Oleh: Andi Mulya
Mahasiswa Program Doktor Pendidikan Olahraga UNJ
Yah, andai Indonesia menang menjadi juara AFF pada Sabtu (17/12), pukul 21.00 lalu. Pluit panjang tanda pertandingan berakhir akan mengguncang Stadion Rajamangala, Bangkok, Thailand. Pemain Indonesia saling berpelukan dan merangkul saling puji. Mereka sebentar lagi akan dipanggil ke atas panggung menerima hadiah dan Piala AFF yang sudah 20 tahun diharapkan dibawa ke tanah air setelah puas menjadi runner-up ke empat kali, sejak AFF digelar.
Supporter Indonesia meluapkan kegembiraan dengan menari, berputar-putar, dan bertepuk tangan. Bendera merah putih ukuran besar mereka bentangkan. Semakin lama bendera itu dikibarkan dari semua sudut sehingga seperti gelombng ombak di lautan yang tidak kenal lelah. Lagu Indonesia berkumandang membelah langit negeri Gajah Putih itu.
Televisi kemudian memuji setinggi langit perjuangan dan pesepak bola Indonesia yang hebat itu. Mereka ditampilkan wajahnya (shoot) satu per satu, sehingga tampak jelas karakter mereka masing-masing. Siaran TV akan mengulang-ulang gol yang mereka persembahkan. Tepuk tangan terus bergemuruh.
Saat kembali ke tanah air. Pemain dan pelatih serta official akan disambut di Bandara. Para pendukung mengelu-elukan mereka adalah pahlawan AFF 2016. Nama mereka disebut satu persatu. Fans fanatik menuliskan nama pemain favorit di spanduk. Sebagian juga di pipi mereka. Ada pula yang sudah berniat menggundulkan kepala juga menuliskan nama singkat pemain itu di kepala yang tidak berambut.
Usai dari Bandara berebutlah pejabat menyambut dengan penuh suka cita. Pejabat tertinggi tentunya terlebih dahulu yang kebagian kunjungan. Jadwal yang lain yang sudah diatur sebelumnya ditunda, demi berjumpa sang pahlawan. Bendera dan lagu kebangsaan lagi-lagi dikumandangkan.
Usai dari acara resmi, sampai ke pelosok desa tempat mereka berasal, disambut iring-iringan. Semua moment tidak lepas dari liputan media. Kalimat pemain yang hebat muncul terus menerus. Profil pemain diulas satu persatu di media. Media sosial juga ramai membicarakan itu, dan menjadi topik terhangat (trending topic) mengalah isu nasional lain. Hari itu dinyatakan pula sebagai hari Bela Sepak Bola Indonesia. Kode 1712 pun makin populer. Hari kala sepak bola Indonesia tampil bak pemuda tampan, atau gadis cantik usia 20 tahun.
Tiada lagi yang ingat bahwa malam itu adalah malam yang terbaik, dimana peluang untuk menang sebenarnya sangat tipis. Lupa pula tentang masa-masa persiapan yang sulit di tengah pembangunan sepak bola dan olahraga Indonesia umumnya—terutama olahraga prestasi—sangat memprihatinkan. Prihatin sarana prasarana, tenaga pelatih, dan kisruh organisasinya.
Saya akhirnya tersadar dari lamunan, tatkala masih di depan televisi siaran langsung telah berakhir. Thailand unggul dan berita hanya sekenanya saja tentang pemenang. Setelah itu siaran lain masuk menggantikan. Pengiklan tentu tidak lagi punya ruang yang lebih karena tiada lagi yang menonton televisi, kecuali bila yang menang adalah Indonesia.
Identitas Nasional
Mengapa menjadi juara—apalagi sepak bola–bagai datang ke sorga di Indonesia. Apakah valid sepak bola dapat disebut identitas budaya masyarakat Indonesia? Nyatanya memang ada beberapa fakta, misalnya, animo masyarakat bermain sepak bola di berbagai lingkungan sosial. Lapangan sepak bola rakyat terdapat mulai di sawah usai di panen, di pinggir pantai dan sungai, di puncak gunung, juga di dataran yang berawa-rawa dangkal.
Sepak bola gembira dimainkan dengan bola dari jeruk bali yang dikeringkan, bola dari api, pemain bersarung. Penonton sepak bola kini tidak lagi dominasi kaum lelaki, tapi juga kaum ibu. Pertandingan sepak bola puteri juga menjadi cabang dipertandingkan. Selain itu terdapat beragam permainan rakyat menggunakan bola di desa desa mulai dari anak-anak sampai orang dewasa.
Sepak bola di tingkat nasional di datangi fans dan pendukung simpatik dari berbagai daerah. Mereka datang melihat tim pujaan bertanding bahkan dengan modal nekad. Akhirnya populer pula sebutan Bonek, dengan jumlah massa yang besar. Jauh dari ibu kota atau tempat bertanding, tidak menghalangi untuk datang ke stadion.
Pertanyaan kita kini, secara sosiologis dan antropologis, sebegitu semaraknya sepak bola di masyarakat, mengapa Indonesia baru mimpi jadi juara? Walau sepak bola Indonesia pernah disegani di Asia Tenggara, namun dari waktu ke waktu prestasi tidak menggembirakan. Yang paling aktual, kita belum bisa mengalahkan dominasi Thailand, bahkan pernah kalah dengan Singapura.
Dalam jurnal tandfonline.com bertajuk “Sport in Transition: Emerging Trends on Culture Change in the Anthropology of Sport,” Karen McGarry menyindir bahwa sepak bola tidak melulu dijawab dengan kajian ilmu kepelatihan. Potensi masyarakat, termasuk pemerintahan, seperti Russel dan Graham (2006) dalam buku Sport Governance (pemerintahan olahraga) juga menentukan sukses prestasi. Relevan dengan Indonesia terkait kedua ahli itu, misalnya, di negara yang olahraganya maju, terdapat fasilitas olahraga dan pendanaan olahraga yang maju.
Beda dengan kondisi kita sekarang, di mana fasilitas olahraga dibangun dengan ambisi politis semata, kemudian petinggi olahraga malah masuk jeruji besi. Sulit membayangkan menteri olahraga, akan menjadi calon Wakil Presiden, karena olahraga di tangannya maju pesat, seperti Kazakstan, yang Menporanya kemudian menjadi Pendana Menteri.
Dari sisi pembinaan, sekolah sepak bola se-Indonesia saat ini, hanya dominan pelatih Level D AFC. Alasannya klasik, kalau sertifikat level A, tidak sanggup dibayar pemerintah, karena alasan alokasi dana pemerintah yang terbatas. Sementara saat ini di daerah pelatih sekolah tersebut rata-rata dibayar Rp 2 juta – Rp 2,5 juta saja per bulan. Ini sekelumit masalah mendasar itu.
Potensi Juara
Saat ini masyarakat berupaya membangun budaya sepak bola khususnya menjadi identitas nasional. Akan tetapi sebagai negara dan bangsa–dengan peran elit dan pemerintah di dalamnya–kita gagal sama sekali mewujudkannya karena prestasi sepak bola sangatlah jauh dari harapan. Indonesia nyaris tidak pernah menang dari nominasi di Asean, karena selalu kalah dengan Thailand, sehingga masih sulit untuk membayangkan Indonesia akan menjadi juara Asia.
Sementara isu sepakbola sebagai identitas nasional lebih disorot sebagai lahan korupsi, sanksi Badan Sepak Bola Dunia (FIFA), kisruh pengurus, dan sebagainya. Semangat rakyat menjadikan sepak bola sebagai spirit untuk diakui dan terangkat di tingkat nasional, tidak berhasil karena feodalisasi masih tinggi di sepak bola. Sepak bola dinominasi oleh mereka yang berselera politis tinggi, tampak misalnya dari kejadian pertandingan beberapa waktu lalu dimana atlet yang harusnya latihan dan persiapan bertanding namun dibawa ke pimpinan Parpol. Langkah produktif secara politis, namun kontra produktif dari sisi conditioning atlet menuju laga pertandingan.
Pertanyaan kini, apakah dengan budaya sepak bola di tanah air, relevan pula dengan potensi menjadi juara Asia, termasuk mimpi juara dunia yang pernah dilontarkan satu ketua PSSI yang politisi orde baru?
Ternyata pertanyaan ini terjawab dengan kenyataan bahwa sepak bola baru berhasil membudaya sebagai gerakan masyarakat. Ruang lingkupnya setaraf permainan gembira, olahraga rekreasi, dan festival atau perayaan hari besar. Ketika sepak bola menjadi olahraga elit profesional yang menempatkan fungsi negara sebagai pembina dan fungsi klub sebagai wadah (sport centre), gelar juara hampir dipastikan gagal diraih.
Indonesia hanya menjadi pasar (market) yang besar, karena hasil industri dan jasa dunia bisa diperdagangkan ke Indonesia. Indonesia juga menjadi surga bagi pemain dunia untuk berkunjung dan melakukan coaching clinic, yang sebenarnya adalah membawa pesan sponsor agar barang dan jasa yang diperdagangan terjual laku dengan keras.
Hal itu sesuai dengan pendapat McGarry (2010) termasuk beberapa penelitian antropologi olahraga sebelumnya Archetti (1998), Raja (2004) dan Sands (2002) bahwa olahraga lebih untuk kepentingan kekerabatan, ekonomi, dan politik. “’As such, sport is frequently labeled as peripheral to seemingly more ‘socially relevant’ concerns like kinship, economics, and politics,” tulisnya. ***