In Memorium Prof. Firdaus Abdullah Ph.D.
Mak-adang.com, JAKARTA.
Setelah menelpon papa di ketiga Idul Fitri ini, saya ingin mengatakan uda Firdaus Abdullah adalah lambang keluarga dan sumber daya manusia (SDM) nagari Rao-Rao yang cakap berdagang dan piawai menuntut ilmu. Baiklah saya mulai dari kenangan 40 tahun silam.
Baco pulo: SELAMAT JALAN SENATOR PROF. DATO’ FIRDAUS ABDULLAH
Saat saya SMPN 2 di Duri, papa pernah menceritakan dua nama Abdullah yang ternama. Prof. Taufik Abdullah dan Prof. Firdaus Abdullah. Nama sama, tapi dari dua ‘kampung’ berbeda. Pak Taufik di Lurah. Sedangkan Uda Firdaus di Koto. Dalam satu nagari yang kecil hanya dipisahkan Balai Sotu, yang luasnya tidak setengah lapangan bola.
Firdaus saya panggil uda, karena ibunya, Zubaidah, adalah sepupu atau bako papa di Koto. Berbeda usia empat tahun dengan papa dan masa kecil pernah bermain bersama.
Zubaidah memiliki kakak perempuan, Kak Jawa. Begitu papa memanggilnya. Jawanis nama lengkapnya. Kak Jawa memiliki anak perempuan dipanggil si Godang, karena badannya tinggi besar. Godang adalah mahasiswi IAIN Imam Bonjol dan pernah aktif dengan papa di Ikatan Perantau Tanah Datar. Sayangnya, ia wafat di masa pertengahan kuliah.
Anak kedua adalah Firman Hasan guru besar Universitas Andalas, pernah menjabat Dekan Fakultas Hukum, dan Pembantu Rektor, serta komisaris Bank Nagari.
Anak ketiga dipanggil Upik Hasan tinggal di Padang dan sering menetap di kampung. Dua lainnya Sudirman dan Acin berdagang sebagaimana nagari Rao-Rao dikenal dengan perantaunya ke berbagai daerah termasuk Malaysia dan Singapura.
Dari pihak uda Firdaus, ia anak pertama mempunyai lima adik perempuan dan seorang adik laki-laki.
Uda Husni Samad, sepupu Uda Firdaus dari pihak ayah, menyebutkan setelah Uda Firdaus, adalah nomor dua Mardiah, dan adik laki-laki bernama Hermani. Berikutnya yakni Yasmin, Lelawati, Hartini, dan yang bungsu Hamisah.
Ayahnya H. Abdullah sudah merantau ke Malaysia, namun Uda Firdaus pernah sekolah di kampung. Tradisi merantau orang Rao-Rao dulu istri tetap berada di kampung. Suami yang datang pulang kampung sekali sebulan.
Itu pula sebabnya uda Firdaus pernah masuk sekolah dasar, SR (sekolah rakyat) masa itu di Gudang, Rao-Rao. Bahkan berdiam cukup lama di kampung. Papa ingat uda Firdaus berangkat untuk menetap di Kuala Lumpur usai adik pertamanya menikah dengan Buchori, kawan papa sama sekolah di SMA Sore (cikal SMA 2 sekarang), di Payakumbuh.
Kata papa, ia ingat betul karena hadir di pernikahan tersebut. Seminggu setelah itu, Keluarga Besar Haji Abdullah berangkat ke Malaysia.
Cerita di atas sebagian diceritakan papa ke saya 40 tahun lalu. Saat itu beberapa tulisan Uda Firdaus Abdullah ada yang terbaca sampai ke Duri, Riau. Yang saya tahu uda Firdaus seorang wartawan yang penulis, atau sebaliknya penulis yang wartawan.
Teka-Teki di Rumah Gadang Koto. (bagian ini belum selesai dan akan dimuat segera).
Pertama Berjumpa. Boleh dikatakan uda Firdaus adalah saudara yang terpaut hati di usia sudah dewasa. Masa kecil saya banyak mengenal mamak dan etek dari keluarga Piliang. Sebagian bako di Koto Kaciak, karena beberapa kemanakan papa berada di Duri.
Uda Firdaus bagai saudara yang ada dalam mimpi. Tidak pernah berjumpa, termasuk saat saya kuliah lima tahun di Padang.
Akan tetapi, kala menjadi Sekjen Ikatan Keluarga Rao-Rao (Ikrar) di Jakarta, tahun 2011, saya yang membacakan surat keputusan pengangkatan Uda Firdaus Abdullah sebagai warga kehormatan Ikrar Jaya.
Seperti tulisan uda Hasril Chaniago yang dibagikan kemarin, saya juga mendapati perhatian uda Firdaus Abdullah kepada kampung halaman dan Minangkabau umumnya sangat luar biasa. Uda Firdaus sengaja datang ke undangan Ikrar Jaya, di tengah kesibukannya sebagai anggota parlemen Malaysia dalam kunjungan ke USA.
Tampak sekali ada kepuasan beliau saat tiba di Wiladatika, Cibubur, tempat Halal bi Halal Ikrar Jaya. Walau tampak masih lelah.
Usai itu hubungan dengan uda Firdaus terus terpupuk. Beberapa kali beliau mengirimkan email kepada saya bertukar kabar, termasuk meminta kirimkan novel pertama saya Mak Adang dari Nagari Keramat itu.
Boleh dikatakan tiga tahun pertama saya berjumpa uda Firdaus, belum terlalu dekat. Tapi mungkin uda Firdaus makin mengenal saya lewat orang lain. Itupun saya rasa karena memiliki perhatian yang sama kepada alam budaya Minangkabau. Serta sama-sama wartawan pula.
Ini buktinya seperti dikisahkan Doni Harsiva Yandra, teman sesama tenaga ahli di DPR-RI, yang kini terpilih menjadi anggota DPRD Sumbar.
Doni bercerita bersua uda Firdaus saat menjadi utusan KNPI yang membidangi hubungan internasional di Kuala Lumpur. Uda Firdaus dalam acara penting itu membuka pidatonya dengan membawakan beberapa bait pantun.
Doni ingat sekali pantun itu berisi dan menyebut Rao-Rao negeri nenek moyang yang dirindu. Doni paham uda Firdaus sangat menyanjung nagari asal ayah bundanya itu. Usai acara, kata Doni kepada saya saat jumpa di Sudirman Jakarta, Doni mendatangi uda Firdaus.
“Rao-Rao itu memang sebenar Nagari Keramat,” begitu kata Doni.
Spontan uda Firdaus berkata: “Salam ke Andi Mulya kalau sampai di Jakarta.”
Terang saja, saya masih dari rencana ke rencana saja berjumpa uda Firdaus. Tibalah satu kali, sebelum pandemi, uda Firdaus menelpon saya akan ke Jakarta dengan keluarga dengan beberapa agenda pertemuan. Saya diminta datang ke hotel di Jalan Wakhid Hasyim.
Istri uda Firdaus memberitahu saya sangat gundah karena belum bertemu saya. “Abang ini bukan main risau menyebut Andi beberapa kali, mana Andi,..mana Andi, ” katanya.
Uda membawa saya berkeliling kemudian makan siang di Bofet Mini, Benhil. Di hotel saya sempat mengurut punggung uda Firdaus, karena merasa penat di perjalanan. Langsung saja ia percaya karena saya belajar sport message saat s1 olahraga.
Uda Firdaus memberi beberaa buku yang ditanda-tangani dibumbui dengan dorongan cepat menyelesaikan S3. Uda Firdaus pula yang menghubungkan saya dengan pengelola Jurnal Kajian Media Malaysia, milik Universitas Malaya, dimana uda Firdaus sangat disegani dan pernah menjabat dekan Fakultas Ekonomi di universitas rangking 50 terbaik dunia itu.
Pada kesempatan berikutnya Uda Firdaus memberitahu saya untuk berjumpa di pengajian di LIPI. Saya datang dan diajak berfoto bersama dengan keluarga bako papa dari Koto tersebut. Saya anak panca suruk: istilahnya, karena kakek yang dari Koto. Saat itu pula uda Firdaus membagikan beberapa buku kepada dusanak a.l pak Rosidun Pirolin, yang saya sudah memilikinya. Bahkan agar mudah, saya menyediakan punggung saya untuk uda Firdaus menekan tanda tangan.
Saat itu pula hadir Prof Hilman Mahyudin, ahli bedah syaraf dan dokter kepresidenan era Soeharto. Prof. Hilman adalah saudara satu niniak Uda Firdaus dan serumah gadang, dalam ranji yang sama.
WA dan Video Call.
Uda Firdaus juga penuh perhatian kepada Afiq, termasuk mengajak video call dari Turki.

SEBULAN LALU: Kabar melalui wa tentang kondisi ida Firdaus Abdullah yang menurun (screenshoot wa).
Karena perhatian itu pula saya pernah mendorong Afiq agar mampir ke Kuala Lumpur dulu kalau sewaktu-waktu pulang dari Turki.
Pada 20 Maret 2024 lalu, setelah hampir sebulan gangguan kesehatan, uda Firdaus menelpon saya. Begini lengkapnya:
“Salam Andi dan keluarga. Saya masih belum sihat. Dengan keberkatan Ramadhan, tolong doakan kesihatan saya,” tulis Uda Prof Firdaus Abdullah (11.55).
Masya Allah, spontan saya pun menjawabnya: “Syafakallah.. Di tengah kumandang azan, waktu yg makbul untuk berdoa, semoga Uda Firdaus sehat dan pulih.. Mudah segala pengobatan dan lancar urusan dipertemukan dengan dokter yang baik dan profesional. Aamiin.”
Yang saya tahu dari Kakak, tidak ada sakit uda Firdaus. Dokter tidak mau menerima rawat inap. Tapi selama 10 hari pertama tidak makan. Setelah bertahan di rumah, akhirnya kondisi uda Firdaus belum membaik.
Sampailah kabar Kamis pagi, 2 Syawal 1445 H, uda Firdaus wafat mendahului kita. Innalillahi wainna ilaihi rojiun.
Uda Firdaus adalah saudara yang saya temukan di kala dewasa, bukan kenal atau berjumpa sejak kecil. Tapi dalam waktu yang tidak lama itu, saya mendapati keteladanan dari seorang hebat yang luar biasa. Sekolah tinggi di USA sampai Ph.D, mengajar di universitas terbaik dunia, tapi ‘membumi’ dengan Ke-Minangkabau-annya. Tidak pernah saya mendengar ia bercakap-cakap dalam bahasa Inggris, apalagi di kampung. Bahkan ia tetap berbahasa Minang: identitas budaya.
Kembali ke tulisan dan Hasril, saya pun sepakat dan menyatakan Uda Firdaus adalah sosok hebat luar biasa yang bersahaja.
Hebat sebagai orang Minang, yang percaya diri, tapi rendah hati sehingga sangat terpuji di negeri serumpun, Melayu, Malaysia.
Semoga Uda Firdaus Abdullah beroleh sorga. Aamiin Ya Rabbal’alamin. (andi mulya) ***
Foto: Uda Prof. Firdaus Abdullah duduk bersama Prof. Hilman Mahyudin (ke 5 dan ke 6 dari kiri) dan penulis berdiri di belakangnya. (dok mak-adang.com).
Innalillahi wa inna ilayhi roji’un. Turut berduka cita atas kepergian beliau. Moga patah (daun teladan) ini akan berganti dengan dedaunan segar lainnya yg tiada kalah berbakti pada negeri dan Ilahi. Aamiin.
Aamiin. Terima kasih mbah Wakhid
Kekanda Firdaus adalah abang tua kami yg amat mencintai bumi Minangkabau & segala yg ada di dalammya…masyarakat, bahasa, budaya, adat, amalan , makanannya… & segala gala yg yang ada dgn Minangkabau..bumi bertuah!
Seorang anak sulung yg menyanjung kedua ibu bapa ( khasnya Umi kami) bagai permata terulung..
..Muga kkd Firdaus aman & tenang di sana..
Terima kasih kak. Tetap tersambung silaturahim ke ranah Minang hendaknya. Aamiin