Mak-Adang.com menurunkan kisah 20 tahun lalu di Slipi Jaya, Jakarta.
Berikut kisah tersebut.
Belajar berjalan umur 10 bulan saat tinggal di Slipi Jaya. Saat itu 2002, usai reformasi, setahun sebelum saya lulus S2 Ui.
Jam 06.00 kami ke lapangan saat lampu jalan dan teras belum mati. Tepat 10 bulan sudah bisa jalan. Dan saat masuk TK, si kecil pernah juara lari dapat hadiah meja lipat dari produsen susu yang datang ke TK Bina Islami, Citayam.
Kini, 19 tahun kemudian ia akan memasuki semester 3 kelas Hubungan Internasional di Turki. Tanggal 26 September ini akan ada pengenalan kampus.
Selama libur sejak Juli, yang nyaris 3 bulan kampus kosong, ia bekerja di pabrik coklat Turki yang akan di ekspor ke Eropah.
Alhamdulillah ia bisa.
Tapi merantau menyebabkan nama bisa berubah. Saat pindah sekejap ke asrama kampus, ia dipanggil Memed. Supaya diterima di asrama bersubsidi itu, nama Muhammad paling besar peluang diterima. Dan itu adalah nama yang dihormati seperti panggilan Buya di kita.
Di pabrik coklat ia menjadi penerjemah antara investor asal Afganistan yang hanya pandai bahasa Arab, dan bos pabrik yang tidak tahu bahasa asing kecuali hanya bahasa Turki.
Akhirnya ia jadi penerjemah dari Arab ke Turki. Berkah dari belajar di Pondok dan dua semester belajar Tomer, toeflnya Turki.
Ternyata dua bangsa berbeda itu susah menyebut namanya. Ia akhirnya dipanggil Micheal.
Memed dan Mikel itu yang 19 tahun lalu belajar berjalan tersebut adalah Afiq. Doa bundanya pasti paling duluan sampai ke Arsy. Tapi yang paling mengerti tentu adalah ayahnya. Semoga bekerja ya, dan tidak kalah berprestasi.
Orang bijak berkata, yang diteladani anak bukan kata. Tapi contoh sehari-hari yang ada di rumah. Waktu kecil, saya sering menaruh buku di atas kepala. Untuk dibaca menjelang tidur. Saya senang kisah bangsa-bangsa dalam buku ilmu antropologi. Itu ternyata ditiru Afiq yang belum 2 tahun.
Para ahli pendidikan mengajarkan bila engkau ingin anakmu tidak suka bertengkar, maka mulailah dengan tidak mempertontonkan pertengkaranmu dengan istri. Tidak cukup anak diajarkan: sopanlah, jangan kasar. Kata itu hanya 10 persen melekat kepada anak. Tapi yang paling membekas pada batinnya adalah apa yang didengar dan dilihatnya.
Waktu 20 tahun memang cepat berlalu. Tapi kenangan masa kecilnya tidak perlu hilang. Saya tidak pernah mengajarkan bahasa Inggris kepada Afiq. Walau usai kursus saya ada pengalaman mengajar percakapan (convesation) dalam waktu pendek.
Lalu di Pondok entah kenapa Afiq mengasuh pelajaran Bahasa Inggris. Jadi dengan teman asal Mesir di awal di Turki, ia bercakap-cakap Bahasa Arab. Kalau buntu, maka beralih ke Bahasa Inggris.
Tapi satu kali ia berkata: tidak bisa menulis selancar Ayah. Itu sebabnya saya dalam waktu dekat akan membuat web berita. Dan Kabar dari Turki saya minta Afiq menuliskannya. Membaca dan menulis sungguh -sungguh tentu penting bagi mahasiswa Hubungan Internasional.
Ayo Memed, eh Afiq, bantu ayah menjadi koresponden web berita tersebut. mak-adang.com.
Tempino, Jambi