logo mak-adang.com

Novel 2 (16): Menonton Ganefo I.

 Dr. Andi Mulya, S.Pd., M.Si.     19/02/2023    Novel Tragedi Bunga Setangkai   132 Views

Suatu hari Ahad, usai Subuh, papa mengajak kami berjalan pagi. Ternyata jalan pagi itu untuk kebutuhan Mama yang mengandung anak ketiga. Tidak banyak mobil dan sepeda motor. Juga belum banyak orang maraton pagi. Kenderaan lewat hanya mobil sayur satu-satu.
Pagi masih temaram. Papa memilih jalan ke Obor Utama, terus ke SD Center. Kemudian belok kiri dan belok kanan lagi arah jalan Baru yang dilewati jalan lintas Sumatera menuju Medan.
Di perempatan pertama, ada masjid Gonjong, atapnya berbentuk rumah Gadang Minang. Bangunan tua yang menandakan guru agama dan pendakwah dari Minangkabau sudah lama bermukim di daerah ini. Sambil jalan lambat-lambat, papa yang tinggi tegap dan pernah belajar silat, memilih topik olahraga.

Tentang apa?
Ia ingat peristiwa olahraga yang mendunia di era Soekarno. Ganefo. Ternyata Papa hadir saat peristiwa besar itu dibuka di Senayan, Jakarta.
Sambil terus berjalan, papa bercerita bahwa dua bulan setelah berada di Ciloto mengikuti Kopem (Komando Operasi Pemberantasan Malaria), di Jakarta dilaksanakan Ganefo l. Ini adalah pesta olahraga dunia dari negara-negara berkembang atau negara ketiga. Singkatannya: Games of Emerging Forces, diselenggarakan pada 10-24 November 1963.
Ganefo berawal dari keputusan Indonesia sebagai tuan rumah Asian Games. Sesuai aturan internasional, semua negara anggota berhak untuk ikut serta dalam ajang sekali empat tahun tersebut.
Indonesia tidak mengundang Israel mempertimbangkan rasa persaudaraan dengan negara Arab yang tengah perang melawan Israel serta penjajahannya terhadap Palestina.
Indonesia terkena sanksi International Olympiade Commite, IOC, atau Komite Olahraga Internasional (KOI) yakni larangan mengikuti Olimpiade yang akan dilaksanakan di Jepang pada tahun 1964.
Sebelum Olimpiade digelar, Soekarno mendahuluinya dengan kejuaraan dunia baru yang tidak tunduk pada nominasi Persatuan Bangsa- Bangsa atau IOC itu.
Pada suatu akhir pekan yang libur, bulan pertama dari empat bulan masa pendidikannya di Kopem, Papa main ke Jakarta. Tujuannya adalah Rawasari dan Salemba Universitas Indonesia, karena di kedua tempat itu ada kantor Kopem, yang bisa untuk menginap.
Daerah ini sampai ke Senen, merupakan tempat tinggal perantau dari Nagari Keramat. Satu petang papa berkunjung ke rumah teman sebayanya Azhar Hamid di Pasar Paseban. Ia saat itu menjadi wartawan TVRI.
Pertemuan akrab dua sahabat untuk bertukar kabar tentang sekolah dan kampung halaman. Serta merta Azwar mengajak papa untuk menghadiri pembukaan Ganefo. Lalu menyerahkan satu undangan VVIP yang akan dihadiri Presiden Soekarno.
Papa bercerita bahwa 10 November tepatnya hari pahlawan. Barangkali itu sebabnya Soekarno memilih tanggal tersebut, karena pejuang olahraga sama pentingnya dengan perjuangan mengusir penjajah.

 

 

Pada hari itu, papa berjalan kaki dari Rawasari menuju Salemba. Singgah sebentar di Kopem samping Fakultas kedokteran UI. Setelah itu, berjalan kaki menuju Jalan Diponegoro. Terus ke Imam Bonjol dan kemudian sampai di Jalan Sudirman. Hotel Indonesia terlihat megah. Satu-satunya hotel terbaik kala itu. Dari Bundaran HI papa kemudian berjalan menuju Gelora Bung Karno di Senayan.
Pada saat itu Jakarta sedang bersolek. Soalnya setahun sebelumnya, 1962, Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games. Ada tiga tahun masa persiapan Indonesia sejak Komite Olahraga internasional (KOI) menyetujui Indonesia sebagai tuan rumah AG pada tahun 1958.
Soekarno mengejar pekerjaan infrastruktur yang demikian banyak untuk mengangkat martabat Indonesia setara dengan negara-negara maju. Selain membangun Hotel Indonesia, Soekarno memperlebar Jalan Jendral Sudirman. Membuat jembatan Semanggi. Kemudian membangun jalan Thamrin.
Stadion Renang dibangun berkapasitas 8 ribu penonton. Stadion Tenis menampung 5.200 penonton. Small Training Football Field (STTF) ditingkatkan menjadi Stadion Madya mampu memuat 20 ribu penonton, seluas 1.75 ha. dilengkapi 2 tribun. Soekarno membentuk Komando Urusan Asian Games (KUPAG) tahun 1961. Mayor Jenderal D. Suprayogi ditunjuk sebagai komandan pelaksananya. Semua selesai dibangun dalam waktu satu tahun.
Untuk menyukseskan siaran Asian Games melalui televisi, 25 Juli 1961, Menteri Penerangan Republik Indonesia, R. Maladi, membentuk Panitia Persiapan Televisi (P2T).
Empat bulan kemudian, Oktober 1961, Presiden Soekarno memerintahkan pembangunan sebuah studio di Senayan, Jakarta, dengan dua menara televisi. Tahun berikutnya, TVRI berhasil menyiarkan transmisi uji pertama, yakni pidato Presiden Soekarno pada peringatan Proklamasi Kemerdekaan 7RI di Istana Merdeka, 17 Agustus 1962.
AG IV tercatat diikuti 1.460 atlet dari 17 negara, mempertandingkan 15 cabang olahraga. Badminton pertama kali masuk cabang Asian Games saat itu.
Negara-negara lain yang menjadi sahabat Indonesia membantu untuk pembangunan infrastruktur seperti Rusia membangun Gelora Bung Karno sementara negara republik rakyat Tiongkok juga membantu.
Demikian pula Jepang pada saat juga membantu untuk pembangunan infrastruktur.
Ada informasi bahwa pada saat itu by pass Cililitan Tanjung Priok–penghubung alternatif tercepat pada masa itu–dibangun atas bantuan negara Amerika Serikat.

 

Pada pembukaan Ganefo l, Papa duduk di Tribun Utama yang berhadap-hadapan dengan duduknya tamu negara termasuk Presiden Soekarno serta panggung tempat ia berpidato.
Hal paling berkesan, kata Papa, adalah pidato Bung Karno yang selalu menyampaikan sepenuh hati dan sepenuh jiwa tentang perlawanannya terhadap kolonialisme dan kapitalisme.Itu pulalah yang menjadi ruh daripada Ganefo tersebut.
Papa teringat pada waktu sekolah di Batusangkar yang bernama SMP Sekolah Menengah Pertama Islam (SMPI) di Batusangkar, tahun 1952, juga mendengarkan langsung pidato Soekarno. Saat itu Presiden pertama RI ini menyampaikan pidato di gedung Bupati Tanah Datar.
Memori masa kecil papa yang berusia dua belas tahun masih ingat dengan mimik Soekarno berpidato. Sepuluh tahun kemudian papa kembali menyaksikan Soekarno. Lebih dekat dan sangat berkesan di hati.
Papa ingat Soekarno antara lain mengatakan bahwa Ganefo bukanlah perlawanan hanya Soekarno saja. Juga bukanlah kehendak dari bangsa Indonesia saja. Melainkan bangsa-bangsa di dunia. Dalam satu acara wawancara khusus, Soekarno mengatakan bahwa Indonesia sudah berusaha untuk melawan penjajahan sejak 350 tahun lamanya. “Itu bukan masa yang pendek,” kata Bung Karno.
Pada saat Ganefo dilaksanakan itu negara-negara seperti Albania Republik Rakyat Tiongkok Laos Vietnam Korea dan seterusnya melakukan parade pembukaan dengan berjalan kaki tegap. Sebagian berjalan santai melambaikan tangan. Tak kalah meriah dari Olimpiade dan Asian Games setahun lalu.
Suasana Gelora Bung Karno pada saat itu sangat meriah. Bendera 120 negara berkibar di pintu masuk Gelora Bung Karno. Demikian pula spanduk yang bertuliskan Ganefo dan lambang Ganefo sendiri ditambah dan dilengkapi dengan tulisan propaganda : “Ganefo Pantang Mundur.”

Pada saat itu lagu mars Ganefo juga diciptakan. Bung Karno betul-betul merancang bahwa Ganefo adalah olahraga Olimpiade bagi negara-negara ketiga yang menuntut kemerdekaan dan menentang kejahatan penjajahan dan kolonialisme serta kapitalisme di seluruh dunia.
Prestasi Indonesia baik di Asian Games maupun di Ganefo terbilang sangat baik. Di Asian Games ke-2, di Indonesia memecahkan berbagai rekor yang selama ini tidak di pernah dicapai. Di atletik misalnya di atletik lari 100 meter misalnya pelari Indonesia, Mohammad Serengat, berhasil memenangkan medali emas.

 

 

 

 

 

Saat itu Indonesia menduduki juara kedua dengan 20 emas dikalahkan oleh Jepang yang menduduki posisi pertama atau juara umum dengan 77 emas.
Di Ganefo sendiri posisi Indonesia (17 Emas) adalah nomor 3 dikalahkan oleh Tiongkok (65 emas) dan Rusia (39 emas). Negara-negara Eropa sendiri menghargai dan tetap mengikuti Ganefo ini.
Akan tetapi ada yang mengatakan bahwa mereka mengirimkan atlet lapis kedua dengan alasan berjaga-jaga seandainya atlet yang mereka kirimkan ke Ganefo dikenakan sanksi atau diskors oleh KOI, yang akan menyelenggarakan Pesta olahraga dunia Olimpade. Termasuk Jepang yang hanya beroleh peringkat 7 dengan 4 emas saja. Kalah dari Negara Arab Bersatu (16 emas) Korea Utara (13 emas) dan Argentina (5 emas).
Di kemudian hari, pulang dari belanja barang di Medan papa membeli televisi hitam putih bermerek Jhonson. Itu terkait papa senang mendengarkan berita TVRI. Bila warta berita diputar pukul 21.00, papa memperhatikan wartawan TVRI, seperti Inke Maris, Yasir Denhas, termasuk Azwar Hamid sendiri. Di bidang agama, Papa mengidolakan Buya Hamka yang juga wartawan. Papa kagum pada mereka karena wawasan dan pergaulan yang luas.
Jalan kaki di Duri pagi itu mulai terang. Untuk pulang papa memilih jalan Obor 3, lalu terus ke jalan Sumur Ladang. Ada pecal lontong Bukittinggi yang enak di sini. Rasanya harum dan pedasnya bikin ketagihan. Usai itu, kami pulang karena rumah petak sudah dekat.
“Bila ingin memilih profesi yang bebas dan intelek, jadilah wartawan,” kata papa kemudian.
Saya kembali diam. Tidak tahu apa papa sedang mendoakan anaknya menjadi wartawan. ***

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terkait