logo mak-adang.com

Novel 2 (23): Di Pengungsian Nagari Tanah Baru.

 Dr. Andi Mulya, S.Pd., M.Si.     19/02/2023    Novel Tragedi Bunga Setangkai   195 Views

Sewaktu saya kelas enam SD Center, pemerintah Orde Baru meluncurkan film Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (PKI).
Di sekolah, informasi tentang film itu sudah dibicarakan guru-guru, terutama guru sejarah. Minat menonton film kekejaman partai terlarang itu sangat membuncah.
Satu petang, bioskop Alhamra, belakang Pasar Swakarya sudah menampilkan iklan film itu. Orang-orang yang berjalan atau pergi ke Pasar sudah tahu kapan film tersebut diputar. Sabtu dan Ahad malam.
Sementara mobil promosi milik bioskop juga memberitahu melalui mikrofon. Mobil itu berjalan ke arah Kantor Camat, lalu berbalik ke arah Masjid Ihsan, terus ke Jalan Jawa, dan Pokok Jengkol. Arah pulang dia masuk ke Muhammadiyah, dan muncul di Jalan Obor, melewati rumah petak kami. Yakni di Pasar Dewi Sartika sekarang.
Bunyi musiknya tiap hari tidak berubah. Sehingga bila mobil itu lewat, kita di belakang rumah menjadi tahu, itu siaran film di bioskop. Usai musik baru petugasnya bicara.
“Selamat petang warga Kota Duri. Malam ini film di Bioskop Alhamra kesayangan anda berjudul: Fist Fury. Yang dibintangi oleh Bruce Lee. Jangan sampai ketinggalan. Anda akan dihibur dengan bintang ternama, Bruce Lee.”
Begitu kira-kira redaksi kalimatnya. Sambil stiker dibagi-bagikan kepada siapa yang berdiri di pinggir jalan. Banyak pula yang meminta karena ingin tahu informasi tersebut.
Tatkala film G30S diputar, siaran mobil keliling itu tidak lagi datang. Sebab film itu sudah diketahui dari berita TVRI. Presiden Soeharto sendiri yang merestui film itu. Tidak ada urusan yang tidak selesai, kecuali atas petunjuk Soeharto. Para pendukung dan pembantu presiden juga menjadi pengarah apa yang harus ada dan tidak ada dalam film itu.
Penduduk Duri penasaran bukan main. Baru kali ini terjadi, dua bioskop kota ini, Alhamra dan Murni, menyiarkan film yang sama. Biasanya mereka selalu bersaing.
Teman-teman di rumah petak juga tak kalah ingin menonton. Pada pukul 19.00 halaman Alhamra sudah penuh. Papa pulang pukul 21.00 dari Toko di Pasar Swakarya. Kayu penghalang pintu masuk Bioskop Alhamra, kata Papa, roboh. Sebab orang berdesakan masuk. Belum ada budaya antri. Sementara pintu yang dijaga petugas termasuk yang berpakaian loreng, tak mampu mengatur arus massa. Menonton Film G30 S/PKI seperti seru sekali. Ketinggalan bila besok, baik di sekolah maupun di rumah, kawan bercerita.
Sampai di rumah, Papa ternyata punya kisah mengungsi di Nagari Tanah Baru, saat dikuasai partai terlarang. Lengkapnya begini kisahnya.
Usai peristiwa penyerangan Lintau oleh tentara pusat, Papa siap-siap mau ke Payakumbuh. Kala itu Lintau sudah aman. Orang ijok tidak terjadi lagi.
Niat ke Payakumbuh tiada lain melanjut sekolah. Akan tetapi kala itu, Umak sedang berada di pengungsian Nagari Tanah Baru. Awalnya nagari itu dipandang paling aman. Maka papa bersiap-siap pula ke sana untuk menjemput Umak. Menuju Payakumbuh.
Papa berbekal surat dari Wali Nagari Lubuk Jantan, Lintau. Tanpa surat itu, tidak aman untuk melintas antar Nagari. Perjalanan ke Nagari Tanah Baru berhasil dan lancar. Walau beberapa kali di pos perbatasan, Organisasi Pemuda Rakyat (OPR) memeriksa penumpang.

 

Petaka datang setelah bersua Umak. Ternyata Nagari Tanah Baru dikuasai oleh Wali Nagari sementara dari Partai Terlarang.
Wali Nagarinya bernama Zainuddin Gambua. Dipanggil Udin Gambua, karena ia berperut buncit. Badannya pendek dan kulitnya hitam. Ia memerintah dengan sangat otoriter dan kejam. Wajahnya yang hitam legam menambah kesannya yang bengis.
Pada awal pemerintahannya, orang menyambut baik. Dulu ia memang pedagang babelok, berkeliling di Propinsi tetangga. Tapi kekuasaan kini bergulir pada dirinya. Dengan kekuasaan itu pula ia mulai mencari cara memerintah dan menguasai.
Satu kali, cerita papa, ia berpidato di Masjid Raya Nagari Tanah Baru. Walau Zainuddin Gambua hanya tamat SR, Sekolah Rakyat atau SD masa itu, ia pandai pula berpidato. Dengan berapi-api Wali Nagari itu menjelaskan tentang ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan. Termasuk keamanan dalam Nagari. Layaknya seperti orang lulus universitas.
Tapi belang Zainuddin kelihatan tiga bulan memerintah. Begitu ia resmi menerima surat pengangkatan menjadi Wali Nagari masa Peralihan, buasnya, bak srigala, mulai kelihatan.
Pertama, ia memerintahkan semua lelaki remaja dan dewasa untuk ikut gotong royong dan ronda malam. Setiap hari bapak-bapak menebas jalan ke Bukit Sibumi agar terang dan lapang. Alasannya Bukit Sibumi bisa dimanfaatkan ‘pemberontak’ untuk bersembunyi dan mengatur penyerangan. Ia menyebut para pejuang sebagai pemberontak untuk memberi label (labeling) orang yang menentang pemerintahannya tidak berkutik. Dengan mudah ia juga leluasa memanggil dan menghabisi orang yang dia ‘tunjuk.’ Istilah saat itu, yang artinya dituduh, walau sepihak dan orang dimaksud tidak bersalah.
Satu-persatu penduduk Tanah Baru sudah dipanggil. Kemudian diintimidasi. Caranya dengan mempertontonkan orang yang terhukum disiksa. Bukit Sibumi menjadi saksi kekejaman itu.
Pasalnya, suatu hari ada satu penduduk yang tewas disiksa. Caranya dengan mengikat tangan orang itu, lalu diseret dengan tali. Melewati jalan yang tajam dan terjal. Ada yang bercerita saat siksaan itu terjadi, dari pemandian Sungai Kurik, pekik lelaki malang itu terdengar dengan jelas. Makin lama makin mengiris batin. Lalu hilang karena makin jauh ke atas Bukit.
Seketika Zainuddin Gambua makin yakin penduduk bisa dikendalikan. Ia bagai serigala melihat kijang terluka. Otoriternya makin tinggi.
Dalam tempo itu, papa bercerita, Zainuddin mengambil atau menyita surat jalan yang diperoleh papa dari Kantor Wali Nagari Lubuk Jantan. Lintau. Ia tidak mengeluarkan surat jalan untuk orang bepergian.
Setelah gotong-royong, kini ronda malam ditingkatkan. Papa mengatakan, ronda itu nyaris tidak boleh tidur. Tidak pula bergantian. Mulai usai Sholat Isya sampai masuk waktu Subuh. Penduduk tidak lagi bisa mengolah sawahnya. Sebab ronda malam berjalan tiada henti. Ekonomi menjadi sulit. Orang banyak diam dan tertekan.
Semua berfikir hidup susah pun tidak masalah. Nyawa lebih berharga dari uang. Tidak pula ada yang berani membantah. Zainuddin Gambua berhasil menciptakan siapa pendukung, dan siapa lawan. Lawan akan segera dihabisi.
Dalam keadaan seperti itu, pungutan liar (Pungli) berangsur-angsur dia halalkan. Misalnya, untuk beroleh surat jalan meninggalkan Nagari, dengan syarat uang seharga satu rupiah emas.
Di pintu masuk Nagari juga dipasang pos penjagaan. Semua mobil penumpang dan barang yang lewat diperiksa oleh OPR. Gaya OPR melebihi angkatan perang.
Walau di kampung sendiri, ia selalu berbahasa Indonesia. Menunjukkan paling nasionalis dan Pancasilais.
Stot. Stot
Begitu suatu kali ia menghentikan mobil di pinggir jalan.
“Apa di atas pagu oto?” selidiknya bertanya apa barang yang di bawa di atas atap mobil. Atap disebutnya pagu, relevan dengan rumah yang ada pagu barang di atasnya.
“Beres pak?” jawab sopir, menyebut beras dengan lidah kampungan yang patah.
“Apa begei?” tanya OPR lagi. Artinya apa selain itu.
“Rembei pak,” jawab sopir lagi, yakni rambai, duku yang rasanya agak asam.
“Pritt maju,” perintah OPR itu.
Sopir sudah siap-siap menekan gas. Lalu ia ingat berbasa-basi. Apa lagi petang hari ia akan lewat lagi di pos itu.
Lalu kata sopir: “Bapak mau rembei.”
Bukan berterima-kasih, OPR itu pun berteriak. Marah.
“Kurang ajar kamu. Pagi-pagi mengasi rembei. Menyuru OPR mencuru kamu ha?” Katanya sopir itu kurang ajar, karena makan rambai berakibat mencret.
Banyak percakapan yang beragam. Karena berkuasa tanpa ilmu dan pengalaman serta bahasa yang cukup. Setahun lamanya Nagari Tanah Baru mengalami hal itu di bawah Zainuddin Gambua.
Papa berusaha mencari selamat di masa transisi kekuasaan itu. Antara PRRI yang kalah, dan pemulihan keamanan yang belum maksimal oleh TNI. Caranya dengan mengabdi tanpa bayar mengerjakan apa saja untuk pemerintahan Nagari Tanah Baru.
Papa membantu administrasi dari surat-menyurat sehari-hari, sampai laporan-laporan.
Tapi suatu kali, Wali Zainuddin Gambua melibatkan papa mengambil TV milik penduduk. Alasan keamanan TV itu dirampas oleh Nagari. Pemilik tidak berkutik saat kekayaan kebanggaannya diambil. Kemudian TV itu entah kemana.
Puncak dari pemerintahan Zainuddin Gambua adalah saat seorang guru SR diculik. Basalamah, nama guru yang ganteng itu baru saja baralek. Pesta perkawinan secara adat Minangkabau tiga hari, Jum’at sampai Ahad.
Basalamah malam hari dipanggil. Kemudian ditahan di kantor Wali Nagari. Usai itu dibawa ke Batusangkar. Istri pengantin baru itu pun mencari informasi kemana belahan jiwanya dibawa.
Begitu tahu di Batusangkar, ia pun datang ke rumah tahanan di Kota. Tapi ia tidak diperkenankan bertemu. Bila ada makanan yang dibawa, dititipkan saja pada petugas.
Itu berlangsung sampai tiga hari. Hari keempat, ia tidak lagi diperbolehkan datang. Sebab Tuan Guru Basalamh, suaminya, tidak lagi ada di sana.
Sebagai bukti, ada kain sarung, yang tertinggal, yang konon dipakai Basalamah saat Sholat Subuh, sebelum dia dibawa. Entah kemana.
Sampai meletusnya G30 S/PKI, 30 September 1965. Termasuk setelah pemulihan keamanan dan kendali negeri dipegang oleh Soeharto. Penguasa Orde Baru itu menangkap gembong-gembong Partai Terlarang, lalu dihukum mati.
Akan tetapi Kabar tentang Basalamah tidak pernah terdengar. Bila masih hidup, dimana ditahan. Bila ia bersalah, mana pengadilannya sebagai hak warga di negara merdeka. Jangankan beroleh keadilan, jasadnya saja tidak ditemukan.
Kemudian hari diketahui, Partai Terlarang dalam kurun 70 tahun (1920-1990) telah membunuh 120 juta umat manusia yang tak berdosa di seluruh dunia. Basalamah adalah salah satunya, di Nagari kecil seperti Tanah Baru.
Selain Basalamah, banyak lagi korban lainnya yang dipanggil atau dibawa ke arah Gunung Marapi. Lalu disiksa dan kemudian dikuburkan di sana. Tanpa nisan dan tak pernah terbongkar.
Ada yang menyebut Basalamah dihabisi, tiada lain karena Wali Nagari Zainuddin Gambua, tersinggung. Sebab sebelum Basalamah baralek (menikah san pesta adat), Zainuddin Gambua mencalonkan kemanakan perempuannya untuk istri Basalamah. Tapi ditolak.
Dendam pribadi. Dengan atau tanpa alasan Zainuddin Gambua akhirnya menghabisi orang yang tidak disenangi.
Setahun papa berada di Tanah Baru. Setelah itu ia berhasil mengajak Umak pindah ke Payakumbuh. Kemudian hari terdengar kabar, situasi telah berubah. Zainuddin Gambua menghilang dari kampung. Lama ia tak pulang-pulang. Ternyata ia merantau ke Pantai Barat Sumatera.
Sementara di Jalan dari Batusangkar ke Lintau, ada satu Nagari yang juga dipimpin oleh Wali Nagari dari Partai Terlarang. Masanya juga bersamaan dengan Zainuddin Gombua. Ketika masyarakat marah, rumahnya dikepung. Wali Nagari itu terkurung di dalam. Tidak mau keluar, akhirnya penduduk membakar rumahnya. Wali Nagari yang malang itu mati terbakar di dalamnya.
Mati dalam kehinaan dan rasa sakit. Sesakit belasan mungkin puluhan orang-orang yang ia habisi selama memerintah.
Nasib Zainuddin Gambua beruntung. Tapi juga disebabkan penduduk Tanah Baru sangat rasional. Cepat melupakan dan tidak gegabah membalas kezholiman. Biarlah neraka yang membakar setiap jengkal tubuhnya yang aniaya.
Di dunia, Zainuddin Gambua bernasib baik walau ia membawa sejuta rahasia kekejaman.
Usai Papa menceritakan kisah ini, saya masuk sekolah esok, Senin pagi. Kawan sudah siap dengan film G30S/PKI yang ditontonnya. Walau sebelumnya sejumlah aktivis dan kalangan militer yang tak sejalan dengan Soeharto menilai, film itu ada bagian melebih-lebihkan peran penguasa Orde Baru itu.
Saya punya simpanan cerita tentang papa di masa-masa Partai Terlarang berkuasa. Langsung papa pelaku sejarahnya. Pengungsian Nagari Tanah Baru.
Tentang sejarah ditulis bak kata siapa yang berkuasa, papa punya satu pamungkas.
Bila waang (kamu) tidak punya kuasa, kata papa, maka jadilah wartawan, atau penulis besar seperti Hamka.
Mungkin karena ikhtiar papa yang tinggi tentang Hamka yang sangat patriotik bahkan lebih dihormati dari Soekarno dan Soeharto sekalipun, berbagai jalan terbuka bagi saya untuk menulis apa saja. Wallahu alam.
Pengungsian di Nagari Tanah Baru ini, contohnya, adalah sejarah yang hampir hilang lebih setengah abad. ***

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *