logo mak-adang.com

Novel 2 (24): Benarkah Papa tak Pernah Kuliah?

 Dr. Andi Mulya, S.Pd., M.Si.     19/02/2023    Novel Tragedi Bunga Setangkai   156 Views

 

Walau penataan wilayahnya sangat buruk, Duri selalu disebut kota. Padahal mestinya kota adalah sebutan bagi daerah tingkat dua, yakni Kotamadya. Dapat pula setara Dumai hari ini, atau Padang Panjang, kategori kota kecil.
Duri adalah ibukota kecamatan Mandau, di Kabupaten Bengkalis. Sebutan kota, dimungkinkan karena Duri memiliki area perumahan dan perkantoran PT Caltex (CPI). Lingkungannya tertata. Bersih dan hijau, dengan lapangan golf. Lengkap dengan berbagai sarana olahraga, baik kolam renang dan stadion. Juga lapangan helikopter di dalamnya.
Duri adalah kota dalam hati penduduk maupun orang yang datang atau singgah ke sini. Walau lingkungan Caltex sangat rapi bersih. Tidak demikian dengan pasar dan jalan, serta penataan lingkungan di Duri. Paradok.
Keadaan yang bertolak belakang lainnya terjadi pada sebutan oplet. Kenderaan umum ukuran kecil yang populer kala itu. Semua oplet, termasuk bus berukuran sedang, diberi nama: Duri Indah.
Entah dimana indahnya? Karena tanahnya kuning berpasir. Teman sebaya waktu SD menyebutnya ada gula. Pecahan kerikil halus diantara pasir. Udara panas. Ventilasi di Pasar Swakarya juga minim. Siang hari, setelah berkeringat, banyaklah pedagang, tua sampai muda mengipas badan. Kadang kala kemejanya ia buka. Tinggal kaos singlet yang sudah basah setengah.
Pendidikan tertinggi hanya SMA. SMA Negeri 1 di Sebanga, disebut 428, nomor urut nasionalnya. Lalu berdiri SMA Negeri 2 Piji, singkatan dari Pokok Jengkol.
Beberapa sekolah swasta adalah SMA Islam Mutiara, di Komplek Caltex. Lalu ada Hubbul Wathan arah Garoga.
Duri jelas saja menjadi kota buruh. Pagi hari, oplet memanggil: “Ampang… Ampang…” petanda tujuannya ke arah pintu masuk Caltex, samping Polsek Mandau.
Petang hari, buruh baik Caltex maupun perusahaan kontraktor pulang dengan sepatu hitam berat. Ada besi di ujung jari dan tumit sepatu itu. Keras dan aman (safety).
Tampak lelah, dengan baju monyet yang kotor. Maklum bekerja di lapangan dan operasional perusahaan minyak multinasional.
Dari deskripsi ini jelaslah belum ada kegiatan akademis, seperti diskusi, apalagi seminar, dan penulisan atau penelitian. Tokoh masyarakat terkemuka kala itu hanyalah ustadz, yang berceramah wirid mingguan dari Masjid ke Masjid.
Semua orang yang datang dan mengadu untung di Duri dari berbagai wilayah terutama Sumatera Tengah. Kesamaannya cuma satu, sama-sama ingin cepat bekerja. Pada tahun 1980-an umumnya lulusan SMA atau STM.
Demikian pula pedagang. Bekal sekolah umumnya sekolah menengah. Ada pula yang sekedar tamat SD. Untuk pandai tulis baca dan berhitung.
Sampai lulus SMP 2 Simpang Padang, tahun 1986, saya belum tahu papa pernah sekolah dimana. Kala masuk SMA 1 Duri, semua guru sudah banyak yang bergelar sarjana muda: BA dan Doktorandus (Drs). Insinyur satu-satu dan terbilang hebat.
Master, apalagi Doktor, seperti Hatta, Natsir, apalagi Prof Hamka, seperti bumi dengan langit.
Satu hari ada Ustadz yang mengaji di depan masjid. Mama kenal namanya. Ia juga pedagang. Kajinya biasa saja. Tapi ia melekatkan BA di belakang nama. Sepertinya sudah hebat betul.
“Ba bie-biean pulo, padahal entah dimana dia sekolah, “ tukas Mama suatu siang.
Jadi?
“Papa ini juga sarjana muda ekonomi Universitas Andalas, BA juga, “ lanjut mama lagi.
Oh benarkah. Jadi papa sebenarnya sama gelarnya dengan kepala sekolah SMA Piji?
Jadi mengapa papa tidak pernah ditulis gelarnya? Bagaimana kisah Papa sekolah? Mengapa tidak jadi dosen, seperti Mak Datuk, yang menyambung ke Australia. Atau Mak Adang ke AS dan Belanda.
Saat berdagang, jelas mama, untuk apalagi gelar sekolah. Apalagi pasar tidak bertanya gelar. Ukuran strata di Pasar adalah siapa yang paling kaya. Siapa yang lancar menghimpun uang: menambah toko, membangun rumah, pulang kampung, belanja barang-besaran, dan termasuk punya rumah petak.
Papa adalah pedagang, tapi rumah masih menyewa berdempetan dengan penghuni lain.
Kalau tidak ditanya, papa memang tidak bercerita tentang perjuangan sekolahnya. Tentang gelar Sarjana Muda Ekonomi Unand itu, begini kisahnnya.
Papa pernah sekolah sampai kelas 2 di SMA swasta Adityawarman di Batusangkar. Sekolah itu terputus karena peristiwa Bagolak, yakni pemberontakan PRRI tahun 1958.
Semua anak sekolah pulang kampung, karena sekolah ditutup. Kota lengang karena tidak ada jaminan keamanan. Atas inisiatif pelajar senior, yang sudah lulus SMA, maka di Sungai Jariang, tak jauh dari rumah kayu Mak Tuo, didirikan Sekolah Penampung. Papa tercatat setahun di sekolah itu.
Usai negeri mulai aman, papa berangkat ke Lintau. Di sana Ayah Ahmad Sutan Marajo berdagang di Pasar Lubuk Jantan.
Papa tidak punya surat keterangan lulus. Hanya mengaku setahun belajar di SMA Penampung setelah dua tahun di SMA Adityawarman. Ternyata Fakultas Hukum Universitas Andalas, baru saja berdiri di Lintau. Papa diterima sebagai mahasiswanya.
Bersama papa juga ikut kuliah di Fakultas Hukum ini dua teman asal Nagari Keramat. Keduanya yakni Daud Ersal yang terpilih sebagai raja dalam acara pelonco, atau Opspek. Singkatan dari Orientasi pengenalan studi dan pengenalan kampus.
Satu lagi bernama Muklis, adik dari Mak Aciak. Saat pelonco papa beroleh nama suci: Lantonyok. Entah apa artinya. Pada malam kesenian, yakni penutupan, Daud Ersal yang terpilih sebagai raja naik ke atas pentas. Ratu Fakultas Hukum Lintau, kala itu adalah Bet, asli Lintau.
Akan tetapi, seperti kisah Ijok dan Lintau tidak aman, sekolah itu terputus. Papa kembali ke kampung. Namun setahun lamanya, papa harus bersabar di Pengungsian Nagari Tanah Baru, yang dikuasai Partai Terlarang.
Setelah itu, papa dan Umak berangkat ke Payakumbuh. Usaha keluar dari Nagari Tanah Baru, tiada lain adanya juru penolong di kampuang kedua orang Nagari Keramat itu. Tuan Abubakar Akrap atau dipanggil Tuo Aka, menjamin dan menolong semua keperluan orang yang ingin merantau.
Umak mulai berdagang kacang dan pisang rebus . Papa tidak bisa diterima di Fakultas Pertanian Unand, yang kala itu sudah berdiri di Payakumbuh.
Singkat kata, papa meneruskan ke SMA Sore, yang terpilih sebagai Ketua ISSMA atau Osis sekarang.
Papa juga mendaftar di Akademi Militer Nasional (AMN) yang bsrpusat di Magelang, saat kelas 3. Tapi hanya satu yang lulus. Papa gagal menjadi calon perwira militer.
Sementara Khaidir dan Mansur lulus AMN. Khaidir anak pejabat di kantor Bupati Payakumbuh. Sedangkan orang biasa. Tapi berbadan besar dan tegap.

 

Gedung SMA Sore menempati SMA Negeri 1, di Labuh Basilang. Ada kemungkinan SMA Sore menjadi SMA Negeri 2 sekarang yang berlokasi di Tiaka.
Tamat SMA Sore Payakumbuh Papa melanjutkan ke IKIP Padang. Saat itu Umak masih terus berdagang kacang di Pasar Ibuah. Umak tidak pernah menolak tiap papa meminta uang untuk belanja sekolah. Termasuk saat akan melanjutkan ke IKIP Padang.
Tahun 1961, papa tercatat sebagai mahasiswa IKIP Padang. Masa pelonco selama seminggu berlangsung di kampus pusat di Pondok.
Papa berfoto bersama teman-teman seangkatannya dengan nama suci pelonco yang berbagai macam. Papa sendiri memakai nama Kalimayia (lihat foto duduk paling kiri).
Papa tinggal di Gantiang dengan seorang teman bernama Jon. Jon kemudian melanjutkan ke SMOA, nama sebelum SGO (Sekolah Guru Olahraga) di Surabaya. Jon akhirnya lulus sebagai prajurit TNI AL. Di akhir masa bakti, ia bertugas di Dumai, dan membuka toko dengan nama berhubungan dengan laut.
Setahun di IKIP Padang, papa berangkat ke Ciloto, mengikuti pendidikan Komando Pemberantasan Malaria (Kopem). Pulang dari Ciloto, papa sudah menjadi tenaga kesehatan untuk wilayah Sumatera Barat.
Akan tetapi nasib naas terjadi pula. IKIP Padang, tidak menerima papa sebagai mahasiswanya. Alasannya berangkat tanpa kabar. Papa kemudian mendaftar di Kelas Extention, Fakultas Ekonomi Unand. Hal itu terkait pula dengan Tuan Abu Bakar Jamal, yang sudah menjadi dosen di fakultas tersebut.
Papa kuliah sore hari. Sementara pagi sampai siang menjadi pegawai toko Gema, di jalan Hiligoo, kini bernama Jalan Imam Bonjol. Usai Indonesia keluar dari PBB, karier papa sebagai lulusan pendidikan Kopem, tidak menentu. Kawan lain bekerja di Depkes, Imigrasi dan Asuransi. Papa memilih menjadi pegawai toko, melihat banyak orang sekampung yang sukses jadi saudagar. Setelah satu tahun bekerja, papa mengulang lagi dari awal. Mahasiswa baru di Fekon.
Saat itu usia papa sudah 26 tahun. Masih dalam masa kuliah, papa menemukan mama sebagai jodohnya, yakni baralek tahun 1966. Tahun 1968, papa lulus dengan gelar Sarjana Muda Ekonomi. Luar biasa, karena beberapa kali kuliah umumnya langsung dari ekonom yang juga Wakil Presiden, Muhammad Hatta.
Dilihat dari perjuangan sekolah, dan menjadi Sarjana Muda Ekonomi kala itu, papa adalah teladan. Sekaligus mujahid.
Perjalanan hiduplah yang membawa papa tidak menjadi dosen. Padahal ia rajin membaca, buku-bukunya banyak. Makanya ia berkaca mata tebal. Tulisan papa halus kasar bagus yang dimiringkan pena seperti memegang sendok.
Papa memang gagal menjadi pegawai negara. Alasannya sangat manusiawi. Saat usai kuliah, selain akan mengabdi kepada Umak, sebagai anak satu-satunya, juga memikirkan keluarga. Yakni menanggung saya, anak pertama papa yang lahir 5 Januari 1971. Dua tahun sebelumnya sudah ada tanda-tanda mama beroleh anak pertama, tapi gugur saat menyewa rumah kecil di Gantiang, Padang.
Tidak ada lagi guna gelar. Tapi sejarah kehidupan papa, yang tercatat seperti ini, adalah sejarah perjuangan orang hebat. Setara dengan Mak Datuk. Tak kalah hebat dari Mak Adang. Kebetulan papa di Koto Kaciak, dimana ia menjadi penghulu kaum Poruk Nan Godang, juga dipanggil Mak Adang.
Mak Adang yang diidolakan anak-kemenakan. Bukan saja karena sekolahnya, tapi juga budi pekerti dan tutur bahasanya. Dari segi kebangsawanan, papa memang penghulu kaum. Strata terbaik sehingga kalangan masyarakat adat meyakini: hanya orang yang penghulu saja, bisa kawin-mawin dengan keluarga penghulu.
Dalam diri papa, ada perjuangan pendidikan seperti Mak Datuk yang bergelar penghulu Datuk Paduko Sinaro. Sekaligus ada potensi Mak Adang yang hebat. Sebab pendidikan Kopem yang diikutinya adalah rujukan sebagai Peringatan Hari Kesehatan Nasional oleh Depkes RI sampai sekarang.
Papa adalah Mak Adang sebenarnya.***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *