Monas, 2 Desember 2016.
Dibawah ini adalah Catatan Harianku di sela-sela Peristiwa Akbar 212.
Begini isi lengkapnya:
Alhamdulillah,
Satu jam hujan turun sebelum khotib naik mimbar dari Jalan Sabang depan Kantor Berita Antara kami sholat Jumat.
Basah seluruh tubuh, tapi gembira.
Dulu biasa kita main di sawah hujan-hujan sampai kaki berdarah, kata Pak Bung Zulham dari Jakarta.
Ransel, sajadah, baju, dan kopiah telah basah. Beruntung saya bawa jaket anti air ini. Langsung dengan celana training, sehingga selamatlah saya dari basah baju luar-dalam.
Jaket ini mengingatkan pada Da Tarmizi Mawardi yang keselip dalam koper, padahal sudah keliling di Padang Panjang dan Padang selama dua minggu.
Dan ketika mau check-out di hotel Golden menuju bandara Senin Selasa malam lalu, ia keluarkan dan saya langsung salami: “terima kasih.”
Sebab kalau tidak muat, akan dibawa lagi ke NY. Aha… muat, lihatlah panjang lebarnya. Cocok, kata saya, beradu pintar.
Jaket Nike itu telah menemani saya dalam hujan menembus arena 212 dari Sabang, Patung Kuda, Thamrin, dan akhirnya berhenti di Wahid Hasyim.
Diantara Rasa Takut
Kala tulisan itu dibuat, saya sudah lega karena gerakan 212 telah mendunia. Berbagai keajaiban tentang orang-orang yang berkumpul di Monas kemudian mengisi berbagai media sosial, ditambah media papan atas.
Perasaan lega pertama kali saya rasakan saat sudah duduk menunggu waktu Sholat Jum’at sekitar pukul 10.00. Di sekitar Monas sudah penuh. Kemudian jalanan sampai ke belakang kami juga main ramai. Yakni lurus ke jalan Sabang, atau ke kiri Jalan Kebon Sirih. Saya pertama kali menginjakkan kaki ke Jalan Kebon Sirih ini tahun 1991, bersama pengurus KMA -PBS Universitas Andalas, usai Temu Dialog Mahasiswa Minang se Indonesia. Di sini pula ada LPDS, Lembaga Pers Dr. Soetomo, tempat saya kursus jurnalistik selama tiga bulan penuh.
Adapun nama Antara, kantor berita nasional ini sudah saya kenal lama, sejak mahasiswa. Lumayan satu foto yang diminta juga filmnya (=era jadul) beroleh honor Rp 15.000.
Di depan gedung itu, siang tujuh tahun lalu itu lelah terbayar. Bukan karena perjalanan ke sini. Tetapi karena aksi ini berjalan damai. Tenang, bahkan sejuk.
Awalnya saya membayangkan datang ke Monas : pergi mati. Ada yang melarang, karena akan konyol.
“Tak usah, karena anak-anak masih kecil,” kata satu kawan.
Lain lagi satu kolega dosen dari Padang. Ia sengaja mempercepat pulang dua hari sebelum aksi 212. “Takut nanti terjadi apa-apa, terkepung tidak bisa ke Bandara,” katanya di Hotel Sultan.
Pagi menjelang saya berangkat, Afiq saya antarkan ke sekolah. “Sebentar lagi ayah ke Monas,” sambil meminta doa. Ia memandang sedikit saja. Seakan bingung mau menjawab apa.
Saya bimbang juga, apakah ini memang pergi mati. Ini kali terakhir mengantarkannya ke sekolah?
Kala melewati komplek Depag, Citayam, saya mendapati satu Bapak-bapak, pensiun aparat hukum. Ia santai di rumah. Duduk dengan mata terlihat masih mengantuk. Saya kembali bimbang. Betulkah Monas ini aman. Bila tidak, kan lebih baik seperti Bapak ini. Umurnya panjang, santai saja ngopi-ngopi, sambil nonton atau main HP.
Entah mengapa rasa ragu itu kembali hilang. Bahkan sebaliknya, saat sudah membentang sajadah ini, saya menyaksikan kerumunan orang, tua muda, laki-laki perenpuan, bahkan anak-anak beriringan ke Monas. Ada pula santriwati duduk di mobil bak, sama-sama dengan santai dan tenang.
Pernah terbersit seketika, bagaimana kalau dalam kondisi ini, ada serangan senapan serbu secara mendadak, kemana akan lari? Berapa kuat akan menahan arus massa? Selamat atau tidakkah?
Sekali lagi pikiran itu hilang. Malah seketika saya merasa rugi, andai tidak ke sini. Sholat Jumat terbesar tujuh juta orang, saya rasakan nikmatnya. Apalagi saat hujan turun dan tidak satupun yang menghentikan sholatnya.
Panas Monas, benar-benar sejuk. Usai itu logistik makanan dan minuman entah dari mana datangnya bertebar gratis di berbagai sudut. Tidak ada yang berebut. Banyak orang yang butuh makan. Tapi banyak pula yang ingin menyumbangkan makanannya. Ada yang hanya mempersilahkan coklat, permen, dan kurma saja dengan tangan. Kemana wajah ada senyum.
Ini Aksi 212 yang pertama dan berulang menjadi Reuni 212 beberapa kali tahun berikut, yang juga saya tak lewatkan.
Kalau tak salah dua tahun kemudian, Bapak-bapak di Komplek Depag yang saya tegur pagi itu wafat. Memang sudah umur dan ajalnya.
Pagi tadi, saya membuka semua kenangan di fesbuk tentang 212. Satu pelajaran yang saya peroleh adalah sebagai manusia anda harus peduli dengan sesama. Juga peduli dengan perjuangan bersama.
Bisa jadi rasa peduli itu yang menjamin rezeki dan umur anda selalu bertambah. Aksi 212, menyimpan banyak hal yang belum seluruhnya saya goreskan (andi mulya). ***
3 thoughts on “Untold Story 212 (1): ADA RASA TAKUT YANG MEMBUAT INGIN SURUT”