logo mak-adang.com

Prof, Gusril yang Saya Kenal: DOSEN ATAU DUO SEN?

 Dr. Andi Mulya, S.Pd., M.Si.     28/02/2023    Alumni   145 Views

Mak-Adang.com

Saya lebih senang memanggil: Pak Gusril. Kendati secara akademis beliau Profesor, atau dipanggil Prof. Gusril. Sebab panggilan Pak atau Bapak  lebih familiar di lidah saya. Pak Gusril adalah pembimbing dua skripsi saya tahun 1994.

Pertama kali bertemu dengan Pak Gusril adalah di Ruang Kelas  lantai 1 kuliah Jurusan Kesehatan Rekreasi FPOK IKIP Padang, tahun 1991. Pada saat itu Pak Gusril  baru pulang S2 Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta (UNJ).

Saya masih ingat Pak Gusril menyampaikan tentang filsafat. Ia menuliskan di papan tulis:  Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi. Saat itu pertama kali saya mengenal tentang filsafat. Perhatian beliau sangat membantu saya  menyelesaikan Skripsi. Bahkan beberapa kali Pak Gusril ‘mengalah’ bila berseberangan pendapat dengan Pembimbing 1. “Ikuti saja, yang penting Andi lulus,” begitu kata-katanya.

Usai berkunjung ke Mentawai, saya menulis laporan utama di Koran Semangat, Padang. Keesokan hari, ada pelajaran dengan Pak Gusril. Ia lalu bercerita tentang penelitian. Pada pertengahan kelas, Pak Gusril lalu  berkata: “Kalau mau ke Mentawai, meneliti olahraga, bagus, seperti yang ditulis Andi.”  Ternyata Pak Gusril membaca karangan saya.

Setelah saya lulus  S1, saya bekerja sebagai wartawan di Pekanbaru. Satu kali ada kunjungan saya ke kampus. Pak Gusril antusias bertemu saya. Bagai memang menjadi sahabat. Dibonceng sepeda motor Astrea Star hitam, kami lalu makan gulai ikan di depan Makam Pahlawan Lolong.  Tempat makan sederhana, namun dari mana-mana orang makan ke sana.

Yang pasti sepeda motor itu penuh kenangan bagi Pak Gusril. Tapi juga bagi saya. Saya beberapa kali memakainya. Pak Gusril bersikeras mencicil motor itu dari honor dosen di Universitas Negeri Padang yang tidak seberapa. Saat itu motor boleh dikata barang mewah dan berjasa untuk mobilitas.

Misalnya saat ada program pengabdian masyarakat. Saya dilibatkan Pak Gusril dalam membuat sumur gali bagi masyarakat Balai Baru. Belum ada jalan By Pass kala itu, sehingga Balai Baru masih sedikit layanan oplet/angkutan kota.

Di sela-sela kegiatan itu, Pak Gusril mendorong saya untuk  segera menyelesaikan skripsi. Sehingga saya lulus pada September  1994.

Kala saya pindah ke Jakarta tahun 1995, saya berjumpa Pak Gusril di Rawamangun. Kalau tidak salah sedang mengantarkan rekan S3 kembali ke Padang. Pak Gusril melambaikan tangan sambil memanggil nama saya: “Andi.. Andi sini.”

Pak Gusril bahkan mengatakan sudah beberapa lama mencari saya. Jelas saja saya pun terharu karenanya. Bagaimana dengan Ibuk dan Corry (puteri Pak Gusril) di Padang? Begitu tanya saya. “Yang penting ibuk sudah siap menderita,” ucap Pak Gusril menirukan ucapan Ibuk.

Siang itu, bus besar dan kenderaan lain terus lalu lalang di terminal itu. Kami berdiri di trotoar menjelang pintu masuk. Pak Gusril  berangkat dengan tekad, dan dilepas  oleh istri dan anak dengan tekad saling mendukung. Berpisah selama empat tahun, yang pada awalnya  Pak Gusril belum beroleh beasiswa.

Saya hadir saat Pak Gusril wisuda, dan saat syukuran di rumah kosnya jalan Pemuda. Belakangan saya tahu, ternyata Pak Gusril memperlakukan setiap orang yang dia kenal baik bagai keluarga.  Sebab belakangan, salah satu dari cucu dari Ibu Kos tersebut, ia angkat sebagai anak. Diongkosi ke Padang, dibiayai melanjutkan ke Perguruan Tinggi.  Insya Allah ini menjadi amal sempurna disamping pengabdian mengajar/mendidik mahasiswa di kampus.

Pada akhirnya, komunikasi saya dengan Pak Gusril terus terjalin. Beberapa kali Pak Gusril mendukung saya secara penuh dalam menulis buku Ensiklpedia Olahraga Indonesia, seminar penulisan olahraga, serta saat saya melanjutkan S3.

Pak Gusril menjadi guru dan teman berdiskusi  soal jurnal, seminar internasional, termasuk reviewer disertasi saya sebelum ujian tertutup.

Beberapa kali saya kontak telepon dengan Pak Gusril. Tidak hanya bercerita soal akademis. Melainkan ke soal kegiatan pribadi dan hobi. Juga pengalaman dan kenangan masa lalu.

Salah satunya Pak Gusril bercerita tentang perjuangan menjadi dosen di FIK-UNP. Kalau tidak salah, selama dua tahun pertama, Pak Gusril bekerja tanpa gaji. Status yakni sebagai asisten dosen. Belum menjadi PNS, karena masih menunggu formasi/pengangkatan.

Setelah diangkat, ternyata gaji tidak seberapa. Tapi Pak Gusril perlu sepeda motor untuk perjalanan dari rumah ke kampus. Motor Astrea yang pernah saya pakai itulah sebenarnya diceritakan Pak Gusril telah banyak jasanya.

Beberapa waktu lalu, dalam percakapan telepon, baru saya tahu, ternyata saat membeli motor itu, Pak Gusril dinilai kurang pantas. Gaji malah tidak cukup untuk membayar cicilan motor tersebut.

Waang dosen, atau duo sen?” begitu kata ayah Pak Gusril suatu hari. Artinya  kamu dosen atau dua sen. Dua sen adalah lambang mata uang masa awal kemerdekaan yang menunjukan nilai yang kecil.

Demikianlah, dari perkenalan lebih 25 tahun dengan Pak Gusril, saya mengerti tentang nilai perjuangan. Sukses ternyata bersumber dari kesungguhan,  ketekunan, kerja keras dan sabar.

Selamat Pak Gusril. Semoga senantiasa sehat sekeluarga.

Selalu kuat mengabdi dan inspirasi.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *