Papa bercerita pernah dua kali ijok atau bersembunyi di Lintau, saat tentara pusat menyerang pusat pemerintahan peri-peri ini, tahun 1958. Pertama ketika ayah, Ahmad Sutan Marajo, sedang berdagang di Balai Lubuk Jantan. Saat itu tiba-tiba suasana gaduh dan orang meninggalkan pasar. Ayah lari bersembunyi di parit di belakang Pasar.
Sewaktu serangan itu selesai, Papa datang mencari Ayah ke dalam los tempat berdagang. Tetapi ayah tidak ditemukan di sana. Sementara barang-barang berserakan.
Kedua, saat tentara Soekarno mendarat dengan tembakan bertubi-tubi. Pada saat itu papa berusaha untuk menghibur ayah, agar tidak cemas. Tapi ayah tetap menyuruh agar papa ikut orang mengungsi ke arah bukit. Sedangkan Ayah, dan dua adik papa yang seayah di Lintau, diminta oleh ayah untuk diam di rumah. Ayah papa bersembunyi tak jauh dari jalan raya.
Ada sebuah pondok sederhana di tepi sawah. Di dekatnya ada Surau. Malin dan pemilik tanah saat itu tidak di tempat. Mereka juga terpaksa bersama-sama pergi ijok atau bersembunyi ke hutan di punggung Bukit itu.
Ratusan orang tua-muda sudah menyelamatkan diri ke arah Bukit. Sampai di kaki Bukit, papa baru menyadari tidak ada bekal yang dibawa, selain baju sapatagak, yang melekat di badan saja. Lalu Papa dengan teman sebaya yang berjumpa di perjalanan, bersepakat untuk saling membantu. Lelaki itu mengaku mengerti tentang liku-liku jalan ke Bukit, serta tempat bersembunyi. Akhirnya, dibuatlah janji supaya dia membantu menunjukkan jalan.
Pada saat itu disepakati agar ia terlebih dahulu mencari bekal beras dan lauk pauk, baru kemudian sama-sama kembali ke Bukit itu. Tetapi setelah di tunggu lama, ia tak datang. Lalu diturut ke rumahnya. Orang tuanya memberi tahu bahwa anaknya sudah pergi dari tadi. Pada akhirnya papa merasa gusar karena jalan yang dituju tidak tahu. Teman tidak ada, dan hari sudah malam. Sesekali kedengaran bunyi senjata dan jauh.
Untuk pulang ke rumah tidak mungkin, karena pusat kota Lintau masih belum aman. Akhirnya Papa berjalan sendiri di kegelapan malam yang tidak mengerti kemana akan dituju. Hanya kepada Allah berserah diri.
Papa memilih jalan yang dilewati tadi siang dengan tergesa-gesa dan hati yang gundah. Berbalut sarung, dan menjinjing beras 1 kilo, terus berjalann. Malam sudah gelap.
Tak jauh dari situ ada satu dangau, atau pondok kecil di sawah, papa berjumpa perempuan dengan anaknya yang masih kecil. Anak laki-laki dan suami perempuan itu juga lari. Ijok ke Bukit. Pemandangan sudah makin gelap. Hanya terlihat sawah di mana-mana. Papa kemudian berjalan terus, tidak tahu kemana akan dituju. Sampailah di satu tempat, karena sangat letih Papa akhirnya tertidur. Diperkirakan jam 01.00 atau 02.00 dini hari.
Pada saat bangun pagi Papa terkejut bukan main ternyata ia tertidur 3- 4 jam tanpa tahu bahwa itu adalah di sebuah pematang sawah yang sepi. Untung tidak ada hujan pada saat itu. Bila hujan entah kemana akan berlindung.
Dengan badan yang letih, perut yang kosong dan dingin menyebabkan berjalan gontai. Setelah itu bertemu dengan sebuah pondok ada seorang perempuan dan anaknya, yang bapaknya juga pergi mengungsi. Kepada ibu yang di pondok itu Papa minta tolong agar dapat membeli beras 1 kilo lagi dengan uang Rp10.
Kemudian papa meneruskan perjalanan menuju sebuah bukit. Kini sudah terlihat ada jalan setapak. Barulah kemudian tampak orang-orang berjalan mendaki Bukit tersebut.
Kemudian papa memanggil seseorang yang ternyata juga akan menuju Bukit. Alhamdulillah senang rasa hati. Sudah dapat kawan untuk sama berjalan. Akan tetapi jangankan dia berhenti, malah lari karena takut. Papa menyusuri jalan itu sendiri dari belakang.
Pada siang hari, tampaklah rombongan pengungsi yang kemarin berjumpa di Lintau. Makin senang rasa hati, walau perut sudah kosong sejak petang kemaren.
Diantara banyak pengungsi itu, ada si Anis, teman papa sama berasal dari Nagari Keramat. Ia mengabarkan Ayah sangat cemas. Papa diminta agar cepat pulang karena tentara Soekarno pada saat itu sudah berangkat meninggalkan Lintau.
Kembali Negeri Lintau aman seperti biasa. Ayah mulai berjualan kain di Balai Lubuk Jantan. Anak-anak sudah mulai masuk sekolah.
Tak lama sesudah itu, saat papa berjalan-jalan ke Balai Tangah, Kecamatan Lintau, tempat berkumpul pemimpin PRRI, tampak orang berjalan berbondong-bondong.
Orang datang dari kampung Rao-Rao. Tua dan muda termasuk, Natsir Jamal, konco pelangkin. Termasuk Wali Nagari, Amir Mak Adang, serta tokoh lain mengungsi ke Lintau.
Mereka tampak sangat kepayahan berjalan kaki dari Kampung. Setelah Lintau dikuasai, tentara Soekarno mendarat di Batusangkar.
Ada satu yang sangat prihatin ketika itu ikut pula seorang pemuda yang sakit saraf. Setengah gila. Namanya Joni. Berbadan tinggi besar dan sulit merawatnya. Dia pernah belajar di Sekolah Teknik (ST) Batusangkar . Sementara papa di SMPI, yang didirikan Mak Abdurrahman May.
Banyak orang yang mengungsi ke Lintau, sehingga Kota penuh sesak. Ada yang meneruskan ke Teluk Kuantan dan Jambi, kemudian menyeberang ke Jawa.
Seperti Tuan Mukhtar Syarif dengan seorang anaknya, Atri. Mereka berjalan kaki ke arah Unggan, paling ujung dari Lintau. Kemudian terus ke Jakarta.
Setelah Sumatera Barat dikuasai oleh pemerintahan pusat, pemimpin peri-peri dibujuk untuk ke kota dan nama mereka direhabilitasi kembali. Maka semua penduduk kembali ke asalnya.
Tapi itulah masa yang sangat genting. Beberapa orang yang pulang tidak sampai ke rumah. Pemerintahan dan keamanan dikuasai oleh Organisasi Pemuda Rakyat (OPR).
Pengalaman ijok di Lintau itu mengingatkan papa pada peristiwa masa Sekolah Rakyat tahun 1949. Agresi Belanda kedua.
Suatu siang ada operasi Belanda datang di Balai Sotu, pasar tradisional Nagari Keramat. Tentera Belanda datang dari Batusangkar. Ramai bunyi tembakan dimana-mana. Suara mobil pasukan Belanda terdengar meraung-raung dari jauh. Orang dewasa laki-laki lari kocar-kacir menyelamatkan diri ke hutan
Papa dan kawan-kawannya, hampir 20 orang, ketakutan dan menuju ke Bukit Sibumbun. Setelah itu bersembunyi di Selo Gadang, di balik batu besar.
Belum ada yang makan sejak pagi. Hanya membawa baju yang lekat di badan. Sampai Zuhur masih terdengar tembakan. Papa memberanikan diri menyisir selo sampai batas Nagari Kumango. Kala sangat lapar berjumpa satu dangau.
Di tepi ladang ubi, rupanya ada seorang petani sedang bekerja. Papa meminta untuk dibeli dua rumpun ubi untuk direbus. Segeralah bapak petani itu memasakkan untuk mengisi perut yang keroncongan. Kemudian sisanya dibawa kepada kawan- kawan dengan membayar Rp10 . Dibungkus dengan daun pisang dan disandang ke tempat kawan-kawan yang sedang litak, kelaparan itu.
Ubi rebus serasa roti yang enak sekali. Tak lama setelah itu datanglah Tuan Abu Bakar Jamal. Abang dari teman papa, Natsir Jamal. Ia melihat belasan orang lagi tengah terkulai di antara batu-batu besar. Hampir jam enam petang, dapat berita bahwa operasi sudah selesai. Belanda tampaknya sudah kembali ke pos di Batusangkar. Papa kemudian dengan semua teman-temannya itu keluar dari Selo Gadang.
Kemudian bertemu pula dengan abang Natsir yang dibawah Tuan Abu Bakar. Umar Jamal, namanya, membawa nasi dan sambalado tulang yang enak sekali. Setelah itu langsung pulang.
Kiranya hal ini satu kebaikan, memberi makan orang sedang lapar. Papa berharap pahala, semoga Allah membalasnya serta ampunan dari Allah subhanahu wa ta’ala.
Kembali ke kenangan ijok di Lintau, setelah itu papa melanjutkan sekolah SMA Sore, Payakumbuh. Tapi ada masa setahun lamanya, di pengungsian Tanah Baru. Kisah tentang Nagari yang dikuasai PKI. Lanjutan dari Ijok di Lintau ini.***
Papa dan kawan-kawannya, hampir 20 orang, ketakutan dan menuju ke Bukit Sibumbun. Setelah itu bersembunyi di Selo Gadang, di balik batu besar.
Belum ada yang makan sejak pagi. Hanya membawa baju yang lekat di badan. Sampai Zuhur masih terdengar tembakan. Papa memberanikan diri menyisir selo sampai batas Nagari Kumango.
Kala sangat lapar berjumpa satu dangau. Di tepi ladang ubi, rupanya ada seorang petani sedang bekerja. Papa meminta untuk dibeli dua rumpun ubi untuk direbus. Segeralah bapak petani itu memasakkan untuk mengisi perut yang keroncongan.
Kemudian sisanya dibawa kepada kawan- kawan dengan membayar Rp10 . Dibungkus dengan daun pisang dan disandang ke tempat kawan-kawan yang sedang litak, kelaparan itu.
Ubi rebus serasa roti yang enak sekali. Tak lama setelah itu datanglah Tuan Abu Bakar Jamal. Abang dari teman papa, Natsir Jamal. Ia melihat belasan orang lagi tengah terkulai di antara batu-batu besar. Hampir jam enam petang, dapat berita bahwa operasi sudah selesai. Belanda tampaknya sudah kembali ke pos di Batusangkar. Papa kemudian dengan semua teman-temannya itu keluar dari Selo Gadang.
Kemudian bertemu pula dengan abang Natsir yang dibawah Tuan Abu Bakar. Umar Jamal, namanya, membawa nasi dan sambalado tulang yang enak sekali. Setelah itu langsung pulang.
Kiranya hal ini satu kebaikan, memberi makan orang sedang lapar. Papa berharap pahala, semoga Allah membalasnya serta ampunan dari Allah subhanahu wa ta’ala.
Kembali ke kenangan ijok di Lintau, setelah itu papa melanjutkan sekolah SMA Sore, Payakumbuh. Tapi ada masa setahun lamanya, di pengungsian Tanah Baru. Kisah tentang Nagari yang dikuasai PKI. Lanjutan dari Ijok di Lintau ini.
Foto: Pasar Lintau Tempo Doeloe (sumber internet)
Bukit Sibumbun (facebook)