Usai sholat Jumat papa pulang dari Pasar. Ia makan dan beristirahat sebentar.
Khusus hari ini, papa lebih lama di rumah. Sebab pada pukul 16.00 petang ia akan berangkat dengan PO Sinar Riau ke Bukittinggi. Membeli barang.
Pedagang umumnya di Duri banyak berangkat pada Jumat petang. Dari Pasar bus akan berangkat pukul 17.00. Kala waktu magrib masuk, mobil akan berhenti di Kandis. Ada dua rumah makan dari kayu yang berdiri di kanan jalan: Gunung Raya dan Rimba Raya.
Terus akan sampai di Pekanbaru jam 21.00. Lalu melewati Bangkinang, Kuok, dan Rantau Berangin. Paling lambat Pukul 03.00, setelah melewati Lubang Kalam dan Kelok Sambilan, Bus ini akan sampai di Lubuk Bangku.
Di sini tersedia rumah besar langganan Sinar Riau. Penumpang yang umumnya pedagang akan turun dan beristirahat. Airnya dingin seiring dengan hutan Bukit Barisan di sekelilingnya. Makanan enak tersedia seperti gulai ayam, pangek, sambalado, rendang dan cincang. Perjalanan jauh, sekitar 10 jam dari Duri, memang mengundang lapar.
Selain makan, minum kopi atau teh telur. Malam bagai pasar yang ramai. Sebab bus malam dari dan ke Sumbar-Riau, berhenti di sini.
Bagi pedagang, perhentian Lubuk Bangku adalah hal khusus, yakni tidur 2 – 3 jam. Pedagang bisa tidur di palanta yang luas beralas tikar di samping meja dan kursi restoran.
Dengan berselimut kain sarung, pedagang akan tidur bergelung. Suasananya ramai sekali. Tapi semua maklum jam tidur harus dimanfaatkan sebaik mungkin.
Nanti saat azan berkumandang, supir bus akan menghidup mesin. Pedagang akan saling membangunkan dari tidur nyenyak di ruang terbuka itu. Kemudian sholat subuh. Saat klakson berbunyi: teeett… penumpang sudah naik dan siap melanjutkan perjalanan ke Bukittinggi.
Pasar Aur Kuning sudah ramai oleh pedagang dan pembeli dari berbagai daerah di Sumatera. Ada dua kali hari balai atau pekan di Aur Kuning, Rabaa dan Sotu, maksudnya hari Rabu dan Sabtu. Namun Sabtu adalah pekan paling ramai.
Papa dan pedagang dari Duri umumnya memilih berangkat di Hari Jumat ini. Sebab usai belanja, siang pukul 13.00 atau petang pukul 5 dan 6 bisa langsung kembali ke Duri. Pada Ahad pagi, pedagang dan barang belanjaannya akan sampai dan siap dibongkar di pasar Duri.
Hari Ahad, apalagi ‘bulan muda’ hari panen karena karyawan Caltex dan kontraktornya sudah gajian dan ramai berbelanja ke Pasar Swakarya, tempat papa berdagang.
Perjalanan seperti itulah yang akan ditempuh papa Jumat petang ini. Saat pasar ramai, Papa bisa sekali sekali atau dua kali sebulan ke Bukitinggi. Pada musim tertentu, seperti menjelang puasa Ramadhan, beberapa kali Papa belanja ke Medan dan Jakarta.
Menjelang berangkat, Papa menyiapkan celana pendek berkantong khusus besar di depannya. seperti celana hawai sekarang, tapi diberi kantong dan kancing. Di sanalah papa menaruh uang beli barang. Perlu membuka ikat pinggang dan kancing celana dulu untuk mengambil duit tersebut.
Papa sangat paham cara menyimpan uang. Cara ini ternyata aman, walau pernah kejadian dulu, 1975, mobil Bunga Setangkai yang ditumpangi papa jatuh, waktu saya dan mama masih di kampung.
Papa salah satu yang selamat. Dan juga tak kehilangan uang kontan (cash). Sistem.pembayaran yang serba kontan dan belum ada layanan ATM membuat setiap pedagang mencari cara mengamankan dan menyimpan uang.
Menjelang berangkat papa masih sempat duduk sebentar. Ia lalu berkata: “Dimanakah batas wilayah Minangkabau?”
Saya duduk mendekat ke kursi hijau.
Papa seakan.mengulang tanya dengan mengangkat alis dikeningnya: dimana?
Saya diam tak tahu jawabnya. Papa lalu berucap :
“Minangkabau sampai ke Sidakak nan badangkang di Air Bangis.
Taratak aia hitam di Muko Muko batas Bengkulu. Sialang balantak basi di Riau. Durian ditakuk rajo di Tanjung Simalidu Jambi.”
Itu batas kasar terluar dari Minangkabau. Lebih lengkapnya begini:
Minangkabau berisi daerah sailiran Batang Bangkaweh di Pariangan sampai ka ombak nan badabua, atau lauik nan sadidieh. Mungkin yang dimaksud Tambo adalah Samudera Indonesia.
Tambo juga menyebut beberapa aliran air seperti batang Bangkaweh, Singkarak sampai Batang Hari, sampai Banda Sapuluah.
Juga wilayah pegunungan. Dari daerah Luhak nan Tigo, terus salilik Gunuang Marapi, saedaran Gunuang Pasaman, sajajaran Sago jo Singgalang, saputaran Talang jo Kurinci.
Kemudian, jelas papa, ada yang menyebut wilayah dengan gejala alam yang ada di sana. Dari Sirangkak nan Badangkang hinggo Buayo Putiah Daguak.
Sampai ka Pintu Rajo Hilia hinggo Durian Ditakuak Rajo.
Sipisau-pisau Hanyuik, Sialang Balantak Basi, hinggo Aia Babaliak Mudiak.
“Nah tahukah Waang dimana Sialang Balantak Basi? dan Aia babaliak mudiak?” tanya papa.
Adanya, jelas papa, di kawasan hutan yang ada menjelang kita sampai ke Duri ini. Sedangkan Aia babaliak mudik di dekat sedinginan arah ke Bagan Siapi-api.
Entah bagaimana bentangan dasar sungainya, lanjut papa, begitu air sampai di muara besar, air itu naik lagi ke atas. Cukup lama dan menjadi tontonan terutama orang yang tidak bertempat tingal dekat sungai di sana. Ada hutan yang dulu di Riau ini tempat Raja Pagaruyung menancapkan pancang besi dekat pohon Sialang yang tinggi.
Pendapat lain menyebut Sialang Balantak Basi itu adalah sebutam bagi lebah paling bersengat yang menghuni pohon Sialang. Sengat lebah itulah yang disebut Basi atau besi, karena lebih pedih dari tusukan pisau bila dipantak lebah itu.
Nanti bila besar, lanjut papa, Waang bisa melihat semua batas Nagari, apalagi bekerja sebagai peneliti bidang sosiologi. Sosiologi?
Ilmu yang mempelajari hubungan manusia dengan manusia lainnya. Atau peneliti Antropologi, hubungan manusia dengan cara hidup dan benda benda yang digunakan.
Papa kemudian berangkat setelah sholat Ashar. Mama di belakang mendengar apa yang diceritakan papa.
Usai magrib, biasanya saya menonton televisi ke tetangga depan rumah. Ramai- ramai apalagi bila Senin malam ada film polisi di jalu cepat AS, Chips. Eric Estrada menjadi idola apalagi bila ia mengejar perampok dengan sepeda motor besarnya.
Sambil melipat kain mama mengajak saya duduk. Supaya saya ikut bantu. Dan Mama bercerita apa yang saya suka. Bisa terjadi cerita mama membatalkan saya menonton.
Termasuk malam ini. “Papa itu dulu sekolahnya tinggi,” kata Mama.
Dimana? Mengapa tidak jadi dosen? Mengapa Papa mengaku tidak sekolah?
“Mungkin karena berdagang di Duri, memang tidak butuh ijazah sekolah,” mama hanya menjawab pertanyaan terakhir saya.
Nyatanya memang begitu. Apalagi Duri adalah kota buruh. Sekolah masih sedikit, dan tak ada pendidikan tinggi. Itu mungkin sebabnya, lanjut mama.
Ini buktinya, Mama memerlihatkan satu foto lama. Papa berada di Ciloto tahun 1963, dan ikut mengheningkan cipta bersama Kepala Kopem saat Presiden AS, Kennedy terbunuh.
Saat penutupan Kopem, papa duduk paling belakang, sebelah kanan foto. Tampak sekali gagah wajahnya, mendongak sedikit mendengar pengantar Kepala Kopem, Suharlan.
Oh. Luar biasa. Papa sekolah ke Jawa? Apa itu Kopem? Mama asyik dengan kain yang belum dilipat. “Kalau tidak salah Komando Operasi Pemberantasan Malaria, diresmikan Soekarno dan kini menjadi tonggak hari peringatan Kesehatan Nasional.”
Papa harimau yang menyembunyikan kuku. Ia ternyata orang berpendidikan yang mengerti banyak Minangkabau. Lalu mengapa Papa tahun 1960-an ?
“Tunggu Papa dari Bukittinggi, bila ia pulang,” pinta mama cerita lengkapnya***