Sampai naik kelas 5 SD Center, kami masih tinggal di rumah petak Jalan Obor. Kemudian pindah ke depan Masjid Aljihad jalan Obor III.
Kehidupan masa kecil di rumah petak penuh kenangan. Gembira sekaligus haru. Gembira karena semua olahraga dan permainan dimulai di sini. Haru karena persaingan berakhir dengan perkelahian.
Ada hubungan yang putus sangat lama. Padahal sebelah rumah. Bedanya ia punya rumah sendiri, sedang kami menyewa rumah petak. Ada Won dan Hon, dua saudara usia di atas saya. Tapi kabarnya ia pernah tinggal kelas.
Dia bagai patron dan mengumpulkan anak-anak yang jadi anak buahnya. Dengan Zan dan Ed yang dia asuh, saya beberapa kali berkelahi.
Bila ada anak baru pindah, ia ajak pula bergabung. Keluarga dengan corak hubungan dengan tetangga yang buruk. Suka merendahkan. Kebetulan ayahnya Caltex dan punya rumah.
Dengan atau tanpa Won dan Hon bersaudara, saya beberapa kali cekcok dengan anak buahnya. Ada yang menang ada pula yang kalah. Berkelahi gaya anak-anak berani-berani sebentar saja.
Saat itu perguruan karate di Komplek Caltex sedang tumbuh marak. Tapi saya tak hendak ikut beladiri asal Jepang tersebut. Bela diri yang saya ingin hanya silat. Apalagi Nagari Keramat Rao-Rao bertetangga dengan Kumango, pusat aliran silat ternama itu.
Dari mulut ke mulut saya dengar kehebatan pendekar Kumango. Begitu pula ada film Harimau Campa yang sangat legendaris. Kumango tidak saja memuat bela diri dalam silatnya yang lincah dan licin serta banyak tipuan, tapi mendasarinya dengan tauhid. Guru utamanya Syech Alkalidi Kumango malah dianggap sebagai wali Allah.
Silat diartikan sholat, hubungan dengan Allah Swt. Silat kemudian juga diartikan silaturrahim, hubungan baik dengan manusia.
Satu siang, mama bercerita bahwa Papa pandai bersilat.
Ha.. Benarkah?
Bukankah papa tak suka bertengkar. Malah banyak mengalah.
Iya begitu pembawaan papa. Sebagai penghulu kaum tidak mungkin tidak belajar silat. Silat adalah syarat setiap laki-laki Minang. Apalagi papa berasal dari Koto Kaciak. Sumber para pendekar dan pejuang sejak dulu.
Saya bertanya mengapa papa tidak mengajari saya silat Kumango?
“Tak ada waktu,” jawab papa. Ringkas. Entah apa alasan sebenarnya.
Saat libur caturwulan 1, papa mengajak saya ke kampung. Saat itu rumah gadang di Koto Kaciak sedanh diperbaiki. Sebagian masih terlihat dinding kayu surian yang masih baru. Bila kita mendekat tercium bau kayu jati unggulan Sumatera itu. Sangat harum. Di bagian dalam ada lapisan triplek di dalamnya.
Waktu itu satu kemanakan papa sedang baralek. Empat hari tiga malam berada di kampung. Siang hari saat baralek kami ke Koto Kaciak. Malam lalu pulang ke Piliang, rumah Mak Tuo. Saat itu ada Tek Mar dan satu anak laki-lakinya.
Kali ini puas berkeliling di kampung. Tidak hanya ke Sungai Jariang, Sungai Jambu, Sungai Luang, serta sawah ke arah Tabiang Runtuah, kala dulu bersama Al. Tapi juga berkeliling Kota Kaciak, rumah Bako atau keluarga Ayah.
Papa mengajak berjalan kaki dari pintu masuk Bawah Cubadak, lalu ke Jembatan Datuk Majo Indo, terus ke Surau Tabiang, dengan kolam ikan di sisi kirinya. Surau inilah yang disebut Surau Suhada, mengenang dua pahlawan Revolusi Jumhur Jamal dan Mukhtar Said. Orang tidak lagi ingat dua nama itu. Padahal Suhada adalah sejarah. Dan Insya Allah keduanya mati syahid membela tanah air dari penjajah yang kapia.
Lalu terus ke arah Sungai Ririak yang air mata airnya bak menganak sungai.
Rumah papa tak jauh di pendakian, setelah melewati rumah Uda Nitra Arsyad, di sebelah kanan. Melewati satu rumah gadang uda Yon, lalu rumah Uni Junaida, rumah gadang papa di sebelahnya.
Menghadap ke arah Talago. Di belakang, ada jendela dengan pemandangan sawah dari Surau Suhada sampai ke arah Surau Baruah. Di ujung sana nampak Balai Sotu, pasar tradisional yang ramai sejak dulu.
Sewaktu papa masih kecil, sekitar tahun 1948, di belakang rumah papa itulah terjadi penembakan oleh Belanda hitam. Mereka disebut hitam karena asalnya dari Gurkha, yakni sebagai tentera bayaran. Sebagian ada yang berlogat Madura.
Korbannya adalah Pak Nurdin. Kala itu Belanda datang dari Talago, yakni perbatasan Nagari Keramat dengan hutan ke arah Sumaniak. Berbeda dari sebelumnya, dimana mereka berkonvoi dari Batusangkar melewati jalan utama menuju Bukittinggi.
Sekali dia bergerak dari Kota, di Gunuang-Gunuang, tanda perbatasan dengan Pasia Lowe, akan diketahui sampai ke Koto Kaciak dan seluruh Rao-Rao. Sebab Tuak Amek Gadang Uriak akan membunyikan puput besar dari tanduk kerbau. Bunyinya melengking, dan menghiba-hiba, tanda penduduk harus ijok, atau bersembunyi. Lari ke Bukit Sibumbun.
Tapi kali ini Belanda tiba-tiba muncul saja dari persawahan tempat lalu penduduk ijok. Sehingga situasi pemuda dan bapak-bapak yang hendak melarikan diri, menjadi kacau.
Tak lama setelah kampung lengang, hanya orang-orang tua dan anak perempuan yang bersembunyi di rumah, Pak Nurdin tak tahu Belanda hitam, masuk Koto Kaciak.
Karena terkejut ia pun melarikan diri. Belanda tak ubah bagai binatang buas di ladang perburuan, tidak menyia-nyiakan kesempatan itu.
Nurdin dikejar. Tidak bisa menangkapnya, door.. Peluru meluncur seiring dengan badan Pak Nurdin yang melayang ke Sawah Panjang di bawah. Kemudian diketahui dada Nurdin terkena peluru itu. Syukurnya ia berhasil merangkak ke rumput-rumput tinggi yang menutup tebing pinggir sawah.
Ia bertahan dan baru keluar setelah Belanda betul-betul sudah pergi. Pak Nurdin dibawa ke Puskesmas di gudang. Bidan yang merawat tidak memiliki antibiotik yang cukup. Kemudian seorang adik seayah dengan Kakek Ahmad Sutan Marajo yang memberi obat buatan sendiri. Namnya Pak Rasyidin Pirolin.
Saat itu Pak Nurdin selamat. Kemudian membuka usaha bengkel perabot di Balai Sotu. Sekitar tahun 1970 ia wafat meninggalkan istri dan beberapa orang anak. Pak Nurdin adalah orang Koto Kaciak ketiga yang wafat di era perang kemerdekaan di ujung peluru penjajah Belanda.
Saat peluru menyalak mengenai dada Pak Nurdin itu, papa masih kanak-kanak. Langsung menjadi saksi mata dari rumah gadang bagaimana peristiwa itu.
Jadi, lanjut papa, Koto Kaciak paling merasakan sakitnya penjajahan.
“Ayo kita ke Sungai Ririak, menjak ayia,” ajak papa. Maksudnya mengambil air wudhu. Azan zuhur sudah terdengar dari kejauhan nun di ilia (hilir) arah Kumango sana.
Jalan ke Sungai Ririak melewati jalan-jalan kecil, diantara rumah gadang. Setelah tiba di jalan aspal semen, terusan dari Surau Suhada, berbelok ke kanan.
Tak jauh dari situ, ada tempat yang disebut Congkong. Dulu di Congkong ada lepau kopi, yang banyak orang duduk minun kawa, usai pulang dari sawah. Secara tekstual minun kawa berarti minum kopi, asal katanya kahwa dari bahasa Arab. Akan tetapi kini maknanya menjadi luas. Lebih berarti makan pagi. Sarapan.
Papa lalu ingat bahwa Congkong inilah salah tempat bersejarah bagi orang Koto Kaciak. Pasalnya waktu papa berusia sekitar sembilan tahun, terjadi pertarungan Lian Nulla, asli Koto Kaciak dengan Malin Marajo.
Malin marajo adalah pendekar silat Kumango, sekaligus anak Syech Alkalidi, pendiri silat legendaris itu. Kemudian hari Malin Marajo menjadi pemenang medali emas, Pekan Olahraga Nasional (PON) II di Solo.
Malin Marajo satu-satunya penyumbang emas dari Sumatera Barat. Pertama kali pula pencak silat masuk PON kala itu. Wajah dan gaya silatnya hingga kini bisa diikuti dalam film Harimau Campo.
Entah karena cekcok masalah apa, jelas papa, tiba-tiba Lian Nulla sudah berhadap-hadapan dengan Malin Marajo di depan kedai kopi.
Sekitar pukul 10.00 pagi kala itu, papa sedianya mau ke Talago melihat sawah. Tapi langkah papa terhenti karena kedua pendekar sudah turun ke Congkong. Tampak sikap pasang silat Kumango nya, siap saling intai dan serang.
Dari tingkatan ilmu, kata Papa, Lian Nulla jauh dari Malin Marajo. Tapi Lian Nulla adalah pemberani dan tak mundur sebelum diuji.
Orang-orang yang menyaksikan juga tidak banyak. Sebab pada jam itu orang banyak turun ke sawah.
Perkelahian dua pendekar itu berakhir Lian Nulla tampak terkena tendangan pamungkas Malin Marajo di dada kiri. Tak lama setelah peristiwa itu, Lian Nulla wafat.
Namanya tetap dikenang sebagai pendekar terbaik dari Koto Kaciak.
Dari pada hidup bercermin bangkai….lebih baik mati berkalang tanah…
Perjalanan saya dan papa terus ke Sungai Ririak. Melewati pohon-pohon tinggi di kiri kanan jalan. Udara sejuk di Baluka, yakni tanah pemakaman orang Koto Kaciak. Dulu terkenal agak angker.
Lalu menurun sedikit. Sungai Ririak sudah terlihat.
Nah, kata papa, dari pematang sawah ini dulu Tuan Kodin luka-luka lari dari kejaran Jepang. Tuan Kodin adalah lelaki serumah gadang dengan papa. Pada hari tuanya dia tinggal di Payakumbuh. Ia beroleh pensiun dari pemerintah karena tercatat sebagai pejuang kemerdekaan.
Konon di masa Jepang, ia mengukir satu peristiwa heroik. Mirip seperti peristiwa hotel Yamoto di Surabaya. Dimana pemuda menaiki tiang bendera lalu merobek bendera Belanda yang biru. Dan menyisakan merah putih saja.
Tuan Kodin pernah memanjat tiang bendera, saat Jepang menembakinya. Ia terus naik dan merobek bendera Jepang. Ia terkena tembakan, tapi tidak menyerah
Lari dan lolos dari kejaran Jepang.
Kata papa, Tuan Kodin tidak pernah belajar ilmu kebal, juga silat Kumango. Akan tetapi ia terkenal sangat berani. Keberaniannya yang membuat orang takut kepada Tuan Kodin.
Pernah suatu kali, kata Papa, Tuan Kodin pulang melalui Bukit Sibumbun. Orang awam umunya menempuh jalan yang pasa, atau jelas dan terang. Tapi Tuan Kodin tidak. Ia masuk ke hutan yang berbahaya. Berani dan selamat.
Konon saat satu kali di Sungai Ririak itu, ia bertemu dengan Tentera Jepang. Naas ia dikejar dan masuk hutan. Saat itulah sekali saja, muka dan badan Tuan Kodin luka-luka terkena duri yang tajam.
Itu sebabnya, jelas papa, dari dulu Koto Kaciak disebut kampung Aceh. Konon penguasa Balai Sotu, agar aman, dipegang oleh orang Koto Kaciak.
Ada pula yang menambahkan bahwa orang yang berani mempersunting gadis Koto Kaciak, juga orang yang tokoh ternama, atau pendekar besar pula. Wallahu alam.
Selain menjadi kampung orang bagak, yakni berani, Koto Kaciak juga memiliki seniman hebat. Pemain biola sejak zaman Belanda ada di kampung ini, bernama Rasyad Sinsai. Bila ia menggesek biola di Balai Sotu, orang berkumpul untuk menonton. Tak bergerak sampai habis membawakan lagu-lagu Minang yang sedih. Terutama di acara Tonel yakni sandiwara di Balai Sotu. Kala itu Tuan Bukhari Bakri jadi sutradaranya.
Sedangkan Mak Etek Toya adalah pemain talempong yang andal. Ia memegang tiga talempong di tangan kiri. Tiga lainnya di jepit di kaki.
Gerak tubuhnya memukul talempong sangat indah. Begitu pula bila ia pindah irama dari satu lagu ke lagu lain.
Sementara seniman lain yakni Nangsarge, peniup puput serunai dari batang padi. Bunyinya melengking jauh, tapi dipadu oleh suara bass karena dibalut daun kelapa muda yang melingkar, pas seperti terompet.
Ada satu seni lain yakni batintin. Dari koto Kaciak pemainnya adalah Mak Etek Toya, Suli, Si Nang, dan Anak Ande.
Tim dari kampung, Nagari Keramat ini, pernah diundang menampilkan Batintin di siaran nsional TVRI.
Jadi Koto Kaciak sumber ahli seni bela diri dan musik.
Apakah hanya kelas kampung? Ya di tingkat lokal, karena orang tidak mempertandingkannya kala itu.Tapi tidak ada yang mampu membantah kisah-kisah ini.
Orang Koto Kaciak sudah terbukti penakluk banyak gelanggang. Tidak di Sumatera Barat. Tapi sampai ke Jawa, Bali, NTB, dan Banda Naira.
Siapa dia?
Ahmad Mangkuto Dirajo yang dikenal dengan Datuk Baru. Ia lahir sekitar 1920 dan dilewakan sebagai penghulu tahun 1966. Saat pesta adat Datuk Baru mengadakan perayaan besar membantai seekor kerbau. Sejak itulah lekat namanya Datuk Baru. Sebab sangat khusus acara itu. Datuk yang mana? Datuk Baru, maksudnya yang baru memotong kerbau itu.
Walau berbeda rumah gadang, tapi Datuk Baru, masih dalam kaum Poruk nan Godang, sama dengan papa. Berhubung ia lebih tua, papa dipanggilnya adik.
Sewaktu saya pertama berjumpa Datuk Baru di Pekanbaru, ia menolak dipanggil bapak.
“Kalau waang anak Datuk Sahih, baaya ka den?” tunjuknya. Dia menyuruh saya memanggil Ayah kepadanya, karena secara adat kakak-beradik dengan papa.
Bagaimanakah petualangan Datuk Baru?
Di waktu muda ia dipanggil Ahmad Padang. Tidak ada daerah yang dilaluinya sampai ke Indonesia Timur, tanpa berlaga atau bertarung.
Caranya mempertahankan hidup di rantau adalah dengan berkelahi. Konon bila ia kalah, ia akan berguru pada lawan tandingnya itu. Sementara dimana ia menang, ia akan membuka sasaran/gelanggang Silat Kumango.
Pertarungannya yang paling ternama terjadi di Bali. Kala itu di Kabupaten Karang Asem ada satu guru silat dengan murid yang banyak.
Selain itu, Ahmad Padang juga tahu sang guru memiliki delapan anak gadis.
Ahmad Padang datang langsung menantang sang Guru. Perjanjiannya bila ia kalah, maka ia akan berguru dan mengabdi sebagai pesuruh di perguruan itu.
Tapi sebaliknya, kata Ahmad Padang, andai ia menang, ia berhak menyunting salah satu anak gadis sang Guru.
Untung bagi Ahmad Padang, guru itu pun ia kalahkan. Nasib baik pun terwujud, ia menjadi guru bagi banyak murid di Karang Asem. Sekaligus memperistri Mariyati, gadis yang ia pilih dari delapan bersaudara.
Puncak dari nama baiknya, adalah tahun 1948, pada PON kedua. Ahmad Padang terpilih mewakili Propinsi Bali di cabang Pencak Silat.
Di babak final, Ahmad Padang berhadapan dengan Malin Marajo, pendekar dari kampung halaman sendiri, sekaligus membawa nama Sumatera Barat.
Dalam kalkulasi keahlian silat, Ahmad Padang bisa menang dari Malin Marajo. Sebab ia dipanggil Uda oleh Malin Marajo karena lebih dulu berguru kepada ayahnya.
Bila Ahmad Padang mengalahkan Malin Marajo, muncul rasa bersalahnya, karena Malin adalah anak kandung gurunya.
Kedua rasa kebanggaan Ahmad Padang kepada Minangkabau tetap berkobar. Ia memilih kalah dan berlaga asal-asalan melawan Malin Marajo.
Pada akhirnya Malin Marajo menang. Sumbar beroleh satu emas, kebanggaan masyarakat dan propinsi ini. Sejak itu pengakuan bahwa Sumbar adalah sumber aliran silat terbanyak se-Nusantara pun melekat. Berbagai ahli bela diri dalam dan luar negeri, termasuk peneliti asing, datang dan belajar silat di Sumbar.
Ahmad Padang kalah. Tapi di dadanya tersimpan kemenangan setinggi gunung: ikut membela dan memenangkan adik perguruannya di PON. Kisah yang tidak pernah terungkap sejak dulu.
Keberanian Ahmad Padang juga ternama di kampung, ketika ia sendiri dengan tangan kosong membawa Mamak kandungnya dari tahanan politik Banda Naira. Tidak sembarang pendekar bisa melakukan itu. Namun kisah dan sejarahnya belum banyak dicatat orang.
foto erimen
Demikian pula suatu kali, ia membunuh dua tentera Jepang di Batusangkar. Padahal pendekar Kumango tidak pernah membawa senjata apapun. Jepang lengkap dengan samurainya. Namun kisah ini hanya sepotong pendek diketahui. Siapa saksi mata dan bagaimana deskripsi kisahnya tidak ada yang tahu.
Sampai hari tuanya, Ahmad Padang membawa istrinya Mariati, yang telah memeluk Islam dan tinggal di Nagari Keramat.
Ia memiliki istri dimana ia membuka perguruan atau daerah taklukan. Sehingga satu kali seorang perwira polisi datang dari Bima. Menggunakan bus pariwisata mewah, mereka datang ke Nagari Keramat ini dengan keluarga besarnya.
Ternyata yang datang adalah anak dari Ahmad Padang Datuk Baru, yang lahir saat ia meninggalkan negeri.
Papa mengatakan bila waang besar, tulislah kisah Datuk Baru itu. Kalau perlu pergi ke Bali, Bima, dan semua tempat yang dia kunjungi. Mungkin kalau diceritakan oleh orang yang ahli, lebih menarik dari film Bruce Lee yang kini banyak ditonton di bioskop-bioskop di tanah air kita. Hoohh.
Setelah tiga malam di kampung, saya dan papa kembali ke Duri. Juga melalui Bukittinggi terlebih dahulu.
Ketika itu mobil sudah melewati masjid Raya, Durian Basiku, dan naik ke Bukit. Papa lalu berkata: “Itu sebabnya papa tidak mengajarkan Waang silat Kumango.” Waang atau Ang artinya kamu untuk panggilan orang kepada yang lebik kecil.
Ha? Apa sebab?
Papa menjelaskan belajar silat bukan untuk berkelahi, seperti terjadi di rumah petak.
Kita di kampung sudah berhenti berkelahi, karena orang sudah segan dulu. Tidak berkelahi bukan karena takut. Tapi karena level yang lebih tinggi.
Seperti papa, yang tidak tahu ia juga belajar silat. Bahkan mengajarkan satu kawannya untuk drama pendek di penutupan Kopem, yang kini jadi Hari Kesehatan Nasional.
Itulah Koto Kaciak.
Ketika mobil miring karena berbelok di Simpang Baso, papa membisikkan dua pantun.
Begini bunyinya:
Bukik Sibumbun jo Bukik Kaciak.
Banyak tumbua daun palingggam.
Suda mambaco sejarah Koto Kaciak.
Untuang tabangkik batang tarandam.
Padi tumbua di Sawa nan Panjang.
Nak gadih manyiangi sakali sapakan.
Lamak bunyinyo kisah Mak Adang.
Ka jadi pedoman anak kamanakan. ***
One thought on “Novel 2 (26): Berbagai Kisah di Koto Kaciak.”