu.

Apakah tanda kampung halaman sudah terasa jauh? Tandanya adalah ketika mobil harus membelah lautan dengan Ro-ro (roll on-roll off). Menyeberang.

Bila satu saat ada jembatan di Selat Sunda… para perantau dan pengadu nasib di tanah Jawa tetap akan mengingat.. penyeberangan inilah petanda hidup baru dimulai.

Sebagai perantau yang tahan uji
Oleh hujan dan panas kehidupan.
Oleh keringat, air mata, dan darah dari tangan yang melepuh karena kulit tak sanggup lagi menahan perih dan panas. Kerja keras.

Tidak salah bila satu teman sesama SD di Duri, yang sebenarnya masih keturunan inyiak H. Hasan, berkata: “inilah Tanah Jawa, di sini tempat ‘hidup’ di sini pula nanti tempat dimakamkan. ”

Satu sumpah tentang beratnya hidup di kampung halaman.

Lebih kurang relevan dengan ucapan sesenang di kampung… lebih senang di rantau orang sampai maut menjemput sekali pun. Sampai nafas mau berpisah dengan badan sekali pun. Sampai tali darah berpisah dengan tali darah yang lain sekali pun. Berpisah mati dengan sanak saudara. Itu maksudnya.

Mengapa kata kata sangat dalam. Dan jauh ke rongga hidup dan mati. Mengapa tiap tahun rela bersusah payah ke kampung halaman.

Saya sangat mengerti batinnya.
Kampung halaman dilirik karena ada mande kanduang.

Soal yang lain… sepayung tapi berjauh hati.
Kampung katanya hanya dilihat oleh orang uang beruang. Berpunya.

Bila tidak… sorga kampung akan berubah jadi neraka. Tak ada yang bisa diajak bicara. Apalagi kalau mau menuntut hak, bagian, atau harta. Wallahualam bissawab. Dek ambo kalam baa ka manjawab. Gelap. Tidak ada jawaban.

Itulah sebab saya kira, mengapa kampung halaman jauh dari hati.

Jawaban yang paling tepat adalah saat banyak orang tidak beroleh apa yang menjadi haknya.

Banyak orang yang seenaknya atas hak orang lain. Juga tidak ada rasa santun dan permisi… atau kata maaf… bila hati orang tersinggung, hak orang terambil, barang orang terusik.

Beberapa sahabat saya menceritakan. .. tidak bisa marah bila pagar yang baru di cat lalu orang lain yang notabene tetangga menjemur baju basahnya.. bahkan sarawa kotoknya atau mengebatkan anjing piaraannya di pagar itu.
Adakah kata maaf bila kita merasa tidak pantas? Tidak. Yang terjadi malah dimusuhi dan dibully, istilah sekarang. Dicarani kalau perlu, istilah dulu.

Mengapa pintu langit tidak mencurahkan rezeki Nya.

Orang terbaik dan terhormat di tempat lain tidak beroleh haknya di kampung halaman.

Apalagi hak nya sebagai sesama muslim. Hak saling menghormati. Hak saling memuliakan. Hak beroleh jalan yang lapang karena membuang duri di jalan saja beroleh pahala.

Hujan batu di negeri sendiri.. lebih baik dari pada hujan emas di negeri orang. Itu dulu.

Citayam,  14 Agustus 2017

Sanak yang jauh di ujung pulau Jawa. Tulisan ini untukmu Abdul Zain Hadi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *