Salam hari, bila tidak ada kegiatan, usai pulang dari Pasar Swakarya, papa akan membuka papan caturnya. Papan catur sengaja ditaruh di rumah, sebab bila di toko, akan mengganggu kegiatan jual beli. Orang yang main catur, biasanya tak mau melayani pembeli. Bila ada pembeli pun, ia akan buru-buru. Apalagi bila Perdana Manterinya terjepit oleh kuda, saat skak ster.
Papa bisa main catur sendiri. Ia punya potongan koran nasional, yang memuat riwayat pertandingan Karpov dan Kasparov, juara dunia kala itu.
Di papan catur bagian dalam, ditulis beberapa kata-kata mutiara. Misalnya: “Langkah catur dapat menunjukan kematangan cara berfikir seseorang.” Entah dari mana papa mengerti menulis seperti itu.
Di bibir papan catur, ditulis angka dan huruf. Angka 1 sampai 8, lalu huruf A sampai H. Dari huruf itu papa semakin terang, bila mengikuti langkah Karpov.
Bila melangkah satu kali, papa sejenak berfikir, mengapa langkah itu diambil. Papa bertemu lawan main catur, bila Mak Dul, adik angkat yang kuliah di Padang datang ke Duri. Bila paham dengan langkah catur kelas dunia itu, papa langsung sholat isya. Ia akan bercerita menjelang mengantuk.
Apa yang dilakukan papa usai pendidikan Kopem? Begini ceritanya:
Akhir pendidikan Kopem, Papa kembali singgah ke rumah Tuan Mukhtar Madjid di Pejompongan. Sepekan kemudian papa pulang ke Padang.
Bersama sembilan orang teman, papa langsung bekerja. Sofyan teman sekamar di Kopem, Ciloto, memilih berdagang di Pasar Baru. Awalnya di kaki lima. Kemudian ia dikabarkan sudah punya toko. Entah apa alasannya tidak kembali ke Padang.
Bisa jadi karena ia mengerti bahwa lulusan Kopem akan menganggur. Itu terkait hubungan Indonesia dengan PBB yang kian meruncing. Sehingga ia mengambil langkah yang lebih pasti. Menjadi saudagar di Jakarta.
Akan tetapi Papa melihat sebaliknya. Sofyan memang ada gaya-gaya premannya. Kehidupan pasar mungkin memang lebih cocok baginya. Sebaliknya di Kopem adalah jalur menjadi pegawai Departemen Kesehatan.
Mula bekerja, papa menghuni kantor di Jalan Jati Padang. Waktu itu berbincang-bincang tentang pembagian tugas di Kabupaten mana akan ditempatkan. Papa mulai merasa sangat bimbang. Bisa-bisa ditempatkan di daerah yang sulit. Terkait geografis dan kondisi masyarakatnya, seperti di Mentawai dan lain-lain.
Apa tugas papa memberantas malaria? Sesuai pendidikan Kopem? Ternyata tidak. Papa menjadi mantri cacar. Seperti malaria, cacar juga mewabah dengan ganas. Telah banyak korban yang wafat terutama di pedalaman.
Suatu hari, papa berangkat bersama Kepala Inspektorat Kesehatan (Ikes). Dokter Basarudin, asli Pariaman. Tujuan adalah kabupaten dan daerah-daerah terpencil. Berkeliling Sumatera Barat seperti Rao, Pasaman.
Di sini papa dikawal oleh tiga orang prajurit TNI. Ketika masuk ke daerah pantai, papa hanya ditemani satu prajurit, lengkap dengan senjata serbunya. Penduduk nagari itu banyak petani terbelakang dan banyak yang takut disuntik cacar. Mereka lari masuk hutan, padahal negerinya banyak mewabah penyakit. Ada pula yang meninggal.
Ada satu pengalaman tak terlupakan bersama seorang militer ini. Ketika sampai di satu nagari hari sudah malam. Wali Nagari menjamu makan dan rokok serta kopi. Usai makan, Pak Wali mengajak berburu rusa, yang banyak melintas di tepi jalan di desanya.
Malam itu papa pergi bersama Pak tentara yang sudah siap dengan senjatanya. Setelah mengendap-ngendap dari pinggir hutan, Wali Nagari memerintahkan diam-diam. “Nanti jika ada lampu berkedip-kedip itulah rombongan rusa,” jelas Pak Wali.
Terbayang enaknya daging rusa, dan bagus tanduknya. Semua kawan papa berjalan hati-hati. Malam itu sedang terang bulan. Tak jauh berjalan kelihatanlah kedip-kedip lampu berpasangan.
Dipastikan itulah rombongan rusa. Tapi Wali Nagari ini menegur jangan ditembak dulu. Tunggu agak dekat. Patuh dengan kode Wali Nagari, rupanya semua sinar kedip lampu itu hilang sama sekali. Sangat mengecewakan ternyata semua rusa itu meluncur masuk hutan.
Padahal berjarak 25 m. dari posisi Papa dan Pak Tentera yang siap menarik pelatuk. Yang sangat kecewa adalah Pak Tentara. Ia lalu memegang bedil itu. Diarahkannya ke pucuk kelapa yang lebat. Door door dor dor. Seketika runtuhlah beberapa tandan kelapa. Apa hendak dikata, buruan telah lari. Adanya hanya dapat minum air kelapa pelepas dahaga. Pelepas marah.
Pulang ke Lubuk Sikaping, papa berjalan kaki melewati hutan lebat. Dengan mudah terdengar suara binatang yang sangat beragam. Ada kera yang bergelantungan di pohon besar. Papa mencoba menembaknya dengan bedil sesuai petunjuk teori dari pemiliknya.
Baru kali itu papa merasakan bunyi gelegar senjata otomatis yang saat itu diarahkan ke batang kayu besar. Rasa hendak pecah bahu karena keras suaranya.
Ketika bertugas di Nagari Malalo, di tepi danau Singkarak tentara menembak senjata api ke dalam air tenang. Ikan yang pingsan bergeleparan ke permukaan. Anak-anak sekitar danau lalu memilihnya untuk mereka bawa pulang.
Beberapa kali papa menerima gaji di kantor sebesar Rp 6.600 per bulan. Tapi kemudian terjadi gejolak hati, apakah program ini akan berlanjut. Situasi Indonesia yang keluar dari PBB makin memanas. Bung Karno berpidato: Ganyang PBB, Republik Indonesia berdiri di atas kaki sendiri.” Perintah yang kemudian menjadi singkatan Berdikari.
Semua itu berimbas ke masalah calon pegawai Kopem yang notabene dibantu oleh WHO. Kala itu, berangsur-angsur kawan pindah kerja. Ada yang asuransi. Ada ke imigrasi, dan lain-lain.
Lalu kemana papa, usai Kopem benar-benar terhenti?