Mak-Adang.com
Pada tahun 1952, papa masuk Sekolah Menengah Pertama Islam (SMPI) di Batusangkar. Sekolah itu didirikan oleh Mamak Abdurrahman May, yang masi saudara sepupu Umak Hasiah. Ayah mereka bersaudara.
Awalnya, Mamak Abdurrahman, mengajar di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Sejak bergolak, ia pulang kampung. Saat tiba di Kampung, papa diajak Umak Hasiah untuk menyilau ke rumah gadangnya di Lurah.
Papa masih ingat diberi buku bergambar yang bagus. Setelah baralek, menyunting istrinya, bernama Rahmah, Mak Abdurrahman kemudian mendirikan sekolah ini. Kala itu gedung sekolah hanya berupa dua rumah gadang milik penduduk di daerah Lantai Batu.
Papa masuk SMPI, karena tidak memiliki ijazah setelah lulus di Sekolah Rakyat (SR) di Rao-Rao. Terkait hubungan karib itu, papa bisa mendaftar bersama teman akrabnya, Natsir Jamal.
Adapun tinggal di rumah Baharuddin yang bekerja di Kantor Bupati Tanah Datar. Fauzi, anak Pak Baharuddin BS, kala itu masih Sekolah Dasar. Teman papa yang berjodoh dengan kemanakan papa di Poruk Nan Godang, Koto Kaciak, Suharti, atau Ati Sayang panggilnya. Fauzi kemudian membuka usaha toko buku di Senen Jakarta.
Jumlah murid SMPI kala itu 30 orang, terbanyak dari Pasia Lawe. Empat tahun setelah tamat dari SMPI, Mamak Abdurrahman pindah ke Surabaya.
Saat sekolah, papa pulang kampung sekali sepekan. Ia membawa beras, ikan asin, dan lauk pauk untuk bekal sekolah. Tak lupa membawa sepenggal kayu bakar untuk memasak. Papa ingat kakak imah, serumah gadangnya, selalu mengantarkan dari Koto Kaciak ke Balai Sotu, untuk mengambil mobil darI Bukittinggi ke Batusangkar.
Papa juga punya kotak kayu yang dikunci kuro-kuro (gembok). Dikotak itulah menyimpan baju, uang, termasuk beras dan samba lado, serta ikan siam goreng. “Bila malam hari, kotak kayu itu menjadi tempat manyurek, artinya menulis.
Bila malam tiba, empat orang kawan sekamar papa, tidak serta merta tidur. Mereka punya tradisi perang bantal, dengan mematikan lampu dinding. Dalam gelap itu, pak puk pak puk, bantal berbunyi kena sasaran dalam gelap.
Empat tahun lamanya papa tinggal di Batusangkar. Dikemudian hari, Abdul kemanakan pemilik salah satu rumah kos yang dulu masih kecil, kini sudah remaja.
Adanya hubungan yang dekat menyebabkan Mak Dul, sering berkunjung ke Papa dari tempatnya kuliah di Padang ke Duri. Mak Dul, adalah adik angkat papa yang kami anggap Mamak kandung sendiri.
Mak Dul lelaki yang tinggi besar, berkulit putih. Hidungnya mancung, dan berkaca mata bila ia ingin membaca. Selama singgah di Duri, Mak Dul tampak pandai menempatkan diri. Ia ringan tangan, ada-ada saja yang ia bantu di rumah. Pernah memperbaiki lemari kaca peninggalan Mak Memek. Sekeliling lemari itu ditutup dengan triplek. Hanya dua lobang saja di pintu yang diberi kaca.
Saat musim kering, dan sumur di rumah petak kering, Mak Dul yang turun ke bawah. Papa menarik ember dengan tali berkatrol ke atas. Di dasar sumur, Mak Dul yang menggali tanahnya, agar keluar air mata air.
Sumur rumah petak terletak di halaman belakang. Semua mengambil air berganti-ganti. Tapi saat terjadi musim kering, semua penghuni memakai sifat menunggu. Mak Dul sukarela turun, dan gembira, saat malam hari, air di dasar sumur sudah tinggi. Terbukti ember sudah terbenam dan berbunyi air tumpah saat ditarik pelan ke atas.
Di hari yang lain, siang yang panas, Mak Dul, sengaja bertelanjang dada. Ia lalu melakukan senam, dari gerakan silat Kumango yang ia pelajari. Nampak sesekali Mak Dul melihat ke kaca, saat kening dan mukanya sudah basah oleh keringat.
Mak Dul juga pandai main catur. Konon di Fakultas Teknik, universitasnya, ia pernah menjadi juara catur. Pas sekali untuk bertanding dengan papa. Kalau mereka main, suasana rumah menjadi diam. Keduanya sama-sama berfikir keras.
Saya yang duduk di sampingnya melihat sebentar. Lalu berkata: “ayo Mak Dul, makan lai.” Usai main catur, dan waktunya tidur, Mak Dul tidur bersama saya di ruang tamu. Ada dipan kecil, yang muat untuk tidur berdua berhimpitan.
Mak Dul tampak membaca ayat Kursi menjelang tidur. Dalam menelentang, tangannya menutup satu mukanya , ia baca doa-doa dalam Al’Quran.
Konon dalam satu perjalanan Mak Dul pernah menampar tangan orang yang akan mencopet di bus. “a karajoang ko,” tegurnya, berarti apa kerjamu? (mencopet?).
Orang yang ditegur tak berkutik. Tak lama mobil berjalan copet itu minta turun. Mama bercerita, selain pandai bersilat, Mak Dul, juga memakai ilmu ‘panunduak.’ Ilmu itu menyebabkan seorang penjahat takluk karena ia seperti terpasung. Seakan berhadapan dengan pendekar yang ditakuti.
Lengkap sudah semua yang bisa dijadikan idola pada Mak Dul. Ia aktif sebagai mahasiswa dan berkeliling Indonesia untuk kongres atau keperluan apapun untuk organisasi mahasiswa Islam terbesar itu. Ajaran Surau membawa ia pandai untuk menjadi imam, berceramah agama bila diperlukan. Juga mengaji, dan mengerti doa-doa.
Mak Dul juga senang bersilaturahmi. Beberapa kali, saya menemani Mak Dul ke rumah orang kampung. Hanya bercerita dan bertukar kabar, kemudian pulang. Walau Mamak angkat, saya sangat menghormati Mak Dul. Beberapa kali, kepada kawan di SD Center, saya ceritakan dengan mengulang-ulang menyebut namanya.
Pasalnya semua masalah sehari-hari seperti ada sifat dan bicara yang dapat dicontoh dari Mak Dul. Mak Dul misalnya, pernah bercerita bahwa kota Padang tidak ada sampah berserakan di Pasar. Hah… masa bisa?
Bagaimana pasar tidak ada sampah? Kemana bau sampah sayur, sampah ikan, daging dan ayam seperti di Pasar Swakarya?
Beberapa belas tahun lamanya, sejak Mak Dul bercerita itu, Kota Padang selalu beroleh Adipura. Kota terbersih di Indonesia. Saya bersemangat menceritakannya. Tapi, Kundun, satu kawan di SD, menilai sedikit cemooh.
“Sedikit-sedikit Mak Dul,” ledeknya. Kundun ada benarnya. Tapi sebagai anak Minang, saya terbiasa hidup di lingkungan keluarga besar. Ada idola seorang lelaki seperti Papa. Tapi ada idola lain seperti Mamak dengan pengalaman dan keahlian yang beragam pula.
Apalagi Mak Dul serba lengkap. Ia bisa bercerita tentang dunia preman yang segan padanya. Bisa pula berkisah tentang pendidikan tinggi. Tentang buku-buku yang bagus, tentang guru besar di kampus, juga tentang menulis di surat kabar.
Ia gagah dan pintar, calon insinyur teknik di perguruan tinggi terbaik di Padang. Juga santun dan pandai bercerita kepada kemanakannya yang masih anak-anak. Ada Mak Dul seperti ada kawan baru di rumah.
Kundun memang tidak mengalami, sehingga ia tidak bisa merasakan. Merasakan mengapa saya mengidolakan Mak Dul.
Ini contoh kisah dengan Mak Dul yang lain. Satu kali, teman di samping rumah yang ayahnya Caltex, akan menonton di Movie. Tidak cukup hanya dia yang pergi, tiga bersaudara itu juga mengajak Edi. Diantara teman sebaya, menjadi ramai tentang serunya menonton di Movie. Tempatnya mewah, kursi empuk, dan atap dari depan sampai belakang. Berbeda dengan Alhamra dan Murni, dua panggung bioskop yang populer di Kota Minyak.
Petang hari menjelang berangkat, mereka berkumpul di depan rumah Edi. Ayah Edi juga gembira melihat anaknya dibawa serta menonton gratis. Ia menyediakan makanan dan kue enak untuk dibawa.
Saya berdiri di dekatnya. Tapi tidak diajak, seperti tidak masuk hitungan. Mama melihat dari jauh. Bagi Edi dan tetangga yang Caltex, tidak menyertakan saya, hanya perkara biasa. Tapi tidak biasa bagi mama saat melihat dari jauh, saya tidak ikut gembira dengan tontonan di Movie itu.
Seketika saya pulang ke rumah, mama hanya diam. Tapi kemudian mama mengisyarat ke papa, kalau mau Mak Dul mengajak kami, saya dan Teti, menonton di Alhamra.
Jam tujuh malam, bertiga dengan Mak Dul, saya dan Teti, akhirnya jadi berangkat ke Alhamra. Tidak peduli apa film yang diputar, yang penting datang ramai-ramai ke tempat orang menonton film. Setengah film berjalan, Teti sudah pulas tertidur. Saya juga mengantuk. Mak Dul sendiri yang menonton. Kala film berakhir, Teti terbangun. Lalu pulang berjalan kaki.
Melewati pasar, Teti tak kuat lagi. Mak Dul menggendongnya yang kemudian pulas sampai di rumah. Menonton hanya karena penasaran. Dan Mak Dul menjadi penyelamat menebus rasa penasaran itu.
Begitu dekat dan hormatnya Papa kepada Mak Dul, setiap datang ke Duri, ia dibekali ongkos pulang-pergi. Singlet, handuk dan pakaian sehari-hari, sudah dibungkuskan untuknya.
Demikian pula saat Mak Dul bertemu jodoh. Perempuan cantik, tinggi, berhidung mancung, dari keluarga berada dan bangsawan pula. Cocok sekali dengan Mak Dul yang sekolah tinggi dan gagah serta baik.
Saat baralek di kampung, mama papa pulang menghadiri. Saya dan teti yang sekolah, serta Efa yang masih kecil tidak dibawa.
Malam hari, saya menunggu da Jon Ateng dari toko. Dialah yang diminta menunggu kami di rumah saat malam.
Tatkala da Jon lambat pulang, saya berusaha menahan kantuk dengan tidur di kursi. Jam sembilan malam tek Siti, dua rumah dari kami, datang menjenguk. Bertegur sapa dan menanyakan apakah sudah makan.
Lancar sudah pernikahan Mak Dul. Ketika mama kembali dari kampung, Tek Siti lalu bercerita bagaimana kami saat ditinggal bertiga beradik di rumah.
“Si Andi menunggu padahal ia juga mengantuk. Melihat anak-anak kecil tidur bertiga, tak ada orang tua, berlinang-linang terus air mata saya,” kata tak Siti. Begitulah, terang tek Siti, anak kalau ditinggal orang tuanya.
Tidak mungkin mama dan papa, meninggalkan kami beberapa hari, kalau itu bukan Mak Dul. Rasa dekat kepada Mak Dul, telah menjadikan apa yang terasa berat menjadi mudah. Itulah harga persaudaraan dan kasih sayang yang tumbuh di antara kami.
Di kemudian hari, terjadi sebaliknya. Mak Dul sudah menjadi pembesar. Telepon rumahnya jarang diangkat. Surat menyurat seperti dia kuliah dulu tidak terjalin lagi.
Di atas kertas, hitungan yang logis, mestinya Mak Dul menjadi lelaki berkarakter hebat. Mestinya dialah yang dicontoh, diikuti, dihormati.
Tetapi tidak. Beberapa tahun lamanya, papa tidak lagi bertukar kabar dengan Mak Dul. Secara bijaksana papa berkata, seseorang akan menemukan apa yang dia cari. Meniru ucapan Buya Hamka.
Dulu, kata papa, Mak Dul tidak punya uang. Tapi ia punya rasa persabahatan yang tinggi. Kini sebaliknya, ia menganggap tidak perlu hubungan, persahabatan dan kenangan. Ia sukses, berpangkat, merasa persaudaraan sebagai uang keluar.
Ada tiga hal yang membuat orang berubah, yakni pendidikan atau bacaan, lingkungan, dan keturunan.
Tapi Mak Dul berubah bukan karena ketiganya. Melainkan karena harta benda.
Mak Dul.
Oh Mak Dul.