logo mak-adang.com

Novel 2 (02): Tragedi Bunga Setangkai.

 Dr. Andi Mulya, S.Pd., M.Si.     19/02/2023    Novel Tragedi Bunga Setangkai   202 Views

 

Menjelang bus berangkat ke Duri, papa mengajak kami ke Kebun Binatang Bukittinggi.

Tempatnya tak jauh dari Jam Gadang. Saat itu kebun binatang ini menjadi satu-satunya wisata hewan yang terbaik di Sumatera. Ada gajah, harimau, beruang, dan berbagai jenis burung.

Udaranya dingin. Suara burung sudah ramai terdengar begitu kita sampai di pintu gerbangnya. Bukan sekadar melihat hewan, papa juga bercerita peristiwa lima tahun lalu.

Itu tak lepas dari perjuangan papa berdagang. Bila kain bermeter dijual di Duri, dua toko yang terbakar itu, maka barang dibeli dari induk semang dari Padang. Untuk mendatangkan barang itulah papa harus bolak-balik Duri-Padang.

Tersebutlah peristiwa tahun 1974, papa ke Padang sekali sebulan. Bisa lebih menjadi enam pekan, bila jobali artinya uang diperoleh dari hasil jual-beli, hanya sedikit.

Biasanya papa menumpang mobil Sinar Riau, Gagak Hitam, dan ANS. Mobil berukuran kecil, berpenum-pang 30 orang.

Satu siang, perusahaan oto bus baru, Bunga Setangkai, menawarkan jasa angkutan bagi pedagang dari Dumai dan Duri. Win, agen oto bus tersebut juga mengajak papa berangkat dengan bersama 60 penumpang lain.

Sangat menarik karena banyak yang ikut. Lebih nyaman karena armada baru, dan besar. Mobil berangkat usai Magrib dari Duri. Sesuai informasi agen, penumpangnya penuh.

Jam 21.00 sudah melewati Sungai Siak. Kala itu jembatan Leton, di Bom Baru, sedang dibangun. Kata papa banyak tanah liat kuning bertumpuk di pinggir jalan.

Lalu bus Bunga Setangkai meluncur terus ke arah Bangkinang. Hari menunjukkan pukul 22.00. Hanya 15 km. dari Bangkinang, tepat di jalan yang agak sempit. Melewati satu jembatan kecil pula, bus terpanjang ukuran kala itu, hilang kendali.

Ia terjun ke sungai sedalam 20 meter. Awalnya kepala bus lurus seperti ikan meloncat ke air. Penumpang dari belakang bertumpuk terjun ke arah sopir. Pekik minta tolong terdengar memilukan.

Entah bagaimana posisinya kemudian, papa masih bisa keluar dari satu jendela. Papa merasa biasa saja. Sadar dan ingat semua yang dilihat.

Kemudian seseorang yang masih dalam bus juga sedang berusaha keluar. Papa ingat tas kulitnya berwarna coklat dibawah bangku. Di tas itu tidak sekadar pakaian. Ada juga uang dan catatan barang atau faktur belanja.

Lebih dari itu, juga ada uang kiriman Tuan Amir (ayah Erimen Amir), ke induk semangnya di Padang.

Tuan tolong ada tas coklat, ambilkan di bawah bangku,“ kata papa.

Mujur disebut, tas itupun dapat. Kemudian Papa mengeluarkan kain sarung untuk membalut badan. Papa senang bukan main. Akan tetapi pekik laki-laki dan perempuan yang terjepit dekat sopir makin menyayat hati.

Papa tidak bisa berbuat apa-apa. Di dalam gelap di pinggir sungai itu, ternyata sudah ada penduduk yang datang menolong. Satu laki-laki lalu memopong papa berjalan.

Kamari lewat pak,” artinya sini lewat, menujukkan arah naik.

 

Papa sampai di pinggir aspal. Laki-laki itu lagi yang menyuruh papa naik ke atas truk.

Ternyata di truk terbuka itu, sudah ada 12 orang penumpang lain. Papa menunggu sebentar. Setelah berjumlah 15 orang, oto prah sebutan truk bahasa Minang, itupun berangkat.

Ada dua jam pula perjalanan menuju Rumah Sakit Daerah Kabupaten Kampar, di Bangkinang. Dalam perjalanan papa mengeluarkan sapu tangan karena mukanya serasa basah oleh hujan.

Tapi kemudian diketahui, aliran itu adalah darah yang keluar dari luka robek di kening papa.

Sampai di Rumah Sakit tengah malam. Papa ikut turun dan menuju bangsal. Di ruang yang besar itu, seketika tempat tidur penuh oleh korban kecelakaan Bunga Setangkai.

Papa lalu mengambil dipan yang paling sudut. Tas kulit ditaruh di bawah dipan. Barulah senang hati. Lalu tertidur dua sampai tiga jam.

Kemudian dokter datang memeriksa papa. Tangan kanan papa ternyata patah, pergelangan juga takilia atau keseleo (dislokasi). Lalu tangan papa disemen sehingga lurus tak bisa ditekuk karena dibalut semen berwarna putih. Dari pangkal lengan sampai ibu jari.

Kemudian kening yang luka, sudah mengering sejak tadi malam. Ternyata bukan luka kecil. Dokter menjahitnya sampai tujuh benang.

Siang hari seorang wartawan Haluan datang dari Pekanbaru. Ia mewawancara papa dan bertanya tentang kejadian itu. Terakhir dia bertanya, yang sangat papa ingat. “Sia apak?” maksudnya siapa (nama) bapak.

“Fakhri Datuk Sahih,” jawab papa. “Toko AUNA Duri,” lanjut papa tanpa ditanya.

Keesokan hari koran yang terbit di Padang memberitakan head line (berita utama) halaman pertama peristiwa itu. Dari Padang, kabar akhirnya sampai ke Rao-Rao.

Di rumah kayu, sore itu orang ramai datang ke rumah. Saya bermain di beranda. Mama terganggu karena saya mendekat. Cemas sekali saat bicara dengan orang yang datang membawa kabar. Tapi sebagai anak usia empat tahun, saya belum mengerti apa-apa.

Menjelang malam, mata mama sudah sembab menahan tangis. Sepasang anak, saya usia empat tahun dan Teti satu tahun, akan menjadi yatim. Begitu mama sangat galau.

Di saat genting itu, di situ pula datangnya keramat Mak Tuo, Haji Hindun. Nenek saya ini punya firasat yang kuat.

Dia berkata kepada Mama: “Seperasaan Ande Nak, lai masih ado Datuak Sahih tu.” Artinya Mak Tuo tidak beroleh gelagat buruk. Ia yakin papa masih hidup, dan selamat.

Pukul 02.00 dini hari, di kamar tengah rumah kayu, saya terbangun. Ternyata yang tidur di samping saya adalah Mak Tuo.

Mak Tuo, ma Mama?” tanya saya singkat, mana Mama.

Mama ke Sungai,” jawab Mak Tuo. Mak Tuo membohongi saya, dengan menyebut Mama ke Sungai Jariang, tempat mandi, cuci dan kakus (MCK) di kampung. Teti nampak menangis. Tapi Mak Tuo pandai mendiamkannya.

Sembilan hari Mama pergi, ternyata Mama berangkat ke Bangkinang. Melihat Papa. Menurut papa, Mama sampai di Rumah Sakit Bangkinang petang hari. Entah bagaimana perjalanan yang ditempuh Mama sejak malam hari, diam-diam berangkat dari kampung. Tujuannya agar kami tidak ikut.

Sementara pada siang hari, satu rombongan mobil, entah Cempaka atau Minang Jaya, berpenumpang 25 orang dari kampung datang menjenguk papa.

Rombongan itu di komando oleh Tuan Kutar Bawang, ayah Erlinda, yang berdagang nasi dan gulai kambing di Balai Sotu. Satu kemanakan Papa di Kaum Poruk Nan Godang, Koto Kaciak, berinisiatif menghimpun dana untuk perjalanan. Nefli, kemanakan dan juga anak kaduk papa itu, tidak ikut ke Bangkinang. Anak kaduk adalah pendamping atau pengawal kecil marakpulai selama baralek, atau pesta nikah sesuai adat Minangkabau.

 

 

Kata Papa, awalnya Tuan Kutar, susah mencari dimana papa.Ternyata papa di dipan paling sudut.

Ha ko nyo Datuak ha,” artinya ini dia Datuk. Begitu teriakan Tuan Kutar karena gembira setelah mencari ke sana kemari. Kata papa, bagaimana teriakannya itu dan diikuti rombongan dari belakang, masih segar teringat sampai sekarang.

Setelah bertukar kabar sampai petang, rombongan dari kampung lalu pulang kampung ke Nagari Keramat. Saat itulah mama sampai. Berlinang air mata, karena sebelumnya mama kehilangan harapan.

Koran Haluan memberitakan 28 dari 60 penumpang wafat dalam tragedi itu. Penumpang wafat terba-nyak adalah urang awak asal Bukittinggi, ditambah sopirnya sendiri.

Mama berucap syukur. Teringat dua anak kecil yang ditinggalkan di kampung. Alhamdulillah masih punya ayah.

Kemudian mama menemani Papa sampai perawatan usai, 10 hari lamanya. Seorang kawan Mak Datuk, atau dipanggil papa Tuan Husni, datang menjeng-uk. Ia bekerja di Kantor Bupati Kabupaten Kampar. Mungkin ia tahu, jelas papa, dari membaca berita koran.

Demikian pula, Ayah Syafri Rahman, datang dari Pekanbaru. Karib masa kecil papa, satu dari empat keluarga AUNA, Nazir Jamal, juga datang dari Duri hendak ke Padang. Ia hanya turun mungkin satu jam, dari Bus lalu yang mampir ke Rumah Sakit.

Biasanya dengan Pak Nazir, papa bercerita bagai bahabih minyak, tak habis-habisnya. Selain dengan sesama penumpang yang kecelakaan, papa punya kawan bicara selama di Rumah Sakit.

Di sebelah dipan papa misalnya. Ada satu lelaki mungkin berumur 25 tahun. Ia kecelakaan saat mengambil buah kelapa. Saat mencincang tampuk kelapa, ia salah tusuk. Pisau mengena matanya.

Tapi anehnya, sesuai ceritanya kepada papa, ia tak merasa apa-apa. Ia terus saja memetik kelapa dengan golok itu.

Setelah turun dengan selamat, barulah pemandang-annya menjadi gelap. Ia dirawat cukup lama. Jadi rumah sakit saat itu sangat ramai, termasuk oleh keluarga yang datang.

Bila bosan, Papa mengajak mama berjalan-jalan ke Pasar Bangkinang. Di sana ada satu keluarga orang Rao-Rao berdagang buah-buahan. Tina namanya, dari Mandiliang Tapi Ayia, berbatasan suku dengan kami Piliang Balai-Balai.

Rasa bosan menunggu perawatan agak terobati, karena perhatian orang sekampung itu sangat tinggi. Usai 10 hari, papa bersiap pulang kampung.

Kisahnya saya ingat yakni pada satu malam, pintu di rumah kayu diketok. Saya paling dahulu membukakannya. Tidak tahu bahwa papa pulang. Dengan gembira tangan saya acungkan. Ternyata yang terpegang adalah semen putih pembalut tangan papa.

Rumah seketika ramai oleh sanak keluarga yang ingin menjenguk. Kepada orang yang datang, diantaranya papa bercerita, trauma yang sangat tinggi naik bus atau perjalanan darat ini. Saat pulang ini contohnya. Kata papa lutut mangaletek atau gemetar saat bus mulai kencang, atau berbelok.

Saat ini kening papa masih membekas jahitan itu. Sementara saat mengangkat air seember penuh di sumur, papa banyak menggunakan tangan kiri. Terasa masih ngilu dan tak kuat, karena tangan kanan yang patah itu.

Itulah Tragedi Bunga Setangkai. Perjuangan papa dan para pedagang Minangkabau umumnya, bolak-balik membeli barang dagangan.

Dimanakah Batu Anjiang? Usai berkeliling Kebun Binatang Bukittinggi ini, papa akan menunjukkan di perjalanan menuju Duri kali ini.

 

***

Usai jatuh dari bus itu, papa tiga bulan lamanya istirahat di kampung. Cerita tentang korban Bunga Setangkai pun berkembang terus. Salah satunya Pak Dullah, sebut saja begitu namanya.

Ia tinggal di dekat Masjid Ihsan. Begitu keluarganya tahu ia tidak ditemukan di lokasi Batu Anjiang, ia dianggap sudah wafat. Keluarga besar sudah menggali kubur untuk Pak Dullah dimakamkan. Berharap jasadnya nanti bisa ditemukan.

Akan tetapi di hari keempat ia pulang ke rumahnya. Orang terkejut yang menyambut berderai air mata. Rezeki sebesar langit dan bumi, suami yang dikira wafat, ternyata sehat wal’afiat.

Pak Dullah bercerita usai kejadian ia selamat. Tidak ada luka apalagi meninggal. Dalam gelap malam, ia menaiki bus lain menuju Padang. Usai membeli barang ia pun pulang.

Kata papa, tragedi memang membawa berbagai cerita yang tak terduga. Tapi ujung-ujungnya tetap sama. Sedih dan air mata.

Hal lain dialami Papa terkait induk semang yang satu asal Nagari Keramat. Setelah agak pulih, dua bulan istirahat, papa ke Padang menjumpai Pak Nazir. Lalu papa datang ke salah satu toko tekstil di lantai dua Pasar Raya Padang.

Bukannya beroleh simpatik. Ditanya pun tidak. Padahal papa datang dengan kepala diperban. Tangan masih dibalut semen putih.

Pemilik toko malah hanya bicara piutangnya kepada papa. Harus Segera dibayar. Papa hanya terdiam. Lalu ijin pergi.

Lain lagi kisahnya saat Papa mendatangi Kantor Pusat Bus Bunga Setangkai tak jauh dari Lintas, terminal antar kota di Padang.

Papa berharap ada bantuannya karena sudah kecelakaan di perusahaan mereka. Satu pegawai berkata sombong dan menyebut perusahaannya ini milik Emil Salim, menteri Ekonomi yang berpengaruh di zaman Soeharto.

Wadeh. Bikin malu Pak Emil saja. ***

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terkait