Pada tahun 1966 Papa diangkat menjadi Penghulu kaum Poruk nan Godang, Koto Kaciak.
Koto Kaciak sejak dulu dikenal sebagai Kampung Aceh, karena banyak jawara Nagari berasal dari sana. (Baca tulisan 26 Berbagai Kisah di Koto Kaciak).
Penghulu adalah kepala kaum di Minangkabau. Gelar penghulu dipusakai secara turun temurun dari Mamak ke kemanakan laki-laki. Sebagai pemimpin, syaratnya tidak sekadar pintar dan disegani akhlaknya.
Penghulu dilewakan (lantik) karena ada tali darah dengan penyandang gelar pusaka. Adat Minangkabau mengajarkan sebagai berikut: “Batuang tumbuah di ruehnyo, karambia tumbuah di matonyo, nan batunggua bapanabangan, nan basosok bajurami, dimano batang tagolek, di sinan cindawan tumbuah. Dimano tanah tasirah, disinan tambilang makan.”
Syarat penghulu nan lain adalah sifatnya benar dan lurus. Adat mengatakan Labuah luruih nan ditampuah, teguh memegang kebenaran. Lahia jo batin saukuran, isi kulik umpamo lahia, lahiasakato dengan batin, sasuai muluik dengan hati. Sifat kedua adalah cerdas, berpengetahuan atau berpendidikan.
Adat mengatakan: “Nan badeta panjang bakaruik, panjang tak dapek diukua, leba tak dapek dibidai.” Jadi wawasan yang luas. Sifat ketiga amanah, seperti disebutkan: “Elok nagari dek pangulu, sepakat manti jo dubalang. Kalau tak pandai jadi pangulu, alamat sapuah ka mangulang.”
Sifat keempat adalah fasih lidahnya. Adat Minangkabau mengajarkan begini: “Murah kato takatokan, sulik kato jo timbangan, Kato nan liok-liok lembai, nan leok lamah manih, sakali rundiang disabuik, takana juo salamonyo.”
Petang hari papa menceritakan tentang Tambo. Ia mengambil satu buku tua kulitnya berwarna hitam dan ada lambang kepala kerbau di tengahnya. Mungkin karena udara di Duri yang panas, atau buku tersebut terlalu lama tidak dibaca, ada bagian yang rusak di pinggir kulit maupun isinya.
Buku itu berjudul “Himpunan Tambo dan Bukti Sejarah Minangkabau.” Dikarang oleh Sutan Mahmoed BA dan Manan Rajo Pangulu. Papa lalu menirukan sembah kata dan pepatah petitih pada pengantar buku tersebut. Lengkapnya dalam bahasa Minang sebagai berikut: ”Kayu Cinako nan lah pantai, Pantainyo condong ka dusun, Bukan kami urang cadaiak pandai, Tambo nan lah lamo kami susun.
Sarai sarumpun dalam humo, Tampek basarang buruang pikau, Kami susun tambo nan lamo,
Untuk pegangan Minangkabau.
Kayu pantai di Koto Alam, Pantainya ka batang patai. Kok pandai bana dalam alam, Indak pandai sagalo pandai.
Kayu pantai di Koto Alam, Pantainyo sandi basandi, Kok pandai bana di dalam alam. Indak pandai manulak mati.
Begitulah, ujar papa kemudian. Orang dulu menulis dengan penuh kerendahan hati. Tidak ada rasa sombong sedikit pun. Apa yang ia tulis bukan untuk kemegahan pangkat atau jabatan.
Juga bukan pujian dari orang lain. Hanya untuk menjadi pegangan untuk generasi penerus. “Nanti setelah besar, waang (kamu) akan tahu mana buku yang bagus, karena ditulis dengan ikhlas berharap ridho Allah, mana buku yang buruk,” kata papa.
Buku buruk seperti apa? Bisa jadi buku yang ditulis hanya berharap keuntungan atau beroleh uang. Tuhan juga tidak akan memberi pikiran yang bagus kepada penulis yang dari niatnya saja sudah berbelok hanya kepuasan dunia.
Saya tidak mengerti maksud papa. Tapi saya tertarik cerita sejarahnya. Papa kemudian membuka halaman pendahuluan. Ternyata sangat menarik. Awal paragraf dijelaskan bahwa Tambo adalah kenyataan yang ada di Minangkabau sejak ribuan tahun lalu.
Tambo akan selalu mempengaruhi kebudayaan orang Minangkabau bahkan sampai ribuan tahun yang akan datang. Satu contoh paling menonjol adalah tentang matrilineal di Minang kabau. Maksudnya garis keturunan dari ibu. Berbeda dengan suku lain di Nusantara yang patrilineal, yakni garis keturunan dari bapak atau ayah.
“Matrilineal adalah satu hal yang membedakan Minangkabau di Indonesia, dimana terdapat banyak suku bangsa lain sebagai penganut agama Islam yang taat,” ujar papa mengulas isi buku itu. Paham matrilineal ini dianut dari masyarakat lapisan bawah sampai lapisan atas, kalangan raja-raja. Itu dilukiskan dengan: “dari kemenakan batali ameh (bertali emas) sampai ke raja alam diPagaruyung.”
Jadi orang Minangkabau, lanjut papa, menurunkan gelarnya bukan kepada anak. Tapi kemenakan. “Kamanakan barajo ka Mamak Mamak barajo ka panghulu Panghulu barajo ka undang-undang, Undang-undang barajo ka kabanaran.Kabanaran tagak dengan sendirinyo.”
Papa melanjutkan bahwa selama 70 tahun, saat Adityawarman berkuasa, terjadi penyimpangan mendasar. Raja menghapus sistem ini sejak 1341, namun masyarakat Minangkabau tidak mengindahkannya. Adityawarman mangkat di Kubu Rajo, 2 km. dari Batusangkar, tahun 1.375. anaknya wafat tahun 1409 di Pagaruyung. “Keduanya terbunuh menandakan Orang tidak suka dengan sistem pemerintahan absolut, dan tidak suka pewarisan kepada anak.”
Hanya sarjana Barat baik Eropa dan AS, serta Jepang, China dan India saja yang menyatakan matrilineal adalah sistem yang buruk. Padahal sistem ini sudah terbentuk sejak Kerajaan DusunTuo, lebih kurang 250 tahun sebelum Masehi.
Berapakah jumlah rakyat pendukung kebudayaan Minangkabau? Berapa pula luas wilayahnya. Gubernur Sumatera Barat mengeluarkan SK No 259/GBS-1977 bisa menjawab pertanyaan itu. Jumlah penduduk adalah 3.104.046 orang dengan 4.326.779,79 ha. luas wilayah.
Jumlah perantau Minangkabau lazimnya sama dengan jumlah penduduk di Sumatera Barat. Nah mengapa orang Minangkabau yang tidak mengerti etika dan tau diri disebut: ”tidak tau diampek?” Itu terkait dengan semua sistem kebudayaan Minangkabau disusun secara sistematis dengan hitungan serba empat, atau ampek.
Jadi, Adat ada 4, Nagari ada 4, Koto ada 4, Undang-undang ada 4 dan hukum juga 4, dan ada yang 2 yakni cupak. Cupak adalah takaran penghitung volume padi atau beras.
Ada dua kelarasan di Minangkabau, yakni Bodi Caniago yang maestro adatnya adalah Datuk Perpatih Nan Sabatang. Lalu Kelarasan Koto Piliang dengan maestronya Datuk Ketemanggungan. Waktu pertama didirikan, Ada 22 Nagari di masing-masing kelarasan itu. Pusat Bodi Caniago di Lima Kaum Tua memiliki 21 suku dengan 21 penghulu. Ditambah satu pucuk bulek atau pimpinan tingginya yakni Datuk Bandaro Kuniang.
Ada tiga pola yang berlaku dalam pembentukan Nagari kelarasan Bodi Caniago. Pertama, Lima Kaum berpagar 22 Koto, yakni: Lima Kaum nan Bungsu dan Limo Kaum nan Tangah masing-masing 5 Koto. Dan Lima Kaum Dua belas Koto. Kedua, Lima Kaum Sembilan Koto, Tanjuang nan Tujuh, Lubuk Nan Tigo, Alung Bunian. Ditambah satu Limo Kaum Pusat. Ketiga disebut Bodi Caniago nan Sadidi, dimana 22 sistem kelarasan yang penghulunya diangkat mesti memotong kerbau.
Yakni Dusun Tuo (4 batua), Balai Batu (5 suku), Koto Gadih dan Ampalu (masing-masing 4 Koto), dan Silabuk (3 koto). Ditambah dua yakni Datuk Rajo Panhulu dan Datuk Bandaro Kuniang.
Kemudian Pusat Koto Piliang juga disusun 22 Nagari. Yakni Sungai Tarab (8 batua), Kapak Radai (8 koto), Ikua Kapalo (4 koto), Gombak (1 koto), dan Ketitiran di Ujuang Tunjuak (1 koto).
“Katitiran di Ujung Tunjuak inilah sebutan bagi Nagari keramat, kampuang kito.” Jelas papa.
Pusat pertahanan Koto Piliang adalah di Batipuh. Kemudian dibuat lagi 22 Nagari, yakni Sepuluh Koto. Ditambah masing-masing satu Koto yaitu: Sungai Jambu, Batipuh, Labuatan, Singkarak, Saningbaka, Simawang, dan Bukit Kanduang. Ditambah lagi Sulit Aia, Tanjung Balik, Silungkang, Padang Sibusuak dan Tuan Gadang.
Apakah bedanya dua kelarasan itu?Awalnya hanya soal pembagian wilayah. Tetapi perbedaan makin tajam tatkala Bodi Chaniago tidak ikut, atau tidak mau ikut, mungkin pula karena tidak dibawa serta dalam sistem kerajaan Minangkabau. Akan tetapi dalam menerapkan ajaran adat, baik Datuk Bandaro Kuniang di Limo Kaum, maupun Datuk Bandaro Putih di Sungai Tarab, menghormati dan mematuhi sistem 22 angka tersebut.
Hanya saja Koto Piliang memelihara adat dengan sistem kerajaan, sedangkan Bodi Caniago lebih demokratis. Selain kelarasan itu, ada satu kelarasan lain yang berbeda. Yakni Lareh nan Panjang.
Wilayahnya adalah seiliran Batang Bangkaweh, yakni dari Pariangan Padang Panjang hilir sampai ke Bukit Tamusu Mudiak. Kelarasan ini disebut dalam Tambo. Bunyinya: “Pisang Sikalek-kalek hutan, pisang tambatu nan bagatah.
Bodi Caniago bukan, Koto Piliang antah.” Antah artinya tidak tahu. Kelarasan ini berpusat di Pariangan dipimpin Datuk Bandaro Kayo, dengan memakai jumlah 22 dalam membentuk suku. Jadi, angka 22 ini adalah angka keramat dalam pembentukan Nagari Minangkabau.
Di masa datang, kata Papa, waang (kamu) akan mendapati sejarah Miinngkabau ditulis oleh orang yang bukan penghulu.
Karena ia tidak mengerti, atau tidak suka dengan sistem pemerintahan Minangkabau lama, maka ia tidak masukkan. Padahal sejak dulu sejarah pemerintahan Minangkabau adalah Nagari Nagari yang didirikan sekaligus dengan menunjuk siapa penghulu mereka.
Jadi pemerintahan Minangkabau yang otonom, jauh lebih maju dari pemerintahan desa di Jawa yang terpusat.
Papa lalu mengeluarkan satu buku lagi berkulit putih dikarang Idrus Hakimy Datuk Rajo Penghulu. Siapa Idrus Hakimy?
Ia adalah tokoh adat Minangkabau, yang berasal dari Supayang. Saat papa dilantik jadi penghulu di acara Batagak Gala, Idrus Hakimy lah yang memberi pidato sambutan.
Dalam buku itu ia menjabat Ketua Lembaga Kerapatan Adat dan Alam Minangkabau.
Papa tahu banyak tentang Minangkabau karena ia penghulu. Apakah ia juga sekolah seperti Mak Adang atau Mak Datuk yang dosen?
“Tidak, tapi Waang mesti sekolah tinggi,” pandai sekali jawabannya.***