Mak-Adang.com mengisahkan tentang Jon Albert, teman SMA. Sebenarnya banyak perbedaan saya dengan Jon, tapi kami selalu tersambung, baik ketika ia ke Jakarta, maupun saya ke Pekanbaru. Silahkan membaca.
***
Jon Albert, teman SMA Negeri Sebanga Duri angkatan 1989. Kami berjumpa pertama kali di Restoran milik Mardanis, juga teman SMA, di Pekanbaru. Kami mengobrol seolah-olah waktu tak pernah berlalu sejak masa sekolah dulu.
Namun, tak selalu perjumpaan kami berlangsung di situ. Lihatlah catatan harian saya di efbi, ada uraian per jam tentang demo 212 dimana kala itu saya menemui Jon di Masjid Sunda Kelapa, Jakarta. Ia sengaja datang bersama Mardanis, dan Zumi, yang kemudian saya ingat teman mengaji saya di Masjid Jami Duri.
John aktif menulis di efbi umumnya kritik terhadap perilaku minus pejabat. Ia memiliki kecenderungan untuk menulis dengan panjang lebar, mengungkapkan ketidakpuasan dan keprihatinan terhadap situasi sosial yang sedang berkembang. Beberapa orang tentu menyukai tulisan Jon dan merespons dengan antusias. Sebaliknya yang lain tentu tidak menyukainya. Biasalah.
Ada Irwanto Nawar yang kemudian bersamanya ke Bandara, dengan satu informasi yang mengejutkan
Senin (29/5) lalu, saya dan teman Gerakan Literasi Nasional, Irwanto Nawar, berjumpa tidak jauh dari Bandara Pekanbaru. John bercerita baru kembali dari Samsat Pekanbaru. Karena dekat dengan posisi saya, ia ‘merapat’ dan berkata: “kalau ada urusan nga papa, yang penting saya ada tempat minum kopi.” Setengah saya meninggalkan Jon karena saya ditunggu menghadap seseorang dalam satu keperluan.
Jon lulusan teknik, namun ia membuka usaha obat-obatan. Saya menceritakan pengalaman saya dengan seorang tukang obat yang mengklaim dapat mengobati berbagai 1001 penyakit. Ceritanya tak sesuai iklan, setelah membeli obat tersebut pembeli mengeluh bahwa penyakitnya tidak kunjung sembuh. Cuma untuk penyakit kulit saja obat ajaib 1001 penyakit itu tak membuat sembuh. Apalagi untuk penyakit dalam yang tidak tampak.
Saat ditanyai, sang tukang obat menjawab dengan santai bahwa mungkin penyakit bapak penyakit ke-1002. Kami pun tertawa. Lalu Jon punya jok yang tak kalah seru. Cukup untuk dinikmati 1 jam pertemua kami.
Tapi saya ingat pula Jon pernah kecewa. Pernah suatu ketika, John mengirim pesan bahwa ia akan menjemput saya di Bandara Pekanbaru. Namun, saat itu saya sedang dijemput oleh seorang teman lainnya yang sudah terlebih dahulu tiba di bandara. Sungguh tak terduga bahwa John telah tiba di sana sebelum saya, mengindikasikan betapa ia antusias dalam menjaga rasa persahabatan. Saya kira ia kan ‘memantangkan’ bertemu saya. Alhamdulilah tidak.
Gagasan
Saya dan Jon tersambung dalam gagasan. Walau ia bukan penulis, tapi uniknya ia bisa menulis panjang. Dan setiap dibaca tetap ada hal yang bisa diambil pelajaran dari pengalaman yang dituangkannya. Terkait ia sering bertugas dan melalang buana ke berbagai Negara. Jadi mudah baginya bercerita banyak hal.
Itu pula yang pernah ia sampaikan beberapa waktu lalu melalui telepon. Akibat kesal dengan teman sesaam SMA, ia ‘maago’ mereka yang tampak menyombongkan diri. “Kalau bicara tidut di hotel, saya di luar negeri di hotel berbulan-bulan saya tinggal,” katanya. “Kalian sebut tujuan wisata terkenal, sudah tiga paspor saya penuh karena cap imigrasi berbagai Negara,” katanya.
Jon sebagai juara sejak dulu memang pantang untuk diago. Dan ia cocok hanya dengan yang satu gagasan dan mengerti menghargai pikirannya. (rma1)