Mama bernama Nur’aini, anak ke empat dari delapan bersaudara. Ayahnya bernama Rasyidin populer dipanggil juru tuli, karena jabatannya juru tulis atau Sekretaris Nagari Keramat, Rao-Rao.
Banyak pula anak dan cucu serta kemenakan memanggil Ayah Gaek yakni Tuak Idin Juru Tuli. Mak tuo atau nenek bernama Hajjah Hindun, dari suku Piliang. anak terkecil dari istri ke empat Haji Hasan.
Ada beberapa nama kampung kecil Piliang di Nagari Keramat ini, yakni Piliang Ilia artinya hilir, Piliang Mudiak, artinya mudik atau di atas, Piliang Baliak, artinya di sebelah balik, dan Piliang Sani. Sedangkan Mak Tuo disebut Piliang Balai-Balai, banyak menyingkatnya dengan PBB. PBB lebih kurang adalah Piliang utama, karena Balai-Balai berarti pendopo atau pusat pemerintahan bahasa sekarang.
Anak pertama Mak Tuo bernama Adnan, dan wafat di usia Balita. Ia dimakamkan di pemakaman menjelang Sungai Jariang. Lalu Mak Adang, kemudian Mama itu yang bidan. Kemudian Mak Datuk bergelar Datuk Paduko Sinaro, lalu Mama anak keempat. Dibawah Mama ada Tek Mar, Mak Ris, Tek Hasnah dan Mamak yang paling kecil sekolah di Padang (lihat Novel 1: Mak Adang dari Nagari Keramat).
Sama seperti kedua abang dan kakak serta adik-adiknya, Mama lulus Sekolah Rakyat di Gudang, Rao-Rao. Kemudian melanjutkan ke SMP 1 Batusangkar, dengan tinggal dan menyewa kamar di pusat pemerintahan Kabupaten Tanah Datar itu. Lulus SMP, mama melanjutkan ke Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA) di Payakumbuh.
Waktu terjadi pergolakan PRRI tahun 1958, Mama sedang kuliah di Akademi Perdagangan Padang (APP). Masa darurat itu memaksa mama kembali ke kampung halaman. Kuliah di APP akhirnya tidak jadi tamat. Masa Darurat membawa Nagari menjadi ramai, dan di kampung, tepatnya di Sungai Jariang, tersedia Sekolah Darurat yang disebut SMA Penampuang. SMA ini berhasil menyelamatkan pelajar dari berbagai Nagari putus sekolah, karena sekolah di Batusangkar, Padang dan Payakumbuh ditutup. Sekolah dimulai pada waktu yang belum ditentukan.
Pada saat darurat itu Mama berkawan akrab dengan Farida. Menurut teman sebayanya, kala itu Mama dan Farida sehilir semudik kemana pergi. Bahkan selain saling berkunjung juga saling bermalam, yakni Farida di rumah kayu Mak Tuo di Piliang, atau Mama menginap di Barabatua, rumah Farida.
Sifat Farida yang baik dan lembut, membuat Mak Datuk yang kala itu hampir tamat kuiah di Padang jadi tertarik. Cinta bisa jatuh di tempat terdekat. Kemudian Farida, teman dekat Mama menjadi Kakak Ipar bagi Mama. Amai Farida, begitu saya memanggil yang berarti istri Mamak, kemudian bersama Mak Datuk tinggal di Medan. Mak Datuk bertekad ke Medan karena Mak Adang usai pulang dari New York, AS, dan Eropa, tahun 1956 sudah lebih dulu tinggal di sana.
Dalam banyak pergaulan dan komunikasi, baik Mama dan kami, sangatlah akrab dengan Amai Farida. Ia orang satu kampung halaman yang baik. Juga berbahasa Rao-Rao Totok, disingkat RRT, seperti kami. Berbeda dengan tante Ica, istri Mak Adang asli Koto Gadang, Bukittinggi yang besar di Medan. Ia selalu berbahasa Indonesia. Demikian pula Mak Adang sehari-hari.
Persahabatan memang tidak bisa didustai. Amai Farida menjadi teladan bagi kami. Ia sangat mengerti bahwa kemanakan di Minangkabau punya hak asuh dari Mamaknya. Sebab Mamak juga besar dan hidup dalam keluarga besar yang komunal. Hidup bersama. Bukan individual seperti keluarga Barat.
Amai memperlihatkan kebaikan bahkan saat ekonomi keluarga belum berlebih. Terkait kala itu Mamak masih pegawai baru sebagai pengajar di IKIP Medan.
Usai berhenti di APP, Mama melanjutkan kuliah di Akademi Asuransi di Kesawan, Medan. Kala itu dipimpin oleh Bapak bersuku Aceh. Mama pernah bercerita bersepeda di kota Medan. Saat jalan macet, jelas mama, pesepeda yang pintar mampu memilih jalan menyelip di antara mobil dan kendaraan lain.
Tidak jelas mengapa Mama berhenti kuliah. Kemudian tahun 1966 bertemu jodoh dengan Papa yang bekerja di daerah Jalan Haligoo Padang. Setahun menikah, Papa mengajak Mama tinggal di rumah sewa kecil di Padang. Saat itu Mama pernah hendak beroleh anak pertama, namun mengalami keguguran.
Papa berusaha menutupi biaya perawatan kepada induk semangnya berdagang. Naas tidak serupiah pun induk semang itu membantu. Itu awal cerita papa berhenti bekerja. Sebagai pengisi waktu, sore hari Papa berdagang batik dan kain panjang kaki lima di Pasar Jawa. Petang hari sampai malam di depan toko yang tutup di jalan Sutan Syahrir Padang. Jalan itu ramai dilalui orang yang keluar dari Terminal Lintas Padang menuju Pasar Raya, atau terminal oplet ke berbagai jurusan dalam kota.
Keluarga baru memang selalu ada tantangan. Pernah sampai malam papa tidak beroleh pembeli satupun. Ini kisah sedih bagaimana cerita papa bertahan di Kota Padang. Kemudian terdengar oleh satu sahabat Papa, Natsir, adik dari Pahlawan Revolusi Jumhur Jamal. Natsir menyarankan papa pindah ke Duri, yang kebetulan menerima ribuan pegawai Caltex baru.
Seiring dengan Duri telah dikenal sebagai tujuan perantau menggiurkan. Pedagang dari Nagari kami bertolak pindah ke Duri. Mereka dari Aceh, Medan, dan sebagian dari Padang, yang membuka cabang usaha baru.
Papa melangkah ke Duri. Mama ditinggalkan dulu di kampung. Selama belum ada rezeki yang cukup dan kemampuan menyewa rumah, Papa pulang kampung sekali sebulan dari Duri.
Tahun 1975, menjelang masuk sekolah Dasar, dan Teti masih usia 2 tahun, Papa membawa kami ke Duri. Tapi kebakaran telah membawa kami pulang kampung sementara waktu.
Setelah pulih, tahun 1978 harapan hidup yang lebih baik mulai tampak. Itu tercermin dari rumah petak baru ini. Papa yang pedagang tidak lupa bertanam cabe dan sayur sedikit di belakang rumah. Demikian pula mama sering merebus telur ayam kampung petang hari. Usai mandi sambil kami bermain, mama duduk di teras dan menyendok putih dan kuning telur yang hangat kepada kami.
Boleh dikata, Mama mengerti soal gizi dan makanan enak. Ia suka membuat rendang, sambalado, telur dadar, gulai ayam Jawa yang kemudian saya kenal namanya opor. Beberapa kali saat Teti sudah masuk sekolah, ia membawa teman ke rumah. Mama menyuguhkan makanan kala itu pecal dan kue apamkik, yakni kue coklat sarang lebah.
Temannya Teti merasakan semua makanan mama enak. “Apakah Mama Teti ikut PKK?” tanyanya suatu hari. PKK adalah singkatan Pendidikan Ketrampilan Keluarga, yang digerakkan sampai ke tingkat keluarahan/desa yang mengajarkan berbagai keahlian ibu rumah tangga, baik memasak, menjahit atau menghias rumah.
“Tidak,” jawab Teti.
“Sebab enak-enak semua yang dimasaknya?” lanjut temannya itu tanpa ditunggu.
Mama sudah terbiasa memasak saat di kampung. Masakan Minang yang sungguh enak anugerah yang tidak pernah kita syukuri sebagai anak. Kita hanya mengerti bahwa enaknya masakan karena memang sudah begitu adanya. Sudah seharusnya dan hal biasa. Padahal apa yang dimasak oleh Mama, baik pilihan bumbu maupun ‘kakok’ atau pegangan tangannya yang khas, setara dengan enaknya makan di restoran besar.
Mama juga membaca dari majalah langganannya tentang resep-resep masakan. Ia punya buku catatan kecil dan dibuka bila ada yang tidak ingat. Kebiasaan membaca itu, bukan hanya soal masakan. Mama membaca berbagai kisah dan biasanya menceritakan kepada saya.
Bacaan mama sering kali berguna dalam kehidupan. Satu contoh dari rubric Setetes Embun majalah Femina. Mama menceritakan kisah berjudul: “Apalah Arti Semua ini.” Ini adalah kisah seorang wanita yang mencari karir dan jabatan. Ia beranggapan hidup ini harus dipersiapkan penuh. Tidak ada pertolongan kecuali menolong diri sendiri.
Paham tentang hidup yang individual di era kapitalis. Semua dianggap mahal. Terselip sombong bukan Allah swt lah menjamin dan mencukup rezeki. Padahal, lanjut Mama, Allah juga memberi rezeki dari tempat yang tiada diduga.
Akhir kisah, ternyata perempuan karir itu sadar usianya memasuki 40 tahun. Dalam keadaan mapan ternyata sulit mencari jodoh setara.
Pada saat itulah, mama mengisahkan, ia berkata: “Apalah arti semua ini?” sebagaimana judul tulisan.
Beberapa tahun kemudian, Mama menjumpai kisah nyata yang sama. Dalam perjalanan pulang dari Pekanbaru ke Duri, Mama satu bus dengan lelaki Minang berusia 35 tahun. Ia seorang karyawan Caltex. Sebut saja Hadi namanya. Ia baru saja berlibur ke Jakarta dan terus ke Bali. Caltex memberi jatah cuti bagi karyawan dan keluarga sesuai dengan tingkatan atau pangkat.
Hadi berkata kepada Mama, seperti tidak ada artinya perjalanan libur itu. Ia menginap di Hotel Sari Pan Pasific di Jalan Thamrin. Lalu berangkat ke tempat yang ia sukai. Ke Monas, kemudian Ancol. Besoknya bisa pula ke Taman Mini, atau menonton Theathere di Taman Ismail Marzuki. Berbelanja murah di Tanah Abang atau pusat belanja lain.
Kemudian libur diteruskan ke Bali. Melihat pantai Kuta dan Sanur. Berjalan-jalan ke Sange yang ada beruk jinak itu. Serta ikut menontont atraksi seni dan lain-lain.
Gembirakah Hadi?
Ternyata tidak. Ia sepi karena kemana-mana sendiri. Bangun tidur sendiri, berangkat sendiri, makan juga sendiri. Dalam perjalanan ingin ia balik, kembali pulang. Mama lalu menceritakan ke saya, betapa tidak enaknya bila dalam hidup yang dicari cuma uang.
Apalah arti semua ini.
Kisah dari Mama. ***