Suatu pagi Papa bercerita tentang pengalamannya mengikuti pendidikan Komando Operasi Pemberantasan Malaria, di Ciloto, Puncak, Bogor.
Ada 10 utusan dari Sumatera Barat. Papa sekamar dengan Sofyan. Pendidikan berjalan dengan lancar. Para instruktur menyampaikan materi dengan sangat menarik. Mereka orang-orang yang terpilih dari perguruan tinggi terbaik di Jakarta. Sebagian besar adalah dari
Kementerian Kesehatan, dari Polri, dari TNI dan juga dari Palang Merah Indonesia (PMI), serta dari Badan Kesehatan PBB (WHO) sendiri.
Pertama masuk kelas, jelas Papa, Pak Sumarlan, Direktur Kopem, memberikan buku tentang Public Relation dalam Pendidikan Kopem. Kelihatan bahwa cara berkomunikasi dengan masyarakat sangat menentukan keberhasilan dari program ini. Di samping itu ia adalah seorang yang sangat perhatian kepada anak didik.
Ia sengaja duduk di belakang kelas, yang agak jauh dari siswa, untuk mendengarkan berbagai materi yang disampaikan oleh beberapa pihak yang diundang oleh Koppen.
“Orang yang sangat peduli, mempunyai seorang istri yang yang sangat baik dan juga cantik,” ingat Papa.
Papa menekankan istrinya yang cantik itu. Maklum karena 40 siswa Kopem se Indonesia, tidak mudah untuk menemukan lawan jenis yang menarik. Kebetulan pula dua orang perempuan dari Jawa Tengah, tidak memiliki daya tarik yang tinggi. Setidaknya menyita perhatian 38 peserta laki-laki, termasuk papa.
Tidak tahu, apakah dua orang itu sudah ada yang menyukainya sesama siswa Kopem. Sehingga ia menutup diri. Sekaligus tidak menarik bagi yang lain.
Akan tetapi, di lingkungan yang berasrama sangat disiplin dan dominan laki-laki muda, istri Pak Sumarlanlah yang menjadi idola. Cantik, berkulit putih, dan baik. Ia tidak punya anak. Sehingga waktu senggangnya banyak mendampingi Pak Sumarlan. Itu berarti sering berjumpa dengan siswa Kopem.
Adapun Ibu asrama (seperti foto bersama duduk di gerbang Kopem) juga sangat baik dan hobi memasak. Wanita Sunda yang menyediakan semua makanan minuman enak menurut selera para peserta. Sate dan gulai ayam, ujar papa, enaknya masih terasa hingga kini.
Pada pelajaran Pengantar Public Relation (Hubungan Masyarakat/Humas), jelas Papa, ada adegan yang sangat berkesan. Instruktur mengajarkan bagaimaana menarik perhatian masyarakat. Itu kunci keberhasilan Kopem. Apalagi di desa yang masyarakatnya sulit didekati. Ditambah pula bila ada anggapan
penyakit sebagai kutukan. Mereka akan menjauhi petugas dan pemerintah.
Instruktur Humas itu menyediakan sebuah kotak besar dari karton. Itu dianggap sebuah kolam ikan. Kemudian ia ambil pancing dari kayu. Ada benang dan mata kailnya. Ia lalu memperagakan bagaimana umpan cacing diutas ke kail mainan itu. Kemudian diperlihatkan ke peserta, aba-aba bahwa kail sudah dimasukkan ke kolam.
Hup.
Sekejam saja, kail itu dia angkat. Dan meliuk-liuklah ikan mas warna merah, juga terbuat dari kertas dus bekas.
Semua peserta Kopem bertepuk tangan. Memberi apresiasi. Saat itulah ia mengatakan pentingnya fungsi Humas dalam Kopem.
Mengapa adegan memancing itu memperoleh ikan begitu cepat? Semua siswa tahu bahwa ia sengaja menaruh dua joran kail. Satu joran sudah disiapkan yang berisi ikan. Permainan. Kail serta ikannya juga permainan. Itulah cara seorang tenaga pemberantasan malaria menarik perhatian masyarakat.
Kopem serius menempatkan Humas sebagai pelajaran penting. Departemen Kesehatan menyediakan alat untuk pemutaran film layar lebar. Sekarang dikenal dengan nama layar tancap. Semua siswa wajib membuat program penyiaran sendiri. Mampu
mengoperasionalkan serta menguasai semua teknik reparasi atau perbaikan bila mesin pemutar layar tancap itu rusak. Kuliah praktek adalah melakukan penyemprotan DDT ke rumah-rumah penduduk.
Papa bercerita bahwa pendidikan Kopem ini adalah angkatan ketiga. Angkatan pertama ditempatkan di Cianjur. Pada hari-hari tertentu banyak teman yang berangkat ke Cianjur. Untuk bertukar kabar atau bertukar pikiran.
Ada yang menyenangkan di saat pendidikan ini berlangsung. Setiap hari libur semua anggota Kopem dibebaskan untuk pergi ke berbagai tempat yang disenangi di sekitar Puncak Bogor. Demikian pula mobil yang sangat bagus disediakan untuk wara-wiri.
Pada umumnya Papa pergi belanja ke Pasar Cimacan. Tapi pernah pula ke Puncak Cibodas untuk menghirup udara segar dan kebun teh. Bahkan juga ke Puncak pas yang di sana masih tersedia Rumah Makan Riung Gunung, namanya. Rumah makan Sunda yang di kiri kanannya masih banyak pemandangan kebun teh.
Papa pernah berfoto di sebuah lemari kaca di Cibodas yang sengaja dilindungi agar pengunjung tidak mendekati atau menyentuh tanaman didalamnya. Konon itu adalah tanaman langka yang sengaja di dirawat. Ada dugaan usianya sudah ratusan tahun dan sudah ada sejak zaman Belanda.
Pernah satu kali, kata Papa, semua siswa muslim Kopem memakai peci putih ke pasar. Masyarakat memanggil Pak Haji. Akan tetapi sesama siswa Kopem memanggil mereka bukan Haji tapi Khalifah.
Pada hari libur yang lain Papa dengan kawan-kawannya menonton film dokumenter. Kemudian setiap hari Ahad berdarmawisata ke Kebun Raya ataupun ke Waduk Jatiluhur.
Satu hal yang membuat hati iba ketika detik-detik menjelang berakhirnya Kopem. Itu terkait dengan keputusan Presiden Soekarno menolak semua bantuan asing dan keluar dari Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB).
Terbayang oleh Papa masa depan pendidikan menjadi sangat suram. Bisa terjadi bahwa semua orang, yang sudah direkrut untuk pendidikan Kopem tidak lagi ditempatkan atau beroleh pekerjaan sebagaimana rancangan awal dari program ini.
Menjelang minggu-minggu perpisahan perasaan di Kopem menjadi sangat sedih. Hal itu seiring pula dengan kondisi keuangan terutama masalah logistik
semakin merosot. Ibu asrama adalah ibu yang tidak bedanya dengan ibu kandung sendiri. Ia memasak sesuai dengan kemauan siswa Kopem.
Awalnya, saat anggaran cukup, semua makan yang lahap dan banyak. Akan tetapi ia tidak bisa menyediakan lagi masakan seperti pertama sampai di Ciloto. Baik lauk-pauk, buah-buahan maupun nasi semakin dikurangi. Pada saat itulah Papa merasa bahwa perut yang lapar terjadi saat mengikuti Kopem. Kopem sangat tidak nyaman kini.
Saat-saat bimbang itu, Papa berangkat ke Jakarta. Ia menginap di rumah Tuan Haji Mukhtar Madjid. Tempatnya di Bendungan Hilir. Istri Tuan Mukhtar adalah anak dari Muhammad Yunus, kemenakan Ayah Ahmad Sutan Marajo. Papa memanggil Kak Suna.
“Ayo makan, kawanan Tuan Wang makan,” begitu Kak Suna mempersilahkan Papa. Tuan Mukhtar menyediakan makanan enak kepada semua tamunya. Apa yang terbaik ia makan, itu pula yang dimakan tamu bersama-sama. Ada rendang belut, ikan siam asin, kerupuk jangek (kulit), rendang paru dan keripik kentang. Tapi yang tak kalah enak adalah sambalado tulang dengan rimbang dan kucainya.
Sambalado tulang adalah salah satu masakan terbaik dari Nagari Keramat, tidak saja karena enaknya. Tapi adukan cabe giling dengan irisan tulang sapi kering yang disangai terlebih dahulu. Pedas tapi membuat ketagihan, bercampur dengan gurihnya ikan teri serta ada rasa ketumbar muda di dalamnya. Makan puas dan tidak ada yang tidak berkeringat.
Teringatlah papa nasi di Kopem. Masakan ibu Asrama yang juga enak. Cabe rawit merah dengan lalapan dan ikan goreng. Udara dingin yang membuat lapar tiap sebentar. Tapi makan itulah yang terhenti ketika Bung Karno menyebut : “Go Hell your Aids.”
Tidak sekadar beroleh makan enak. Tuan Mukhtar Madjid adalah seorang yang sangat dermawan, bersih dan lurus hati. Selain itu juga pergi berjalan-jalan. Ke pasar dan melihat tokonya di Tanah Abang. Serta urusan lain ke bank.
Pada hari Ahad, Tuan Muchtar membawa semua orang yang mau ikut untuk berlibur ke villanya di Puncak. Gratis. Sepulangnya singgah di pasar malam untuk main Kim. Pendendangnya adalah penyanyi terkenal, Elly Kasim. Tuan Mukhtar punya satu anak laki-laki yang dipanggil Si Buyung.
Tuan Muhktar Madjid membantu biaya rutin Masjid Raya, pembangunan dan operasional Sekolah Darul Huda (DH), yang kala dulu sampai tingkat Sekolah Menengah. Semua bantuan disalurkan sang adik, bernama Ruslan Majid, pemilik Toko Virus, di Padang. Kala itu, Tuan Ruslan menjadi Bendahara Baswar, Badan Sosial Warga Rao-Rao.
Nagari Keramat, saat bergolak tahun 1958, pernah memiliki mesin listrik diesel sendiri. Pada saat itu mulai dari Balai Sotu sampai ke Masjid Raya, terang benderang. Nagari memiliki tenaga ahli listrik yang ternama secara otodidak, bernama Muslim Bakrie suku Chaniago. Mesin listrik itu sumbangan Tuan Mukhtar Madjid yang paling luar biasa.
Sampai tahun 1968, nagari ini masih terang oleh listrik diesel. Di bulan puasa, tadarus dilaksanakan dari rumah ke rumah sudah memakai listrik.
Pasokan listrik dari pemerintah Sumatera Barat yakni sejak pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) tahun 1978.
Siapa Pak Mukhtar Madjid, selain dikenal sangat baik dan dermawan itu? Ia adalah pemilik puluhan took di Blok M, era tahun 80-an. Nama Pak Mukhtar Madjid dikenal di Blok M, tidak hanya sesame pedagang. Melainkan juga para pejabat, termasuk kaum selebriti yang terkenal melalui TVRI.
Dalam bimbang saat Kopem mungkin bubar, Papa mempertimbangkan menjadi pedagang. Sebab hasil pendidikan tidak memdapat tempat yang baik. Bisa jadi terhenti, karena Negara belum mampu membiayai sendiri, termasuk pendidikan Kopem.
Apalagi Tuan Mukhtar Madjid telah menjadi contoh terdekat bagaimana berdagang secara luar biasa. Juga menjadi dermawan yang luar biasa. ***