logo mak-adang.com

Untold Story 212 (1): ADA RASA TAKUT YANG MEMBUAT INGIN SURUT

 Dr. Andi Mulya, S.Pd., M.Si.     2/12/2023    Kaba Ari ko,Tamasya Jurnalistik 3   141 Views
Untold Story 212 (1): ADA RASA TAKUT YANG MEMBUAT INGIN SURUT

Monas,  2 Desember  2016.

Dibawah ini adalah Catatan Harianku di sela-sela Peristiwa  Akbar 212.

Begini isi lengkapnya:

Alhamdulillah,
Satu jam hujan turun sebelum khotib naik mimbar dari Jalan Sabang depan Kantor Berita Antara kami sholat Jumat.

Basah seluruh tubuh, tapi gembira.
Dulu biasa kita main di sawah hujan-hujan sampai kaki berdarah, kata Pak Bung Zulham dari Jakarta.

Ransel, sajadah, baju, dan kopiah telah basah. Beruntung saya bawa jaket anti air ini. Langsung dengan celana training, sehingga selamatlah saya dari basah baju luar-dalam.

Jaket ini mengingatkan pada Da Tarmizi Mawardi yang keselip dalam koper, padahal sudah keliling di Padang Panjang dan Padang selama dua minggu.

Dan ketika mau check-out di hotel Golden menuju bandara Senin Selasa malam lalu, ia keluarkan dan saya langsung salami: “terima kasih.”

ANTI AIR, menggunakan jaket agar selamat dari hujan. Anti air, bukan anti peluru. (foto dok. andi)

Sebab kalau tidak muat, akan dibawa lagi ke NY. Aha… muat, lihatlah panjang lebarnya.  Cocok, kata saya, beradu pintar.

Jaket Nike itu telah menemani saya dalam hujan menembus arena 212 dari Sabang, Patung Kuda, Thamrin, dan akhirnya berhenti di Wahid Hasyim.

Diantara  Rasa Takut
Kala tulisan itu dibuat,  saya sudah lega karena gerakan 212 telah mendunia.  Berbagai keajaiban  tentang orang-orang yang berkumpul di Monas kemudian mengisi berbagai media sosial,  ditambah media  papan atas.

Perasaan lega pertama  kali saya rasakan saat sudah  duduk menunggu waktu Sholat Jum’at sekitar pukul 10.00.  Di sekitar Monas sudah penuh.  Kemudian jalanan sampai ke belakang kami juga main ramai.  Yakni lurus ke jalan Sabang,  atau ke kiri Jalan Kebon Sirih.  Saya pertama  kali menginjakkan kaki ke Jalan Kebon Sirih  ini tahun 1991, bersama  pengurus KMA -PBS Universitas Andalas, usai Temu Dialog Mahasiswa Minang se Indonesia. Di sini pula ada LPDS,  Lembaga Pers Dr. Soetomo, tempat  saya  kursus jurnalistik selama tiga bulan penuh.

Adapun nama Antara, kantor berita nasional ini sudah  saya kenal lama,  sejak mahasiswa.  Lumayan satu foto yang diminta juga filmnya (=era jadul) beroleh honor Rp 15.000.

Di depan gedung itu, siang  tujuh tahun lalu itu lelah terbayar.  Bukan karena perjalanan ke sini.  Tetapi karena aksi ini berjalan damai.  Tenang,  bahkan sejuk.

Awalnya saya membayangkan datang ke Monas : pergi mati.  Ada yang melarang,  karena akan konyol.

“Tak usah,  karena anak-anak masih  kecil,”  kata satu kawan.

Lain lagi satu kolega dosen dari Padang. Ia sengaja mempercepat  pulang dua hari sebelum aksi 212. “Takut nanti terjadi apa-apa,  terkepung tidak bisa ke Bandara,”  katanya di Hotel  Sultan.

Pagi menjelang saya berangkat, Afiq saya antarkan ke sekolah. “Sebentar lagi ayah ke Monas,” sambil meminta  doa.  Ia memandang sedikit saja.  Seakan bingung mau menjawab apa.

Saya bimbang juga,  apakah ini memang pergi mati.  Ini kali terakhir  mengantarkannya ke sekolah?

Kala melewati komplek Depag,  Citayam,  saya mendapati satu Bapak-bapak,  pensiun aparat hukum.  Ia santai di rumah.  Duduk dengan mata terlihat masih mengantuk. Saya kembali bimbang.  Betulkah Monas ini aman.  Bila tidak,  kan lebih baik seperti Bapak  ini.  Umurnya panjang, santai saja ngopi-ngopi,  sambil nonton atau main HP.

Entah mengapa  rasa ragu itu kembali hilang. Bahkan sebaliknya, saat sudah  membentang sajadah ini,  saya menyaksikan kerumunan orang,  tua muda,  laki-laki perenpuan,  bahkan  anak-anak beriringan ke Monas.  Ada pula santriwati duduk di mobil  bak,  sama-sama dengan santai dan tenang.

Pernah  terbersit seketika,  bagaimana kalau dalam kondisi ini,  ada serangan senapan serbu secara mendadak,  kemana akan lari?  Berapa kuat akan menahan arus massa? Selamat atau tidakkah?

Sekali lagi pikiran itu hilang.  Malah seketika saya merasa rugi, andai tidak ke sini.  Sholat Jumat terbesar  tujuh juta  orang,  saya rasakan nikmatnya.  Apalagi  saat hujan turun dan tidak satupun yang  menghentikan sholatnya.

Panas Monas,  benar-benar sejuk.  Usai itu logistik makanan dan minuman entah dari mana datangnya bertebar gratis di berbagai sudut.  Tidak ada yang berebut.  Banyak orang yang  butuh makan.  Tapi banyak pula yang ingin menyumbangkan makanannya.   Ada yang  hanya mempersilahkan coklat, permen,  dan kurma saja dengan tangan. Kemana wajah ada senyum.

Ini Aksi 212  yang pertama dan berulang menjadi Reuni 212  beberapa kali tahun berikut, yang juga  saya tak lewatkan.

Kalau tak salah  dua tahun kemudian,  Bapak-bapak di Komplek Depag yang saya tegur pagi itu wafat. Memang sudah umur dan ajalnya.

Pagi tadi, saya membuka semua kenangan di fesbuk  tentang  212. Satu pelajaran yang saya peroleh adalah  sebagai  manusia anda harus peduli dengan sesama. Juga peduli dengan perjuangan bersama.

Bisa jadi rasa peduli itu yang menjamin rezeki dan umur anda selalu bertambah.  Aksi 212, menyimpan banyak hal yang belum seluruhnya saya goreskan (andi mulya). ***


3 thoughts on “Untold Story 212 (1): ADA RASA TAKUT YANG MEMBUAT INGIN SURUT

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *