Waktu yang ditunggu-tunggu pun tiba. Papa pulang Ahad pagi setelah perjalanan pulang pergi membeli barang ke Bukittinggi. Pada lazimnya Papa datang subuh hari. Barang akan diantar pegawai bus Sinar Riau ke Toko sekitar pukul 07.00.
Akan tetapi belum ada kesempatan Papa untuk bercerita tentang pengalamannya mengikuti kegiatan Komando Operasi Pemberantasan Malaria (Kopem) di Jawa. Tepatnya di Ciloto, Puncak, Kabulpen Bogor, atau orang Minangkabau menyebutnya hanya Jawa.
Hari-hari setelah membeli barang sangat sibuk. Papa dibantu anggota melayani pembeli yang datang cukup ramai pada hari Ahad dan di bulan baru. Juga kesibukan menata barang-barang yang akan dijual.
Kesempatan terbaik itu ada pada Malam Ahad. Papa mengatakan ada acara Ikatan Keluarga Rao-Rao (Ikrar) di rumah Pak Ramli Yasin. Ikrar Mandau, begitu namanya, akan melaksanakan rapat umum. Musyawarah yang berisi pidato -pidato, pengajian, serta ditutup makan mie goreng enak kala rapat usai.
Papa membawa saya sebagai Ikrar Muda. Gembira karena semua perantau hadir. Mereka umumnya pedagang di Pasar Swakarya.
Singkat cerita, pada petang Sabtu saya sudah bersiap-siap sejak magrib di rumah. Papa kemudian pulang. Setelah itu mengajak saya untuk berangkat menuju tempat acara.
Letaknya tidak terlalu jauh, yakni di Jalan Pertanian. Mulai dari rumah petak sewa, melewati tempat mengaji, lurus ke arah Tanah Lapang. Di kanan ada jalan ke pasar. Terus ke Balai Pengobatan yang bercat putih yang juga jalan menuju pasar.
Kemudian ada beberapa rumah kayu penduduk asli atau pertama di Duri yang kondisinya yang sangat sederhana. Tidak ada pondasi, beratap seng, kayu susun sirih, dan tidak di cat. Lebih mirip seperti pondok. Sebagian yang tua tampak agak miring dindingnya.
Setelah itu akan tiba di jalan kecil ke Tanah Lapang. Pada malam hari jalan ke tanah lapang cukup terang. Banyak pula orang yang lewat menuju atau kembali dari pasar.
Kala itulah kesempatan saya untuk bertanya kepada Papa tentang pendidikan Kopem Cilotonya. Saya lalu bertanya kisah Papa sampai ke sana.
“Oh itu,” sambut Papa. Matanya memandang ke tanah yang kuning, diantara bayang-bayang malam.
Waktu tinggal di Koto Marapak, Padang, cerita Papa, seorang tetangga memberi peluang menjadi tenaga ahli kesehatan di bawah Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Mukhlis, nama teman itu, beroleh informasi dari Sahar B.Sc, ketua Kopem Sumatera Barat, yang tiada lain masih kerabatnya.
Papa tertarik, karena selain pendidikan gratis berasrama di Ciloto, juga diberi uang saku Rp 200 per pekan, selama empat bulan. Setelah lulus, semua akan memegang satu kabupaten setara kepala Dinas, se Sumatera Barat.
Papa mengatakan bahwa itu peluang merubah nasib yang lama diidam-idamkan. Dengan senang hati Papa menerima tawaran tersebut. Tak lama papa dinyatakan lolos, berhak mengikuti pendidikan bersama 10 orang utusan dari Sumbar.
Sepekan menjelang berangkat Papa pulang menjenguk nenek atau papa memanggilnya Umak, di kampung. Nenek setuju, penuh haru berharap Papa berhasil di Jawa.
Usai itu, papa memberitahu Kakek Ahmad Sutan Marajo yang masih berada di Lintau. Papa menulis sepucuk surat yang yang dialamatkan ke Kantor Wali Nagari Lubuk Jantan, Lintau.
Menurut Papa, suratnya hanya memberitahukan bahwa akan ke Jawa mengikuti pendidikan Kopem PBB selama 4 bulan. Akan tetapi secara tidak disangka, kakek tiba-tiba datang ke Koto Marapak, Padang, sehari menjelang keberangkatan.
Kemudian kakek ikut melepas keberangkatan dengan kapal Tampomas. Dari jauh kakek tampak haru berdiri bersama ratusan pengantar keluarga penumpang.
Suitttttt…Peluit kapal dibunyikan tanda kapal siap berangkat. Kapal bergerak meninggalkan dermaga.
Jalannya sangat lambat. Papa tidak mampu menahan derai air mata. Kakek tampak melambaikan tangan melepas kepergian anak pertama kali merantau jauh.
Oleh papa terbayang bagaimana perjuangan kakek berangkat dari Lintau ke Padang. Persoalan ini sangat mengiris hati. Kakek sejak dahulu tidak pernah mau perjalanan jauh dengan mobil. Ia mudah mabuk, ataupun pusing dan berbagai gangguan karena terkena wasir.
Pada zaman Belanda dan Jepang, apalagi situasi darurat, Kakek memilih berjalan kaki enam sampai delapan jam dari kampung Nagari Keramat ke Lintau.
Termasuk satu kali, di masa kanak-kanak, papa pernah dibawa berjalan kaki, untuk berdagang atau melihat nenek. Suatu kali Papa tidak kuat berjalan. Kakek malah menggendongnya di atas bahu, kaki menggantung di dadanya sedang tangan Papa memegang rambutnya.
Kenangan itu sangat tidak terlupakan karena kakek begitu ikhlas papa bertengger di kedua bahunya. Kakek menyebutnya dengan bajolong. Kira-kira artinya anak digendong dengan menduduki tubuh ayahnya.
Tubuh dan bahu itulah yang melambaikan tangan kepada Papa di atas kapal yang makin menjauh.
Papa mengurut dadanya yang bergemuruh. Entah siapa yang punya gagasan, saat lambaian ratusan tangan, termasuk kakek yang kian jauh itu, administator Pelabuhan Teluk Bayur memutar lagu yang terkenal karya Erni Johan.
Selamat tinggal Teluk Bayur permai. Aku pergi jauh ke negeri seberang. Kuharapkan suratmu setiap minggu.
Tatkala tiba bait: “lambaian tangan mukul, rasakan pilu di dada,” air mata papa tumpah tak terbendung. Membasahi ransel Kopem yang dibagikan menjelang bertolak dari Padang.
Ditambah lagi : “kasih sayangku bertambah padamu.” papa tak sanggup lagi melambaikan tangan membalas lambaian tangan kakek. Teringat sejak kecil, kakek membawa Papa kemana pergi, walau ia punya istri baru di Lintau.
Teringat pula jalan pulang kakek melewati Lembah Anai yang berbelok-belok. Juga naik turun bukit dari Batusangkar ke Lintau, yang tidak mudah baginya.
“Ayo, nanti kita sambung,” kata Papa mengakhiri kisahnya.
Di depan sana, lanjutnya, rumah Pak Ramli Yasin sudah dekat.
Kemudian sampai pukul 24.00 atau kami menyebut jam 12 malam, rapat Ikrar Mandau itu selesai. Malam ramai oleh sendok dan piring mie goreng beradu karena makan lahap yang dimasak etek-etek Ikwar. Etek artinya tante atau adik ibu, sedangkan Ikwar singkatan Ikatan Wanita Rao-Rao.
Yang saya ingat hanya dua hal. Satu papa mengajarkan berorganisasi dan peduli kampung halaman, karena ia ketua Ikrar Mandau kala itu.
Kedua, kakek yang melambaikan tangan melepas papa di Kapal Tampomas.
Bagaimana perjuangan papa di Ciloto? Mengapa papa tidak bekerja di kantor gubernur atau Dinas kesehatan? ***