logo mak-adang.com

Novel 2 (27): Penutup.

 Dr. Andi Mulya, S.Pd., M.Si.     19/02/2023    Novel Tragedi Bunga Setangkai   143 Views

 

SMP 2 dan SMA 1 Sebanga (1989).
IKIP Padang dan menjadi wartawan di Jakarta (1999).
Tak satupun penuntut ilmu tak diuji kala ia telah lulus. Itulah papa. Usai lulus sarjana muda ekonomi Universitas Andalas, papa berhenti bekerja di Toko Gema. Mama sudah dibawa nenyewa rumah kecil di Padang,
Papa beroleh makan penyambung hidup dan selembar ijazah selama empat tahun bekerja di toko itu. Pernah pula papa sedih bukan main. Saat mama mengalami keguguran. Tidak tahu kemana akan bertenggang. Kemudian lama mama baru hamil lagi, yakni lima tahun setelah dikuret.

Untuk bertahan hidup di Padang, papa berdagang kain batik di kaki lima. Tapi tidak mudah memulai usaha sendiri. Tidak ada untung sehari penuh. Akhirnya uang modal laku kemaren yang dipakai untuk makan.
Pernah pula papa dipercaya membawa tekstil impor dari Singapura melalui Dumai. Sampai di Padang harus diseberangkan dengan kapal dari Teluk Bayur ke Tanjung Priok.
Hanya berhasil satu kali, yakni saat kapal berangkat, dari Padang ada satu aparat negara berseragam, yang juga mau ke Jawa.
Tapi kali kedua, barang disita, dan papa harus membayar. Sehingga untung dari jasa antar barang itu, untuk biaya hidup sebulan di Padang, habislah di perjalanan.
Bertahan di Padang sampai satu tahun lebih, tahun 1970, papa memutuskan pindah ke Duri. Tiada lain atas saran sohibnya Pak Natsir Jamal, yang telah dulu membuka toko tekstil AUNA di Duri dan Dumai.
Perjalanan dua hari dua malam, menyeberang de-ngan feri. Papa sampai di Pekanbaru. Kemudian dari Pekanbaru, ada induk semang yang ditemui untuk meminjam barang dagangan. Setelah laku baru dibayar.

Tiba petang hari di Duri. Satu orang Rao-Rao Rao terkejut, benarkah papa mau manggale? Berdagang. Bukankah selama ini sudah ternama sebagai anak sekolah. Keputusan papa untuk putar haluan, dari bekerja atau pegawai pemerintah, menjadi pedagang dapat dipahami. Dan itulah jalan hidup papa.
Papa rugi satu tahun saat masuk SMP Islam Batusangkar, karena masa pendidikannya empat tahun. Kemudian rugi pula satu tahun saat mengambil Fakultas Hukum (FH) Universitas Andalas, yang tutup di Lintau.
Usai bergolak, papa rugi lagi setahun karena terdampar di Pengungsian Tanah Baru yang dikuasai partai terlarang.
Sewaktu pindah ke Payakumbuh, tersebab tidak ada ijazah atau surat keterangan tadi, papa terpaksa mengulang di SMA Sore. Kata Papa, andai saat FH di Lintau ditutup, Papa lalu mendaftar ke FH pusat yakni di Padang, mungkin papa langsung melanjutkan ke semester 3. Sebab masih ingat dosen-dosen yang mengajar di Lintau dulu, kini mengajar di Padang.
Kemungkinan itu ada. Tapi kendalanya di masa ekonomi negara sulit itu, adalah biaya. Umak tidak punya hasil sawah ladang yang cukup.

Jadi ada empat tahun papa rugi umur untuk dapat ijazah SMA.
Usai masuk IKIP Padang, papa kehilangan satu tahun masa pendidikan lagi. Terkait papa mengikuti pendidikan Kopem di Ciloto, 1964.
Ikhtiar papa tidak terhenti. Walau harapan menjadi tenaga Kopem batal, akibat Indonesia keluar dari PBB, papa bekerja sambil kuliah sore. Yakni Ekstensi Fakultas Ekonomi Unand.
Dalam pendidikan papa beroleh jodoh. Menikah dengan persiapan yang minim, baju dan jas yang dipinjam. Tak lama kemudian papa diangkat menjadi penghulu di kaum Poruk Nan Godang, Koto Kaciak.
Di usia 30, walau ada ijazah sarjana muda Ekonomi Unand, papa memutar haluan hidup. Berdagang di Duri sejak 1970.
Sang waktu memang cepat berlalu. Kini sudah 50 tahun kami di Duri. Tiga orang adik, yakni Efa Riani Fakhri, Fitri Yati, dan Zikra Fathia, lahir dalam masa perantauan itu. Cuma satu ada yang lahir di kampung, saat Mama pulang kampung usai kebakaran itu.
Bila dalam novel kedua ini, saya bercerita tentang kehidupan di Duri sampai tamat SD Center. Di Novel ketiga nanti saya akan ceritakan tentang kisah di SMP 2 Simpang Padang. Disebut juga SMP SMEP. Dijuluki pula SMP ‘kandang ayam’ karena gedungnya yang buruk, nampak dari pinggir jalan lintas Sumatera dari Medan ke Pekanbaru itu.
Setelah itu saya masuk SMA Negeri 1 Sebanga Duri. Kemudian langsung di terima di IKIP Padang. Sekali tes, lulus pula masuk Pascasarjana Universitas Indonesia. Dan kini menyelesaikan program doktor di Universitas Negeri Jakarta.
Bila papa rugi empat sampai lima tahun di masa sekolah dan kuliahnya, saya wisuda di usia 23 tahun. Lahir 5 Januari 1971, dan lulus 9 September 1994.
Setahun menjadi wartawan di Riau, saya pindah menjadi wartawan di Bisnis Indonesia di Jakarta. Konon saat teman dan senior lain masih sulit mengadu untung menjadi guru honor di Jakarta, saya sudah menjadi pembela adik-adik. Ikhtiar cepat bekerja karena memang membantu papa dan mama. Papa kala itu sudah sulit jobali (jual beli/pemasukan) di pasar. Sebab Duri makin sepi. Pedagang asal nagari kami banyak pindah ke berbagai daerah, sampai ke Jatim.
Masuk SD lebih cepat, lulus tanpa jeda, menulis di koran Sumbar dan Jakarta, lalu segera bekerja setelah tamat.
Setelah bekerja, satu-persatu adik-adik terbantu pendidikannya. Teti di bawah saya diangkat jadi ASN kebijakan terakhir. Sebab usai itu, lulusan SPK Negeri Pekanbaru tidak otomatis diangkat sebagai PNS.
Efa kuliah di Unri, sedang Fit saya ajak tinggal menyewa rumah petak di Slipi Jaya. Efa akhirnya jadi ASN di Riau. Pit yang lulus SMA, enam bulan di Jakarta langsung diangkat menjadi ASN di Depertemen Pertanian. Keduanya sudah strata pendidikan S2. Satu adik lagi Ira juga lulus sarjana.
Ternyata jatuh bangun papa sekolah di masa darurat tak sia-sia. Allah Swt yang menunjukkan 25 tahun kemudian. Tiga adik saya adalah pegawai pemerintah. Saya mestinya juga menjadi guru SMA di Sumbar. Tapi tidak jadi mendaftar walau sudah beroleh Tunjangan Ikatan Dinas. Jadi 4 dari 5 tahun kuliah S1, saya beroleh beasiswa.
Satu yang menggembirakan papa. Bahkan papa pernah menangis di depan satu keponakannya saat saya kuliah tahun ketiga. Dewan Da’wah Padang kala itu menugaskan berkeliling ke masjid-masjid di Duri, termasuk Masjid Jami. Selain naik ke podium, saya juga membagikan potongan koran tentang perjalanan ke Mentawai.
“Lah lapeh panek stek,” artinya sudah terbayar lelah sedikit, kata papa berulang-ulang sambil meneteskan air mata. Kemenakan papa itu bercerita juga menangis. Mungkin karena sejak kecil memang papa yang membesarkannya. Bisa pula karena tahu bagaimana batin papa.

Hanya sayup-sayup terdengar, saat SMA, teman papa bercerita bahwa Baihaki Hakim, adalah teman sesama sekolah di Batusangkar. Bil, begitu teman-teman memanggilnya, kala itu menjadi Dirut Caltex.
Dapat dimaklumi bila papa tak pernah bercerita kala itu. Pegawai Caltex di Duri saja sudah dianggap tinggi dalam pergaulan masyarakat Duri. Anak-anak Caltex yang belajar di Sumbar, juga dianggap kaya.
Tapi papa punya sejarah masa sekolah yang sama dengan Dirut Caltex. Mungkin saja Bil sudah lupa teman-temannya. Tapi papa merasa tidak perlu pula menyebutnya. Kehidupan pedagang, apalagi saat yang sulit, dengan Dirut tersebut bagai bumi dan langit.
Dari perjalanan kisah keluarga ini, saya teringat satu kata bijak. Sejarah selalu berulang.
Mulai dari perjuangan sekolah Mak Adang R. Azinar, sampai ke papa yang memang Mak Adang pula. Akhirnya jatuh ke saya, anak laki-laki terbesar dari cucu Mak Tuo dari empat anaknya yang perempuan di Piliang. Itu sesuai garis keturunan matrilineal, dari Ibu.
Kini roda bergulir ke saya. Sejak lepas SMA tahun 1989, perjuangan pun dimulai. Saat lulus sebagai mahasiswa IKIP Padang, ada yang berkata: “oh di IKIP, “ Sebab dia mengira pertanian atau kedokteran.

Dia tidak tahu bahwa potensi fikir otak manusia jauh lebih besar dari apa yang disediakan sekolahnya. Jalan hidup membuktikan bagaimana beroleh ilmu dan kebijaksanaan. Di sanalah nilai manusia.
Sebaik-baik kamu adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Demikian satu mahfuzod, kata-kata mutiara Arab.
Sekelumit dengan menulis dan menjadi wartawan, saya merasakan indahnya pengabdian sebagai anak tertua, lelaki satu-satunya, pada mama dan papa.
Dengan menulis pula saya menyusun 30-an buku berbagai berbagai jenis. Dengan novel pertama: “Mak Adang dari Nagari Keramat,” saya mempertautkan silaturahim, sekaligus menunjuk ajar hal yang pantas dan patut.
Dengan menulis pula, saya menunaikan janji menulis kisah keluarga dI Duri, terutama tentang papa. Dimana saat ini belum ada satu buku pun yang bercerita kisah keluarga di kota tersebut.
Selamat bila telah mengikuti semua kisah ini. Semoga bila ada umur panjang, Novel ketiga perjuangan keluarga Mak Adang bisa terwujud.
Aamiin, aamiin, ya rabbal’alamin. ***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terkait