Mak Adang di kisah 1 ini bercerita tentang perjlanan ke Duri, setelah beberapa bulan di kampung akibat kebakaran Pasar Duri. Berikut permulaannya, yang ada kaitan dengan Novel 1, Mak Adang dari Nagari Keramwat. Selamat membaca.
***
Bayang bayang Al seakan-akan masih tampak di lapangan dan Tabek Masjid Raya. Mobil yang kami tumpangi terus melaju menuju Bukittinggi. Kembali melewati Salimpaung, Tabek Patah, dan Simpang Baso. Sebentar saja terasa perjalanan kali ini. Berbeda dengan ke Medan tempo hari, yang hanya kami, Mak Tuo, serta Etek. Kali ini ada papa yang mengubalo (melindungi) perjalanan kami. Rasa takut seperti dulu memasuki Aur Kuning hilang seketika. Papa bertubuh tinggi semampai. Berkulit hitam, rambut sisir rapi ke belakang. Kaca mata bergagang hitam merek Roddenstock tak pernah lepas dari wajahnya.
Di saku baju selalu ada pena Pilot. Catatan buku alamat kecil selalu dibawanya kemana-mana. Terkadang terselip pula di buku itu beberapa lembar kertas. Bon belanja barang Bukittinggi.
Untuk apa papa selalu membawa pena? Aku bertanya. Papa menjawab pendek. “Menulis faktur barang.” Papa memang seperti itu orangnya. Tidak banyak bicara. Kadang cenderung pendiam. Bila ditanya baru ia menjawab. Tanyo ciek, jawek ciek. Tanya satu, jawabnya pun satu. Begitu artinya.
Di usia mudanya, konon kata Mama, Papa malah sangat pendiam. Bantuak kadiboli suaronyo. Seperti pantas dibeli suaranya, kata Mama satu kali, cara menggambarkan siapa Papa.
Itu pula sebabnya, tambah Mama lagi, Papa sangat dihormati dan disayang oleh Mak Tuo. Sayang seperti pada anak kandung sendiri.
Apakah sebabnya? Mama menjelaskan karena Papa anak tunggal yang besar dengan ibunya. Ayah Papa, Ahmad, walau sangat sayang padanya juga memiliki istri muda di Lintau. Di sana Papa pernah tinggal bersama dengan dua adik tirinya, Muchtar dan Aziz.
Sebaik baik ibu tiri, ujar Mama, lebih baik ibu kan-dung sendiri. Bagaimana bisa? Aku pun bertanya. Walau Mama tampak kurang suka dengan pertanyaan ku itu.
Udara kota Bukittinggi masih penuh embun. Semakin ke puncak Marapi, asap putih semakin tebal menutupi tubuh gunung hijau nan molek. Di atas langit biru terbalut awan putih itu. Kami sebentar lagi akan sampai di Terminal Aur Kuning yang akan membawa ke Duri.
Dengar Nak, lanjut Mama. Sewaktu kecil Papa dibesarkan oleh nenekmu dengan berdagang kacang goreng di Pasar Ibuah, Payakumbuh. Kota yang nanti kita lewati menuju Pekanbaru. Waktu masa sekolah Umak, panggilan khas dari Nagari Keramat berarti Ibu, membiayai dengan susah payah, bertani di sawah dengan luas seadanya di Koto Kaciak.
Di belakang rumah gadang Papa ada sawah panjang yang melintang dari Surau Subarang ke arah hilir, seperti melintangnya Pulau Jawa terlihat di peta. Di sawah itulah Umak mencari ikan-ikan kecil, udang dan belut untuk samba, atau lauk pauk.
Tidak jarang pula di musim kemarau, belalang hijau ditangkap untuk dirandang (goreng tanpa minyak). Dan dimakan dengan sambalado hijau uwok atau rebus. Sesekali sambalado tulang, bila di Hari Balai . Hari Pekan atau Hari Pasar maksudnya.
Nah takut Papa tidak cukup makan dengan Umak, sehingga Umak melepas Papa yang usia Sekolah Rakyat (Sekolah Dasar, masa itu) ke Lintau ikut Kakek Ahmad yang berdagang di sana.
Senang di awal awalnya. Lama kelamaan Papa selalu ingat Umak yang sendiri. Untuk pulang ke Nagari Keramat tidaklah mudah kala itu. Tidak ada jalan yang bagus seperti sekarang. Apa lagi mobil umum yang ramai saat ini. Dari Lintau harus berjalan kaki 30 km. pulang ke kampung. Bila berangkat Subuh, maka akan tiba pada Siang pukul 14.00.
Papa makin banyak sabar di rumah ibu tiri karena juga punya dua adik seayah yang juga masih kanak-kanak. Tapi bila hari tertentu Papa memang sering dibawo (diajak) berjalan oleh Kakek Ahmad.
Perginya enak. Karena kakek membelikan makanan di Pasar Lintau. Tapi pulangnya ditanya oleh ibu tiri. Apa yang dibeli dan berapa yang dimakan. “Bila goreng pisang dimakan dua, ke ibu tiri terpaksa baduto (berdusta) cuma makan satu,” kata Mama.
Oh begitukah?
Itu sebab Mak Tuo hormat sekali pada Papa karena pendiam dan tidak banyak carito (ulah atau perangainya). Aku makin paham siapa Papa.
***
Apakah Papa rajin membaca dan juga sekolah tinggi seperti Mak Adang? Mengapa ia selalu rajin mencatat dan menyelipkan pena di saku kemejanya setiap pergi ke mana-mana.
“Tidak.”
Kali ini Papa sendiri yang menjawabnya. Juga singkat dan hemat kata seperti pembawaan Papa selama ini.
“Tidak bisa Nak karena memang tidak ada biaya,”jawab Papa. Kini Papa mulai suka menambah kata.
Apakah sejak dulu cita-cita Papa memang jadi pedagang? Tanyaku lagi memburu.
“Iya, supaya bila tidak Papa, Waang (kamu) lah nanti yang sekolah, berdagang ini cara orang Minang keluar dari belitan kemiskinan juga untuk menyokong sekolah Waang dan adik-adik,” jawab Papa. Entah kenapa kini mulai mau bicara banyak.
Mungkin karena Mama menceritakan masa kecilnya kepada sayakah?
“Tidak Pa. Saya ingin berdagang juga. Saya tidak ingin sekolah,” serangku balik. Mak Adang juga berdagang. Banyak orang kampung kita kaya raya karena berdagang ke Jawa, Malaysia dan Singapura. Saya ingin kaya juga Pa, seperti banyak perantau Minang lain.
Papa kini tidak tentu mau menjawab apa. Aku yang kikuk sendiri.
Jalan masuk Terminal makin terlihat. Mobil melambat. Tangan Mama kini mencubit pinggang ku.
“Jangan banyak kecek (bicara). Kita masih susah sesudah pasa tabaka (Pasar terbakar).”
Dan cubit Mama itulah jawabannya. Entah akan bersusah susah sekolah, atau berdagang seperti Papa pula aku nanti kalau sudah besar. Berdagang yang bisa mengumpulkan banyak harta. Rumah, tanah, toko yang disewakan, barang dagangan yang padat berisi.
Tapi bukan seperti Papa yang jatuh miskin kembali dalam tempo satu malam karena tiga toko termasuk diantara ratusan toko terbakar di Pasar Duri.
Duri itulah Negeri kaya minyak yang kami mengadu untung di sana.
Hari ini…
Yah hari ini gelombang kedua Papa memulai hidup di kota itu. Berhasilkah dagang Papa kali kedua di Pasar Swakarya yang baru dibangun itu?
Aku melamun panjang dan tak peduli terminal hiruk pikuk. Dari Bukittinggi masih 10 jam lagi ke Duri.
Aku tak sabar ingin main di Pasar. Juga mencari Sul, Hen, dan Pad, kawan bermain dulu.***