Pukul 06.00, 3 Oktober 2021. Saya sedang meluruskan badan untuk rehat sepuasnya usai melalui satu malam di Bandara Soekarno Hatta. Melepas Afiq berangkat.
Sementara Bunda Afiq, yang sudah tidur sejak pukul 03.00, menelpon Etek. Panggilan untuk adik Ibu mertua.
Topiknya langsung tentang keberangkatan Afiq. Saya lebih memilih ingin tidur. Tidak beranjak dari badan yang menelungkup.
“Itulah sebabnya mungkin, tidak enak aja perasaan Etek semalam,” kata Etek. Ucapan itu setelah Bunda Afiq menceritakan rumitnya menjelang berangkat.
Ada pertimbangan untuk pulang saja. Tapi saya tidak setuju dan Afiq memang tidak mundur. “Sedikitpun nda mau mundur atau pulang Afiqnya Tek,” Bunda sudah berurai air mata.
Padahal sepanjang saya tahu, Bunda Afiq ini tidak mudah menangis. Kali ini mungkin karena melepas anak pergi jauh, menuntut ilmu, sepenuh hati.
Tak disadari, mata saya ikut basah. Tapi saya tetap tidur menelungkup di samping duduknya.
Apalagi bila ingat video pukul 08.00 pagi menjelang ke Bandara. Video itu tidak disiarkan di facebook dan group wa. Saya sengaja meminta Afiq duduk di depan kami berdua. Kami di atas kursi, sementara Afiq di depan saya, dan Suci di sebelahnya.
Saat itu saya buka dengan salam sholawat dan doa. Kemudian amanah kepada Afiq karena jauh dari orang tua. Mau sukses mau gagal, hanya Afiq yang menentukan dan menetapkan pilihan sendiri.
Saya kemudian menguncinya dengan kalimat: ” Bila Ayah wafat, jangan sampai putus sekolah.” Sekaligus dengan harapan, kalau Afiq sukses di sana, nanti bawa adik-adik ke sana.
Semua itu, insya Allah tidak susah. Sebab saya sebelum menikah juga membantu papa menyekolahkan tiga adik di bawah saya. Jadi pengalaman dan amalan saya, saya yakini menjadi wasilah dan pembukan pintu keberkahan.
Mengapa ‘perpisahan’ itu di rumah menjelang berangkat? Saya beranggapan urusan di Bandara tidak bisa diprediksi, apalagi di tengah pandemi ini.
Lepas sudah semua rasa hati, saat Afiq minta maaf dan bersalaman dengan kami kedua orang tuanya.
Semenit sebelumnya, saat saya menoleh dan mempersilahkan Bunda juga bicara, ternyata saya dapati air mata bunda sudah tumpah. Saya tak mengira karena sejak tadi tidak menoleh.
Usai dengan kami, lalu Suci juga saya minta bicara sambil bersalaman. “Uci ngomong apa ke abang?” tunjuk saya.
“Abang hati-hati ya,” kata Suci sambil mengulurkan tangannya. Kata-kata yang tak saya duga dari seorang adik kelas 5 Sekolah Dasar.
Jadi peristiwa perpisahan yang paripurna terjadi kemaren. Kini selain ingin tidur sebentar menunggu siang, saya juga ingin mendengar kabar Afiq sampai di sana.
Setelah siang, di Turki baru pukul 08.00 pagi. Saya membaca kabar wa dari kerabat. Semua menyatakan dukungan dan doa yang tulus. Tak kurang pula rasa ingin tahu mereka tentang perjalanan Afiq.
Pada pukul 16.00, atas saran Pak Firdaus Rasyad, kami pun bervideo call berempat. Ditambah Buya Nefli dan Buya Agusrizal.
Rasa mengantuk saya telah hilang. Buya Agusrizal yang bicara dahulu. Kemudian Pak Fir, dilanjut Buya Nefli. Saya menjelaskan pengalaman ‘semalam di Bandara.’
“Sekarang Afiq masih di pesawat,” kata saya. Pukul 20.00 ia mendarat. Dan lanjut dari Istanbul ke Sakarya, yakni dua jam perjalanan dengan kereta api. Karena sudah larut malam, dari stasiun kereta api Afiq dan teman-temannya naik taksi.
‘Kota Orang Bahagia.’
Sakarya boleh dikatakan kota kecil. Penduduknya berkisar 1 juta. Berbeda dengan Istanbul yang padat, dengan penduduk 10 juta jiwa.
Bila diperhatikan dalam peta, maka Istanbul saya sebut seperti kepala buaya purba, yang menghadap ke kiri atau Barat yakni dataran Eropa.
Istanbul dan Sakarya yang berdekatan boleh disebut antara hidung buaya dan matanya, seperti warna merah pada gambar. Sementara mulut yang terbuka itu, adalah selat Bhosporus, tujuan wisata laut yang sangat populer di Turki. Semua wilayah itu disebut Marmara.
Sakarya sendiri adalah nama sungai yang membelah kota itu. Pada masa dulu sungai tersebut sangat penting karena menjadi sumber air minum prajurit yang berperang.
Setelah menginap satu malam di apartemen mahasiswa sesama anak pondok, Afiq berjalan ke Universitas Sakarya. Itulah universitas terbesar di kota tersebut, dalam 10 tahun terakhir rangking internasionalnya semakin tinggi.
Sebelum Afiq berangkat, saya sudah menonton beberapa video di Ytub tentang kehidupan mahasiswa sejumlah universitas di Turki. Seperti di Istanbul, Bursa, Ankara, dan Kiklareli yang terakhir dilamar Afiq. Berkali-kali sambil menonton saya selalu berkata dalam hati, di sana dan seperti itulah Afiq nanti kuliah di Turki.
Menonton Ytub bagi banyak orang mungkin sia-sia dan melalaikan. Tapi bagi saya tidak. Semua yang saya lihat dengan pilihan seperti itu adalah untuk membangun impian.
Hari Senin siang waktu setempat, tanggal 4 Oktober 22 itu, Afiq mengirim dua fotonya di gerbang Universitas Sakarya itu. Gerbang universitas yang layaknya seperti gerbang kota (fotonya ada di Kabar dari Turki ke 2).
Mungkin mengalahkan gerbang universitas Indonesia, yang hanya terlihat bila kita satu arah saja menuju Jakarta. Dari atas kereta api gerbang itu kadang terlihat kadang tidak. Tidak menonjol signifikan.
Saya pernah membayangkan Universitas Indonesia punya gerbang di Margonda di empat jalur jalannya yang pernah dihiasi tugu belimbing, lambang produksi pertanian Depok. Andai saja gerbang itu adalah gerbang universitas paling bersejarah itu. Jadi UI itulah ikonnyo kota Depok. Bukan belimbing.
Pun bila itu terjadi, belum sebanding dengan Gerbang Universitas Sakarya. Soalnya penataannya sudah rumit. Pintu Universitas tersuruk entah dimana. Berputar jauh dan macet, baik di depan, dan di belakang yang selalu tutup, kecuali hanya sepeda motor.
Kata Afiq, dari apartemennya hanya 5 menit ke gerbang itu. Ongkos bis kota berkisar Rp 3.500. Sementara di dalam kampus tersedia bis keliling yang gratis setiap 10 menit.
Kampus berada di puncak bukit. Dari jalanan terlihat pemandangan kota. Juga Danau Sapanca yang airnya menjadi es dan bisa berlancar di musim salju.
Sementara corak kehidupan pertanian dan peternakan masih mendominasi terutama di pinggir kota. Akan tetapi kota Sakarya juga punya industri berat seperti pabrik tank. Transportasi selain bus dan kereta api, adalah angkot atau oplet sebutan di Sumatera, serta jalur sepeda sepanjang 62 km.
“Di sini tidak ada sepeda motor Yah,” kata Afiq. Jadi jalanan tidak macet. Udara juga bersih. Afiq gemuk selama di sana, sebab makanan murah, di kampus Rp 6.000 sudah dapat nasi, air mineral, sup, roti dan buah, serta daging sapi atau ayam. Kalau di apartemen, masak bersama teman-teman, harga daging sapi cuma Rp 60.000 per kg. Tak pernah ada antrian Sembako, seperti Migor di kita.
Tahun 1999, terjadi gempa bumi yang hebat. Sehingga sejumlah bangunan seperti jembatan, masjid dan fasilitas umum lain rusak berat. Akan tetapi usai itu, pemerintah pusat memberikan anggaran yang besar untuk pembangunan. Kini Sakarya termasuk 18 kota dengan tingkat kenyamanan terbaik di Turki.
Ada masjid, stadion dengan nama klub sepakbolanya Sakaryaspor. Juga pasar barang bermerek yang diobrol dengan harga yang sangat terjangkau. Apalagi dua bulan lalu, pernah 1 Turki Lira dibawah Rp 1000.
Waktu pagi hari Afiq memasak di dapur, ia membeli 10 butir telur ayam di warung dekat apartemen. Harganya sekitar 1.700 per butir. Dan walau warung pedagang kecil, layanannya di sana seperti mini market. Barang terkemas rapi, dan pembayaran dengan tab otomatis.
Adapun beras terbaik harganya Rp 9.000 per liter. Beberapa kali Afiq sudah sarapan dari rumah kalau ke kampus. “Sudah makan Yah, ada nasi dan goreng ayam semalam,” katanya yang menjelaskan makan dan masak bersama-sama. Kala itu ada tujuh orang penghuni apartemen tiga kamar itu.
Tapi pernah pula Afiq tidak sarapan dari rumah. Akan tetapi kampus menyediakan satu ruang kafe berdinding kaca yang yang besar. Di sana disediakan roti, kopi, teh dn susu. Dan itu gratis. Termasuk kafeteria yang dikelola penduduk. Mereka boleh berdagang minuman dan lain-lain. Tapi setiap kedai harus menyediakan 100 roti gratis. Ada yang beli kopi, lalu gratis roti. Tapi ada yang sekedar lewat dan datang untuk mengambil roti, juga tak masalah.
Saking enaknya tinggal di Sakarya, PPI Sakarya menulis makna dari kata ini ‘Kota Bahagia’
Entah kapan, satu saja universitas terbaik di negeri ini bisa membuat bahagia seperti Sakarya.
###Bahagaiakan hatimu
##karena Ramadhan diambang pintu.
Kisah ini sangat menarik, membuat para pembaca seakan akan berada di turki, apa yang sudah di gambarkan pada narasi membuat pembaca menjadi membayangkan, bagi pembaca yang ingin ke turki mungkin ini akan menjadi salah satu bacaan yang bagus dan menarik, dan juga memiliki beberapa gambaran terkait turki