logo mak-adang.com

Novel 2 (10): Lima Kali Pindah Mengaji.

 Dr. Andi Mulya, S.Pd., M.Si.     19/02/2023    Novel Tragedi Bunga Setangkai   128 Views

 

Beberapa hari sampai di Duri, dan menghuni rumah petak baru, Mama memasukkan saya mengaji di rumah petak Pak Abbas. Letaknya dua rumah dari rumah petak kami menuju ke pasar. Rumah itu dihuni oleh keluarga Endag, pemuda yang mengajar mengaji. Endag awalnya mengajar adik-adiknya mengaji seperti Amran, yang dipanggil Udin, Dewi yang adiknya. Ewa yang sebaya saya, dan dua adik laki-lakinya yang masih kecil.
Endag juga punya adik perempuan dibawahnya, yang tampak di dapur bila kami mengaji. Satu abangnya berbadan besar, juga ada di rumah itu. Lalu ada ayah dan ibu Endag. Endag adalah panggilan adik-adik kepadanya. Ia berasal dari Jawa, dan mungkin artinya adalah abang atau kakak laki-laki. Panggilan kakak di Duri diperuntukkan baik untuk laki-laki maupun perempuan. Berbeda dengan di kampung, kakak sudah jelas berarti perempuan atau uni.
Rumah Endag bersebelahan dengan satu keluarga baru dengan dua anaknya yang masih kecil. Tapi rumah petak Endag dua kali lebih besar, dengan dua kamar di sisi kirinya. Pemilik mungkin membangun untuk ditempati sehingga ukurannya lebih besar. sedang di sebelahnya untuk disewakan berukuran standard seperti empat petah rumah kami.
Di depan rumah ada satu pohon nangka besar. Tanahnya berwarna kuning dan tidak rata. Bila siang hari kami senang bermain dan berkumpul di bawahnya. Sedikit ke arah pasar, samping rumah Endag, ada mobil terparkir. Kadang kala pemilik memperbaiki sendiri mobil sedannya yang rusak.
Kemudian ke ujung sana, ada satu kedai rokok kecil. Sewaktu kedai itu dibongkar, karena pemilik tanah akan membangun rumah, bekas lokasi kedai itu dipenuhi anak-anak sebaya saya. Sebab banyak uang Rp5, Rp 10 yang kecil atau yang kuning, Rp 25, dan Rp 50 yang lolos ke bawah lantai kayunya.
Sebagian uang yang didapat ada yang menempel tanah seperti berkarat pada besi. Dari sana diketahui ini termasuk kedai rokok pertama di daerah itu.
Di depan mobil tadi, ada pertigaan menuju pasar. Di sudut kanan arah ke pasar itu, ada kedai lontong pecal Ayuk. Kuah kacangnya digiling di batu besar. Bila ia menuang lado kutu, yaitu cabe rawit, gula merah, kencur, daun jeruk harumnya terasa saat kita menunggu untuk membeli. Usai semua hancur, Ayuk atau si Bapak, suaminya menyiram dengan air asam Jawa. Lalu kacang goreng ditumbuk dan dihaluskan.
Kemudian ia memasukkan sayur-sayuran seperti tahu, toge, kacang panjang, pare, siam atau labu Jepang. Kemudian lontong yang dimasak dengan daun dipotong-potong di atasnya. Ayuk menyiapkan bungkus dengan daun pisang dilapisi kertas Koran. Untuk menyapu kuah kacang ke bungkusan, Ayuk mengiris satu katelo, atau ubi jalar. Irisan berbentuk kapal itu dialuk, atau diusapkan ke seluruh permukaan batu lado besar, atau batu giling itu.
Hari pertama mengaji, saya memakai celana panjang. Memakai peci hitam. Membawa Alquran ketek, atau Jus Amma, yang digulung dengan kain sarung. Semua anak mengaji duduk melingkar di ruang tamu. Ada satu lampu togok, atau lampu tempok besar di tengahnya. Semua membaca kaji berganti-ganti. Ada 10 anak yan sebaya saya ikut mengaji. Semuanya tetangga depan dan samping rumah Endag.

Akhir mengaji, saya menyerahkan uang mengaji kepada Endag. Ternyata Endag menolak. Mengapa? Ternyata Endag tidak mau mengajarkan mengaji dibayar.
“Endag tidak menerima uang mengaji,” katanya.
Saya terdiam. Juga bingung mau berkata apa. “Bawa pulang saja uang itu lagi,” tambah Endag lagi.
Lurus dan tak mengerti saya memasukkan uang itu ke saku. Satu teman lalu berbisik: “Bukan uang ngaji, tapi uang lampu.”
Ha?
Saya seperti dapat jawaban. Lalu uang saya keluarkan lagi. Serta merta berkata: “Endag ini uang lampu,”
“Baiklah, Endag terima,” jawabnya kemudian.
Setelh beberapa saat, Endag lalu menjelaskan mengapa tidak terima uang mengaji. “Masak membaca ayat-ayat suci Alquran ini kita dibayar?” Saya pun mengiyakan. Tanda mengerti.
Mengaji pun bubar.
Keesokan hari mama bertanya apakah uang mengaji sudah diserahkan. Saya jawab Endag tidak menerima uang mengaji. “Tapi uang lampu.”

“Hooho, adolo baitu, Pak Anas baatu?” jawab Mama. Artinya masa begitu, Pak Anas, guru mengaji di Masjid Raya kampung, bagaimana? Biasa terima uang mengaji. Mama kemudian maklum, karena uang sudah diserahkan. ‘Uang lampu’ itulah yang menerangi baik bacaan maupun hati untuk belajar mengaji.
Setahun kemudian, Endag dikabarkan pindah ke Komplek Caltex. Berarti semua kakak adiknya sepermainan dengan kami juga akan pindah. Ewa yang sebaya dan sering saling goda antara kami anak-anak laki-laki sebagai cowoknya, pun ikut pindah. Ewa menarik karena pandai bergaul. Juga periang dan baik.
Saat perpindahan tiba, kami berkumpul di depan rumah Endag. Sebagian membawa oleh-oleh. Yang lain berpakaian rapi, karena dikabarkan boleh ikut dengan mobil pindahan ke Sebanga. Lokasi perumahan Caltex yang akan ditempati Endag. Ibu Endag pun menyiapkan makan seadanya. Tapi ia cemas saat saya tidak makan. Sebab ikan teri goreng yang ia masak tidak boleh saya makan. “Saya dilarang usai sakit kuning,” jawab saya.
Ibu Endag pun mengerti, sebab Udin anaknya juga pernah dirawat di RS Caltex karena sakit kuning. “Ibu cuci ikan terinya ya?” tawarnya. Saya tak jadi makan, karena yakin tidak lapar.

Menjelang petang Endag mengantarkan kami dengan naik oplet ke Simpang Padang, sebutan untuk lokasi Pasar Duri. Kemudian berjalan 5 menit sudah sampai di rumah.
Perpisahan dengan Endag petang itu menandai perpisahan dengan tempat mengaji pertama. Terima kasih Endag, juga terima kasih bila ‘uang lampu’ kami beri sekedarnya.
Tak lama setelah itu, tempat mengaji kami pun pindah ke rumah Pak Samsul Bahri. Letaknya lebih dekat ke Pasar. Empat rumah dari Kedai Pecal Lontong Ayuk. Pak Samsul berdagang toko bangunan di Pasar Duri. Ia juga keluarga besar, sama seperti Endag. Kawan mengaji sekaligus kawan bermain bertambah karena anak Pak Samsul yang berbeda satu atau dua tahun baik di atas maupun di bawah saya, bisa bermain bersama. Ditambah kami anak mengaji yang pernah dengan Endag.
Tidak ingat apa penyebabnya, kemudian saya pun pindah mengaji ke Masjid Jami.’ Ada guru berasal dari Payakumbuh, Pak Mahmud, namanya. Muridnya banyak, dan ia mengajar sendiri. Anak-anak dibagi atas beberapa tingkat. Pemula umumnya kelas 1 dan 2 SD. Begitu pula tingkat II, kelas 3- 4, dan tingkat III kelas 5 dan 6.
Akan tetapi bisa terjadi teman satu kelas di SD, bisa menduduki tingkat lebih tinggi. Penyebabnya karena lebih dahulu mengaji, atau bacaan atau hafalan Al-Quran nya lebih lancar dan baik.
Pak Mahmud menulis di papan tulis, yang dicatat oleh tingkat III. Kemudian ia menulis lagi untuk dicatat tingkat II. Setelah itu ia pindah ke tingkat I. Kemudian ia menjelaskan pelajaran tingkat III. Tak lama ia memberi tugas untuk dikerjakan dan dihafal.
Setelah itu ia berlari ke tingkat II, lalu seketika memegang kertas putih bertulis huruf Arab bersambung. Setiap kertas ditukar, anak mengaji harus membaca serempak.
“Kitabun, Kursiyun, Baitun, Hajarun,” begitu antara lain rangkaian tiga empat huruf Arab tersebut.
Lalu Pak Mahmud menyuruh tingkat II untuk menghapal apa yang dicatat. Ia beranjak ke tingkat I, kelas kami. Di sini ia mengenalkan huruf dan tanda baca Al-Qur’an.
“Ban, Jin, Sha, Dal, Dun,” diucapkan bersama setiap ia menukar alat peraga mengaji itu. Begitu juga menunjukkan tempag keluarnya huruf. Allazi, beda dengan allaji. A’uzu beda dengan a”uju.
Alat itu terbuat dari dus rokok yang di luarnya berlukis nama dan merek rokok itu. Pak Mahmud menulis di bagian dalamnya berwarna putih. Ia punya spidol besar dan melukis sendiri sehingga huruf-huruf Al-Qur’an jelas dan indah terbaca.
Tak sampai enam bulan, Pak Mahmud dikabarkan pindah ke Masjid Ihsan. Tak jelas alasannya. Padahal ia tinggal di dekat Masjid Jami.’ Dan terhitung jauh berjalan kaki ke Masjid Ihsan Komplek Muhammadiyah, arah Pokok Jengkol.
“Saya akan ikut pindah, mengaji dengan Pak Mahmud,” kata Edwar, teman sekelas yang mengajinya lebih tinggi.
“Nanti dari rumah mu lebih dekat Ndi,” katanya juga mengajak pindah.
Tak ingat bagaimana jalan ceritanya, saya pun pindah dan mengaji di masjid Ihsan.
Masjid besar, dan ada SD Muhammadiyah di sampingnya. Saat itu dalam proses pembangunan. Sehingga kami pindah ke sudut-sudut masjid bila bagian depannya sedang dibangun atau dipasang lantai marmer.
Gaya mengajar Pak Mahmud sama seperti di Masjid Jami.’ Tapi ia mulai mengkader anak-anak yang lancar mengaji untuk ikut dan berlatih Mishobaqoh Tilawatil Qur’an (MTQ).
“Nah ini Andi, nanti ada harapan bisa ikut MTQ,” tunjuknya. Sekali waktu ia memanggil dari pinggir jalan rumah petak. Dia melihat saya di dalam rumah. Saya mendekat, dan ia berkata” “Sungguah yo,” artinya bersungguh-sungguh ya. Begitu ia memperhatikan murid yang mengaji dengannya.
Cerita berakhir tak enak, tatkala saya mengiyakan Papa untuk mengajukan pindah kembali ke Masjid Jami.’ Saat itu ada Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA) dengan kurikulum belajar seperti di Thawalib Padang Panjang. Guru-gurunya pun berasal dari Surau dan Pondok ternama di Sumbar.

toko papa

Saat pindah beberapa kali mengaji itu, Edi tetangga rumah petak tidak lagi mengaji. Mama seperti memberi amanah agar terus mengaji. “Di sekolah dia bisa juara, tapi waang (kamu) harus lebih hebat mengaji nak,” katanya.
Oh begitukah Ma? Siapa yang hidupnya lebih baik? Entahlah.***

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *