logo mak-adang.com

Kabar dari Turki (1): Kala Etihad Mengangkasa.

 Admin Mak Adang     25/01/2023    Kabar dari Turkiye 1   163 Views

Pada pukul 03.30, Ahad dini hari pesawat nasional Uni Emirat Arab itu terbang menuju Istanbul. Ia akan menempuh 14 jam perjalanan dengan satu kali transit di Abu Dhabi.

Perpisahan dengan Afiq sudah terjadi sejak 2 jam sebelumnya. Counter layanan pesawat itu dibuka pukul 00.30. Sesuai lazimnya check in penerbangan internasional yakni 3 jam sebelum berangkat. Akan tetapi check in itu selesai pada pukul 01.00 lewat.

Pada pukul 02.00 kami pamit. Afiq dilepas tanpa menunggu pesawat berangkat. Alasannya pukul 03.00 sangat rawan mengantuk. Tidak baik untuk saya menyetir 60 km. di tol menuju rumah.  Sesuai tiket penerbangan dengan kode EY 471 tersebut. Afiq akan tiba di Istanbul pada pukul14.00 waktu setempat.

Membayangkan Istanbul buat saya bukan hal yang tiba-tiba. Sejak kecil di surau tempat mengaji kita sudah dikenalkan tentang sejarah kebesaran Turki Utsmani. Imperium Islam yang menguasai sebagian Eropa, Afrika Utara, Bulgaria dan Armenia dan Balkan. Turki juga memiliki perdagangan yang besar dan memiliki pengaruh dalam penguasaan Terusan Suez. Negara ini dengan 80 persen kawasannya berada di Asia dan berpenduduk sekitar 80 juta, 96 persen muslim.

Aka tetapi Turki adalah sejarah tentang Negara Khalifah Islam yang super power. Ia menguasai dunia selama enam abad dengan sangat solid.

Bila Belanda menjajah Indonesia 3.5 abad, dimulai dari pendaratannya di Nusntara sampai masuknya Jepang melalui Bukittinggi 7 Maret 1942. Tentu berbeda selain jangka waktunya yang tidak selama penguasaan Turki Ustmani. Saat Belanda berkuasa, ia tidak merata menggenggam Nusantara, karena satu wilayah yang ditaklukan, wilayah lain masih berdiri atau belum terjamah. Tiga setengah abad kita dijajah Belanda sebagai simbol kesatuan Nusantara. Cara ini untuk menunjukkan perasaan senasib sepenanggungan di bawah pemerintah kolonial tersebut.

Turki Utsmani menandai kedigdayaan dengan merebut Konstantinopel, dari Kerajaan Romawi Timur. Ia sebut Konstantinopel karen didirikan Raja Constantius 1, sejak awal abad ke 4.

Tidak ada yang mampu mengalahkan Romawi Timur. Kecuali pada 1453, seorang Panglima Perang Islam bernama Muhammad bi Murad bin Muhammad membebaskannya.

Ia disebut dengan Muhammad Dua. Sewaktu kecil, ayahnya selalu berkata saat memandikannya di pinggir sungai. Sambil menunjuk ke seberang lautan, ibukota Konstantinopel: ” Anakku satu saat engkau akan menjadi panglima perang yang hebat. Engkaulah yang akan menaklukkan Adidaya Romawi Timur itu.”
Menurut Prof. UAS, impian itu diucapkan sang ayah setiap hari, berulang-ulang. Di kemudian hari, anak kecil itu yang beroleh amanah Rasulullah SAW, hampir 9 abad sebelumnya. Rasul berkata : “Nanti kalianlah yang menjadi pemilik kota Kinstantinopel itu. Akan ada panglima perang Islam yang gagah berani.

Ia akan membawa pasukan besar dan menundukkan Romawi Timur yang kala itu belum ada tandingan. Rosul SAW ternyata benar. Tidak ada satu ucapannya yang salah, walau kala itu kafir Qurashy penuh cemooh.

Tepat hari ini, 29 Oktober, Konstantinopel direbut oleh Muhammad Dua. Ia kemudian lebih dikenal dengan nama Muhammad Al-Fatih. Kota itupun berganti nama menjadi Istanbul artinya Kota Islam.

Jauh sebelum kisah ini populer, saya sudah mendengar tentang tidak ada satu yang tidak mungkin bagi seorang anak, seperti Muhammad Al Fatih, bila orang tua mendorong semangatnya, membesarkan jiwanya, meninggikan angannya.

Sebagai penulis, saya banyak berdiskusi dengan orang hebat, di Universitas Negeri, maupun ‘Universitas Masyarakat,’ saya beroleh cerita relevan tentang Fidel Castro.

Konon, setiap pagi sang ibu selalu berkata kepada Fidel kecil: “Kamu akan menjadi orang hebat.” Tidak peduli dengan cara apa, dengan apa dan bagaimana, Fidel kecil hanya tahu bahwa ibunya ‘menyiram’ bagai pupuk ke dalam batinnya, keyakinan bahwa ia akan selalu hebat.

Terlepas ia berpaham komunis, tapi di kemudian hari kita mengetahui bahwa Fidel Castro tidak tunduk pada negara adidaya AS sekalipun.

Saya terbiasa mencapai sesuatu hanya bermodal sungguh-sungguh. Kesungguh-sungguhan pula yang mengantarkan seseorang lebih berhasil dari seorang jenius sekalipun.

Itu pula sebabnya, beberapa bulan sebelum Afiq berangkat ini, saya pernah terbangun di malam hari. Saya merasa malam itu, Afiq yang kini tidur di rumah, satu saat akan tiba dan tidur di apartemen mahasiswa di Turki. Saking ingin impian itu tercapai, saya memotret empat sisi sudut rumah. Malam sedang tenang dan diam.

Nah berapa kalikah dalam sehari tuan dan nyonya mengimpikan, dan mencurahkan ucapan hebat kepada anak-anak yang sedang tumbuh dengan cita-citanya? Seperti suara ayah Muhammad Al-Fatih.
Berapa kali tuan dan nyonya menyatakan engkau hebat nak.

Satu saat engkau paling terdepan di antara kawan-kawanmu. Termasuk dalam hal-hal kecil. Saya memberi nama kata hebat pada nomor handphone anak saya.

Pada gilirannya, Afiq pun menjadi tahu, selain ayahnya, siapa yang bisa diajak bicara. Siapa yang menguatkan berarti satu frekwensi. Siapa melemahkan boleh diabaikan.

Selain ibu, hanya ayahlah lokomotif cita-cita seorang anak.
Muhammad Al Fatih sejak kecil didoakan ayahnya. Fidel Castro sejak kanak-kanak ‘dilambungkan’ ibunya. Tidak mungkin persiapan berangkat menjadi lemah karena suara yang tidak senada.

Di samping kisah masa kecil, Istanbul terukir dalam buku: “Melawat ke Barat,” karya Adinegoro, ketua pertama Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Saya beroleh buku itu hadiah dari Merzah Diomarta teman SMA 1 Duri, saat berkunjung ke rumahnya di Pasar Minggu. Adinegoro adalah mamak kandung Merzah.
Istanbul, kata Adinegoro, adalah kota yang paling indah dibanding kota manapun di Eropa. Selain alamnya, tata kotanya, arsiteknya, Istanbul memiliki langit yang indah.

Selama enam (6) abad berjaya, Turki Ustmani mewariska karya arsitektur yang tinggi. Dari jurnal sejarah Turki saya kemudian juga mengetahui, ada 300 masjid yang asitekturnya mirip Agya Shofia. Masjid kebanggaan Sultan Turki yang dijadikan museum oleh Mustafa Kamal. Pemimpin yang akhir hayatnya menderita, serta kini mayatnya sangat busuk.

Dari youtube saya kemudian tahu masjid kampus Afiq di universitas Sakarya , dua jam kereta api dari Istanbul, mirip dengan Agya Shofia. Tapi Agya Shofia memang yang paling terkenal dan terbesar.
Apakah Afiq memang hebat, seperti yang telah saya bayangkan? Bisa jadi tidak. Saya sudah menghitung ada 10 lamaran beasiswa, kerja, ASN, dan tes masuk universitas dalam negeri, termasuk dua (2) universitas Turki yang Afiq coba. Semuanya gagal.

Pertama, saat saya ke Riau dalam rangka wisuda 10 April 2021 lalu, Afiq baru selesai mengabdi di Pondok Pesantren di Belilas, Rengat. Saat itu ijazahnya belum keluar. Sementara ketika kembali ke Jakarta, ssjumlah teman sudah mengumumkan anaknya lulus di berbagai universitas terbaik. Saya iri dalam hati.

Iri itu semakin dalam saat Agustus sudah diumumkan lamaran beasiswa kedua, yang juga gagal dari Turkiyes Buslary.

Masa Afiq tak lulus salah satu universitas negeri di Jakarta. Ah masa. Tega benar man? Tapi begitulah kenyataan.

Saya mengambil hikmah dari semuanya. Bisa jadi ini pelajaran agar Afiq lebih bijaksana.
Sebab saya ingat enam tahun lalu. Afiq masuk pondok pesantren, saat saya juga sedang mengambil S3. Saat masuk kami memang tidak punya uang yang cukup. Uang masuk pondok Rp 6.5 juta bisa diangsur.
Masalahnya bukan hanya uang. Melainkan perlengkapan pondok, seperti baju kemeja khusus, sepatu pantopel yang ukuran kecil dibeli entah dimana, dan lain-lain. Bahkan karena belum dibeli, Afiq malah memakai kunci gembok bekas, untuk lemari santri agar barang-barang aman.

Berbeda dengan pandemi, awal masuk pondok kami datang setiap minggu.

Saat itu kami parkir di pagar depan. Ada tanaman bambu diantara pagar kawat sebagai pelindung..
Saat berdiri, Afiq lalu berkata: mengapa ayah tidak bekerja. Air mata Afiq jatuh sambil terus menatap saya. Di luar, tak jauh dari kami berdiri, mobil dan motor terus berlalu-lalang.

Suaranya sedikit membuat reda, apa yang dirisaukan seorang anak kepada ayahnya. Saya menjawab seadanya.

Saya bekerja sebagai penulis. Menyebabkan saya banyak di rumah, seperti orang yang tidak bekerja. Saat uang belum diterima, terlihatlah bahwa penulis itu adalah seorang pengangguran, bahkan seorang pemalas.
Orang tidak tahu bahwa pencapaian saya sebagai penulis mungkin lebih tinggi dari sejumlah akademisi. Bisa jadi saya sudah profesor bila ada status sebagai dosen. Bisa jadi pula tidak banyak dosen di Indonesia yang pernah terpilih sebagai Peneliti Terbaik bidang Sosial budaya pada Lomba Pemilihan Peneliti Muda LIPI.
Bisa jadi pula, tidak banyak dosen, bahasa dan ilmu sosial sekalipun, yang mampu menulis novel. Padahal saya lulusan Fakultas Olahraga, yang latihan fisik bisa membawa mahasiswa penyakit kuning atau typhus. Kapan mau membaca, apalagi menulis.

Itu sudah menjadi label (teori labeling) karena kenyataan begitu adanya. Buktinya kala tawaran dari Penerbit Angkasa itu datang. Pak Fachri Said, Dirut Penerbit Angkasa, sudah membuat ensiklopedia di bidang bahasa dan ilmu sosial. Tidak ada, katanya nih, yang menulis, apalagi populer dari orang olahraga. Itu saya kerjakan di sela-sela menjadi tenaga ahli anggota DPR-RI.

Masa memang selalu berputar. Dan saat Afiq masuk pondok itu, adalah masa ketika roda di bawah. Apalagi di tengah anak-anak beranjak remaja, saya bagai pendekar jurus mabuk: melanjut S3, tanpa beasiswa.

Mungkin karena ikhlas, setahun kemudian saya diajak teman sesama S2 menjadi editor buku-buku ilmu kepolisian. Tahun berikutnya, dua tahun berturut-turut, menang lomba Gerakan Literasi Nasional, Kemendikbud RI. Beberapa kali Pak Zulham mengajak mengajar dan menjadi narasumber di beberapa kementerian RI.

Saat mengisi lembar CV untuk badan dunia, saya coba-coba melamar untuk Unicef dan Unesco, semua karya itu ditampilkan. Juga diuraikan.

Satu teman, Irwanto namanya, mengatakan pencapaian yang tidak biasa dan mudah, berisi 11 lembar CV itu. Semua menonjolkan bahwa saya penulis dan editor. Lamaran ke lembaga itu tidak diterima. Akan tetapi, saya menganggap tidak ada yang sia-sia.

Menulis adalah berfikir, membaca dan menghayal. Dari banyak bacaan itulah saya tahu negeri-negeri yang jauh.

Bila kemudian saat itu saya berdoa: “andai bukan saya yang sampai ke sana, mudah-mudahan anak saya.” Allah Tuhan yang Maha Memaksa, akan mudah mengabulkan tanpa memberi tahu bagaimana caranya.
Pada pukul 03.00 dini hari Ahad, 3 Oktober 2021, saya sudah berada di rumah. Pesan WA kemudian masuk bahwa Afiq sudah masuk pesawat.

Mewah dan banyak oleh-olehnya. Jelas Afiq sambil mengirim video pendek suasana pesawat menjelang mengudara.

Dalam keadaan mengantuk, karena ingin sholat subuh dulu, saya mencoba me-Wa Afiq. Tidak ada jawaban. Sampai pukul 04.10 saya terbangun, karena ada pengumuman di Masjid. Ternyata saya tertidur di kursi depan.

Pesan WA ke Afiq masih check list 1. Hp nya tak lagi Aktif. Afiq seorang anak penulis dari Nagari Keramat, Indonesia, menginjakkan kaki siang harinya di Konstantinopel. Eh, Istanbul. Adidaya Romawi Timur yang ditunduk seorang Panglima Islam yang didoakan ayahnya sejak kecil.

Tepat hari ini adalah Kemerdekaan Turki, 29 Oktober 2021.
DIRGAHAYU KEMERDEKAAN
NEGARA TURKI. ALLAH MEMBERKAHI BANGSA DAN NEGERI MU. JUGA PENUNTUT ILMU YANG MENJEJAKKAN KAKI DI TANAHMU. AAMIIN
Bagaimana sesama anak Pondok menyambut di Bandara Internasional Istanbul?


One thought on “Kabar dari Turki (1): Kala Etihad Mengangkasa.

  1. Vannes says:

    kisah yang menginspirasi, terlebih terdapat sejarah bagaimana konstatinopel di taklukan oleh seorang pemuda yang dijanjikan dalam perkataan nabi muhammad.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *