Ini kumpulan tulisan keempat Mak-adang. com tentang Minangkabau yang dimuat secara bersambung. Kembali Fuad Nasar mengupas tentang Minangkabau yang berubah. Perubahan yang disyukuri atau dicemaskan. Walau semangat perubahan di Ranah Minang kini sedang tak terbendung. Selamat membaca. ***
OLEH: M.FUAD NASAR
Merujuk kepada buku Tiga Sepilin Surau Solusi Untuk Bangsa (Abidin, 2016) saya menangkap fenomena keterpinggiran Surau dalam kehidupan sosial orang Minangkabau adalah sesuatu yang cukup serius. Surau adalah tempat umat belajar mengaji, sarana pendidikan atau madrasah tarbiyah bagi anak nagari di ranah Minangkabau. Nagari wajib mempunyai masjid (ba-musajik) dan surau (ba-surau), dua tempat umat beribadah menghubungkan jiwa dengan Allah dan tempat umat membina hubungan bermasyarakat yang baik.
Dalam rentang waktu yang panjang Surau sangat berjasa sebagai sumber inspirasi penanaman nilai-nilai agama dan adat istiadat di Minangkabau. Pendidikan Surau menunjang pendidikan formal di masanya. Di Surau, anak-anak muda Minang tempo doeloe belajar mengaji Al-Quran, belajar pengetahuan agama, mengenal adat istiadat, belajar silat yakni beladiri dan bersosialisasi dengan lingkungan masyarakatnya.
Dewasa ini di Sumatera Barat sudah banyak Surau yang roboh. Untuk itulah “Gerakan Kembali Ke Surau” yang pernah digaungkan oleh Pemerintah Daerah dan juga Kanwil Kementerian Agama di daerah ini diharapkan memberi dampak di masyarakat.
Buya Mas’oed Abidin dalam bukunya, menyulam gagasan meretas benang kusut, dalam hal ini mengembalikan eksistensi Surau sebagai lembaga pendidikan alternatif strategis dalam konteks transformasi nilai di dalam kehidupan masyarakat. Juga diperlukan langkah untuk menghidupkan Surau sebagai lembaga pendidikan komunitas serta memfungsikannya sebagai sarana perguruan untuk membina umat dan anak nagari.
Surau dan Lapau (warung kopi tempat maota-ota/perbincangan bebas sebelum atau sesudah lepas bekerja) tidak terpisahkan dari kehidupan tradisional sebagian besar (tidak semua) orang Minangkabau.
Setiap kampung di Minangkabau/Sumatera Barat memiliki Surau yang dikaitkan dengan nama kampung atau nama Suku setempat. Begitu pula di kampung dan di kota-kota kecil Sumatera Barat, banyak Lapau tempat orang duduk-duduk. Kebiasaan sebagian orang di kampung, duduk melepas penat di Lapau setelah bekerja keras di sawah atau di ladang atau sekadar beramah-tamah dengan orang kampung ketika pulang dari rantau. Ada juga sebagian yang menghabiskan waktunya di Lapau pagi, siang dan sore karena tidak memiliki pekerjaan dan kegiatan yang produktif.
Orang Minang dengan tempaan masa kecil di Surau, terpaut hatinya dengan masjid, menempuh pendidikan tinggi, bekerja yang benar, dan pandai membawakan diri di Lapau dan di masyarakat, biasanya menjadi pribadi yang matang dan bijaksana. Pemimpin atau orang yang dijadikan sebagai pemimpin dengan tempaan keilmuwan, kemampuan leadership dan kecerdasan sosial kultural, berbeda kualitas dan kapabilitasnya dibanding pemimpin yang tiba-tiba dilambungkan ke atas atau dipaksakan munculnya secara instant karena nepotisme dan sebagainya tanpa melalui proses yang sewajarnya. Pemimpin yang semacam itu kalau ada bukan pemimpin yang otentik, “Kuningnya hanya karena kunyit merahnya karena gincu.”
Keberhasilan orang Minang sesungguhnya ditopang dengan beberapa pranata sosial yang mempunyai andil dalam pembentukan pribadinya. Seiring dengan perubahan zaman, semua pranata sosial mengalami perubahan dan penyesuaian dengan situasi dan kondisi. Perubahan apa pun haruslah membuat masyarakat semakin baik, bukan semakin mundur atau tidak baik.***
Usai membaca tulisan di mak adang tersadar betapa kayanya Indonesia, khususnya Sumbar.
Terima kasih. Kami akan meneruskan pesannya kepada Pak Fuad Nasar. Kebetulan Pak Fuad awal tahun 2024 akan menerbitkan tulisan ini berbentuk buku. Kami usulkan sanak dikirimi satu buku dengan pengantar Gubernur Sumbar dimaksud.
Salam mak-adang.com