logo mak-adang.com

Novel 2 (25): Hari Baralek Papa.

 Dr. Andi Mulya, S.Pd., M.Si.     19/02/2023    Novel Tragedi Bunga Setangkai   99 Views

Pertemuan papa dengan mama bermula di Muaro Padang. Mak Datuk kala itu menjadi mahasiswa tahun akhir di IKIP Padang. Ia menulis skripsi tentang prilaku sosial warga binaan di penjara Muaro Padang.
Berbagai penyimpangan prilaku, sesama warga lembaga pemasyarakatan Muaro, terjadi. Dan ditulis oleh Mak Datuk.
Lalu, ia mengundang papa untuk berkenalan dengan mama di rumah kosnya. Papa saat itu datang bersepeda, dengan Bustaman, teman sesama bekerja di Jalan Holigoo.
Saat itu Mama baru pulang dari Medan. Sampai di Padang baru beberapa hari. Kesempatan itulah digunakan Mak Datuk menjadi ‘mat comblang’ untuk adiknya, dengan papa.
Setelah itu, Mak Datuk mengirim kabar kepada Ayah Gaek, Rasyidin Juru Tuli bergelar Sutan Perhimpunan, tentang perkenalan tersebut. Sudah bisa ditindak-lanjuti menjadi paretongan secara adat. Ayah Gaek kemudian melanjutkan pembicaraan dengan Ayah Papa, Ahmad Sutan Marajo.
Ada kemungkinan, jelas papa, karena mereka sebaya, lalu pembicaraan menjadi mudah. Bisa pula karena mereka sama-sama sholat di Masjid Raya Nagari Keramat itu.
Ada kecocokan, Ayah Gaek kemudian datang ke Padang untuk bertemu papa di Toko Gema. Seusai bicara, Papa kemudian mengajak Ayah Gaek makan di kaki lima. Kedai nasi masakan Minang yang banyak di Padang.
Sebelum jadi dengan mama, papa pernah disodori Ayah Ahmad Sutan Marajo dua calon di Lintau. “Fakhri, ini ada orang datang, masih satu kampung kita, ini fotonya,” tunjuk Ayahnya kepada papa.
Satu lagi entah siapa. Tapi keduanya tidak jadi. Di hari baralek, sehari papa mau ‘dijemput,’ ada lagi satu ninik mamak Poruk nan Godang datang ke Umak Hasiah. Entah apa yang disebutnya, Umak menangis karena kata-katanya. Masalahnya, tiada lain, saat papa jadi dengan mama, dia punya calon lain untuk papa. Tapi itu berlalu. Jodoh adalah keputusan Allah SWT. Tidak ada seorang raja sekali pun mampu menolak takdir.

 

Di hari pernikahan itu, malang tak dapat ditolak, Fatimah, yang dipanggil Kak Imah, sakit dan tak bisa ikut. Papa pamit ke rumah gadang di depan, tempat ia tidur. Minta dilepas doa. Saat itu bertangisan pula ia tak tega karena sakit tersebut.
Menghadapi hari-hari baraleknya, papa paling bimbang. Bekerja sebagai pegawai Toko, lalu sambil kuliah di Fakultas Ekonomi Unand, yang belum tamat. Pesta juga dengan Umak yang tiada berada. Ayah pedagang kecil. Tinggal di Lintau dengan istri ketiganya pula.
Apa akal?
Papa akhirnya mendapat pinjaman sepatu milik Tuan Ruslan Madjid. Bahkan jas juga dipinjam dari teman serumah saat tinggal di Gantiang itu. Dengan sepatu dan jas itulah papa berangkat menjadi marakpulai, artinya pengantin laki-laki. Di hari baralek itu, bermalam pulalah Bustaman, teman di Padang, asal Limo Kaum. Tapi papa lupa, karena ada kemungkinan juga, Tamam panggilannya, berasal dari Gurun, Batusangkar. Ia membawa tustel dipinjam dan berjasa mengabadikan pesta itu.
Rombongan dari Koto Kaciak cukup ramai mengantar. Anak kaduk, yakni Nefli Munir. Anak kaduk adalah ‘pengawal’ kecil marakpulai yang berdiri di samping kiri dan kanan kemana pun marakpulai bergerak. Ia juga berfungsi sebagai pemanis, bak pagar bagus dalam pesta.
Pesta di rumah gadang tujuh ruang dibawah payung Datuk Paduko Sinaro. (Rumah gadang itu kemudian terbakar, waktu saya dalam kandungan.)
Papa datang, payung disambut oleh Mak Tuo Hajjah Hindun. Papa ingat beberapa kawan dan ninik mamak yang mengiringi. Yakni Ayah dan Umak, Nursal Lurah, Inang, dan Soba. Tapi siapa-siapa yang tak dapat diingat, cukup ramai.
Tatkala mau melangkah naik ke pintu rumah gadang salah seorang ada berbisik untuk membaca doa. “Baca dua kalimah sahadat,” bisik ninik mamak itu.
Setelah itu naik ke rumah Gadang.
Sambutan secara adat serta makan minum selesai. Saat petatah-petitih usai, Ayah Gaek meminta waktu untuk pidato sebentar.
Ayah Gaek memberitahu bahwa di saat ada pesta gembira di rumah ini, ada kabar duka di Medan. Anak kami tertua, kata Ayah Gaek, R. Azinar atau Mak Adang itu, tak jauh dari rumahnya di Jalan Brastagi, nyaris dikenai pesawat yang jatuh. Alhamdulillah tidak terkena, namun Mak Adang masih guncang secara psikhis, karena sangat dekat. Oleh sebab itu, mohon maklum, beliau tidak datang. Dan mohon doa.
Begitulah di masa Papa dan Mama berjodoh. Kepatuhan kepada orang tua hal utama. Uang dan hidup mapan bukan ukuran untuk berumah tannga. Demikian pula, baik pihak marapulai dan anak daro, berikhtiar berumah tangga merubah nasib. Berbeda sekarang, orang bisa terlambat menikah padahal sangat mapan.
Setelah baralek, tiga hari, Jumat sampai Ahad selesai, Pak Idrus Hakimy, datang dan naik rumah Gadang di Piliang. Bersama Mak Datuk kala itu, papa menerima kunjungan ketua Lembaga Kerapatan Adat dan Alam Minangkabau itu.
Tuan Idrus Hakimy ini pernah menjadi anggota DPRD Sumbar. Ua juga sering mampir ke Toko Gema, tempat papa bekerja. Kebetulan sesama asal Tanah Datar, Tuan Idrus Hakimy, punya kawan orang Rao- Rao juga. Dia sempat memberi nasehat adat.
Peristiwa itu terjadi Bulan Februari 1966. Tiga bulan setelah itu papa diangkat menjadi penghulu kaum, bergelar Datuk Sahih Penghulu. Atau menyingkat nama kecilnya, menjadi F. Datuk Sahih saja. ***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *