Mak-Adang.com merilis tentang persiapan kuliah program studi hubungan internasional di Universitas Sakarya, Turki.
Pray for Turki, sepekan peristiwa gempa magnitudo 7.8 . Semoga Turki pulih dalam lindungan Allah Swt. Aamiin.
****
Ahad petang lalu saat bervideo call dengan Afiq, ia sedang berada di pabrik tempat bekerja part time, sejak libur musim panas bulan Juni lalu.
Seperti pernah saya ceritakan sedikit sebelumnya, di masa libur Afiq bekerja kontrak harian di perusahaan eksportir makanan dari Turki ke Eropah. Di tengah rendahnya mata uang Turki, Lira, yang merosot hampir 50 persen dalam setahun terakhir, ternyata eskpor makanan meningkat tajam.
Lalu ada pekerjaan menata makanan dari bungkus kertas kacang padi tipis, ke karton setara mie instan dan melakbannya, sebelum diseret kereta dorong ke peti kemas yang dibawa truk besar ke Pelabuhan Sakarya.
Kali ini berbeda. Walau Ahad, banyak mahasiswa, juga mahasiswi, yang bekerja atau serombongan dengan Afiq. “Ada 25 Yah, banyak ceweknya juga,” kata Afiq, sekilas ada dinding pabrik tersorot camera video.
Ternyata ini adalah peristiwa tidak biasa. Sehari sebelumnya Afiq menolak bekerja di hari Ahad. “Hari Ahad itu semua pekerja harus libur, untuk istirahat bukan untuk bekerja, ” begitu alasanya kira-kira.
Lalu?
Mungkin karena senin mereka harus pengapalan, kirim atau eskpor, akhirnya tetap minta kerja, bahkan jumlahnya 25 orang.
Afiq lalu mengajukan dengan syarat gajinya ditambah plus disediakan makan enak. Manajer pabrik pun menyetujui. Afiq lalu dengan mudah mengajak teman dan temannya teman untuk bekerja.
Sebab sebelumnya selama permintaan turun, pabrik mengurangi jumlah mahasiswa yang diajak kerja harian tersebut. Dari pernah 15 orang, sampai 5 orang. Kemudian pernah kurang dari itu. Kebetulan di tahap awal memang ada yang ikut-ikutan saja. Kerja karena hanya iseng, ingin tahu seperti apa. Walau bayarannya 250 Tele–sebutan untuk Turki Lira–cukup lumayan. Setara Rp 210.000 per hari untuk bekerja 8 jam. Sementara biaya makan di restoran kampus Rp 6.000 kenyang.
Pada saat ada lembur, Afiq bercerita pernah pulang jam 21.00 malam. Ia beroleh uang harian di atas Rp 300.000. Usai itu ia mampir ke toko Sembako/Serba Ada. Saat pulang ke rumah ia sudah disambut teman-teman satu apartemen bagai pahlawan. Itu terkait dengan bawaan daging ayam mentah, minyak, telur, semuanya terhitung murah, dan seerti juga anggur Rp 15.000 per kilogram. Bandingkan di kita anggur mencapai Rp 40 ribu per kg.
“Uda Fiq, lu diam aja, kami yang masak, ” kata satu kawannya menuju dapur.
Kegembiraan di apartemen seperti itu, mungkin, yang membawa Afiq memilih balik ke apartemen ini. Walau di awal, karena urusan imigrasi, ia pernah tinggal di asrama tak berbayar dekat kampus. Kesamaan bahasa sesama teman seperjuangan asal Indonesia adalah kegembiraan yang tidak bisa digantikan, walau di negeri orang. Jadi bahasa adalah penting, karena di dalamnya ada budaya, juga peradaban dan karakter.
Begitu sekelumit lika-liku Afiq bekerja sambil kuliah di Turki.
***
Kembali ke Ahad petang lalu, Afiq sebenarnya sudah mulai kuliah hampir tiga pekan. Semua biaya kuliah, termasuk perpanjangan visa yang habis setahun ini juga sudah diurus ke imigrasi.
Namun ia terus terang belum beli buku yang harganya lumayan. Seperti ilmu politik (Siyaset bahasa Turki, dari bahasa Arab : Siyasah) Heywood difoto ini, sebelah kiri bawah, isinya lebih 483 halaman.
“Mahal-mahal Yah,” katanya ringkas.
Saya ingin tahu judul bukunya. Dan biasanya, buku tertentu tersedia pdf. nya, yang sangat mungkin saya sering dapatkan.
Lalu, pada pagi ini, barulah saya ssmpat mencari di internet dan membuka daftar isi serta pengantar.
Pada bagian paling atas Bab 1, misalnya tertulis:
Pendahuluan:
Konsep dan Teori Politik
Pengantar Bahasa dan Politik Memahami Konsep Politik
Apa itu Teori Politik?
Teori Politik di Abad ke-21
Bacaan Khusus
Lebih Lanjut
Gabung
Ternyata Heywood menempatkan bahasa dalam pengantarnya tentang dasar-dasar ilmu politik. Hal ini mengingatkan saya sekitar tahun 2010, saat bekerja sebagai tenaga ahli (TA) di DPR-RI. Doni, satu teman sesama TA menunjukkan buku Miriam Budihardjo: Ilmu Politik, sebagai buku terbaik untuk pemula yang ingin mengerti ilmu politik.
Saya pun kemudian mencarinya, karena Prof. Miriam pernah masuk kelas KIK saat saat ber-S2 di Universitas Indonesia. (Al-Fatihah, semoga bu Prof. tenang di barzah).
Saya ingin menghubungkannya dengan Heywood yang menurut saya pembahasan yang baru.
Heywood mengatakan sebagai berikut :
“Bahasa adalah sarana yang kita gunakan untuk berpikir dan sarana yang dengannya kita dapat berkomunikasi dengan orang lain. Jika kita menggunakan bahasa yang kita gunakan dengan cara yang membingungkan dan sulit dipahami, kita mengalami kesulitan dalam mengungkapkan pendapat dan pikiran kita dengan tingkat akurasi tertentu.”
Jadi bahasa adalah bagai senjata. Ia netral, bisa dipakai untuk membunuh, memberontak, atau sebaliknya untuk berjuang menuju merdeka melawan penindasan.
Sedikit tergambar di bab awal ini bahwa politik adalah dunia yang kacau balau: penuh perdebatan, malah dalam bahasa Heywood banyak pertengkaran/perkelahian.
Mengapa? Sebagaimana juga banyak terjadi di kita. Ternyata karena kekacauan bahasa.
Politisi kita tidak dibekali dengan pengetahuan dan kebiasaan menggunakan bahasa secara baik. Mereka cenderung tidak menguji pikiran, tapi memang bertengkar atau berkelahi seperti anak-anak.
Dengan demikian sangat relevan Prof. Firdaus Abdullah berkiprah di politik Malaysia, dan mengambil S3 ilmu politik di Columbia University, tepat 40 tahun lalu (1982). Sebelumnya di S1 dengan kajian Ilmu Politik dan Kewartawan di Northern Illionis University.
Jadi ilmu politik agaknya dekat dengan jurnalistik karena politik perlu ditunjang dengan bahasa. Demikian pula para pendiri bangsa dominan orang Minang, termasuk dalam merumuskan dasar negara, karena ilmu politik yang berbasis bahasa yang baik.
Heywood menegaskan begini:
“…kadang-kadang politisi ‘membulatkan’ kata tanpa mengatakan (isi) apa-apa menyembunyi ketidak-tahuan mereka..”
Apakah sudah ada di universitas kita buku ilmu politik yang menggeser fokus dasar-dasar kajiannya. Wallahu alam.
Saya tidak tahu. Yang penting, Afiq sudah menggerakkan pertumbuhan pendapatan kawan-kawan Indonesia yang bekerja di hari libur di negeri orang dengan bayaran yang makin baik.
Sabuik anyuik di ateh tabek, diambiak anak urang pulai.
Ambo sabuik sado nan dapek. sisonyo diambiak dek urang pandai.
***
dalam tulisan ini menceritakan tentang sejarah, politik dan jurnalistik. yang dimna ilmu politik itu dekat dengan bahasa dan komunikasi, sehingga dapat bermanfaat bagi jurnalis dan politisi. serta dari cerita afiq dapat di ambil bahwa upaya kecil dari seseorang bisa punya dampak yang positif bagi sesama.