Pada pukul 12.00 siang, Ahad 3 Oktober 2021, masuk pesan wa dari Afiq. Isinya ringkas saja: “Afiq mau transit Yah, kini sudah di pesawat di Abu Dhabi menuju Istanbul.”
Usai itu, ada panggilan video. Afiq dalam perjalanan menuju pintu pesawat dengan penerbangan EY 97 itu. Afiq juga mengabarkan sebentar lagi pesawat akan berangkat,
“Kok Afiq nga nelpon dari tadi?” tanya Bundanya, tak sabar.
Tadi, jawab Afiq, memastikan naik pesawat dulu. Setelah sampai di area keberangkatan EY 97 baru menelpon agak 10 menit.
Tak lama kemudian HP tersebut non aktif. Pesawat sudah berangkat. Tak lama kemudian, di status Wa, Afiq memuat foto udara yang menyorot kota Abu Dhabi.
“Good bye Abu Dhabi,” tulisnya.
Telpon Afiq baru terdengar lagi pukul 14.00 waktu Istanbul. Saat itu, Afiq sudah berada di bagian luar Bandara Internasional dengan kode IST itu.
Ia duduk di bangku, dengan tas ransel dan tas pakaian tampak diletakkan disamping duduknya. “Afiq sudah menunggu Deri yah,” katanya.
Deri belum sampai?
“Belum, Satu jam lagi katanya,” jelas Afiq.
Lalu dengan siapa Afiq duduk. Menunggu?
Ini ada kakak mahasiswi Istanbul University dari Bandung, sudah semester 7.
Oh.
Kakak yang tidak disebutkan nama dan foto atau videonya itulah yang menemani Afiq keluar Bandara. Juga tempat menunggu Deri.
Siapa Deri?
Deri adalah mahasiswa di Universitas Sakarya. Ia berjumpa dengan Afiq, saaat menjadi santri Gontor wajib mengabdi, dan terpilih di Darunnajah 8, Gunung Sindur, Pondok Afiq. Kala itu, Afiq siswa senior dan pengurus OSDN. Singkatan Organisasi Siswa Darunnajah, yang beroleh wewenang mengatur serta mengajar kelas sore siswa SMP, dibawahnya.
Jadi afiq sudah akrab dengan Deri sejak setahun lalu. Tapi tidak menyangka kakak kelas itu sudah berada di Turki. Soalnya, jauh sebelum itu, Afiq mengontak Bontang, kakak kelas Darunnajah, dua tahun di atas Afiq, atau satu tahun di atas Deri.
Dengan Bontang pula Afiq banyak berkeluh-kesah soal keberangkatan. Termasuk penyemputan. Tapi saat Afiq menyebut awalnya berangkat 18.00 dengan Qatar Airways, Bontang sedang berada di Ankara. Istanbul Ankara berjarak lima jam perjalanan dengan kereta api, bagai Jakarta-Semarang di kita.
Sepuluh hari sebelumnya, yakni 20 September, Bontang yang pulang ke Indonesia telah kembali ke Turki. Dari Tangerang, ia bersama ayah ibu, mungkin juga dengan adik-adiknya, berangkat ke Turki.
Afiq tahu sehari sebelum berangkat. “Nanti dijemput Deri,” kata Bontang.
Dari Bontang diperoleh informasi bahwa Bandara terdekat dari Sakarya adalah SAW. Singkatan Shabiha Gokcen. Dari sana, ada bis, sekali naik, satu jam akan sampai di Sakarya.
Akan tetapi, sesuai jadwal tersebut, Afiq akan tiba pada pukul .04.00 pagi waktu setempat. Pagi sekali. Deri saat itu tidak menyatakan keberatan soal penjemputan.
Situasi itu menjadi makin mudah bagi Deri, saat diberitahu, Sabtu pukul 19.00 wib, Afiq gagal berangkat dengan Qatar Air.
Apa sebab?
Penyebabnya bukan masalah yang misteri. Melainkan masalah yang mestinya sudah diketahui dari awal. Yakni Afiq yang masih ber-visa turis, satu bulan, harus memperlihatkan tiket pulang-pergi.
Semua masalah di boarding sudah beres. Satu tas pakaian Aiq sudah masuk dan diletakkan di samping petugas konter. Afiq kembali ke saya di deretan bangku tempat menunggu, namun dalam tempo 1 jam harus memesan (issued) satu tiket baru Istanbul-Jakarta.
Begitu peraturan imigrasi. Saya tahu dari dulu, tapi alfa untuk mengantisipasi ini, karena yakin sesampai di Turki Afiq sudah masuk kelas Tomer, Toefl nya Turki.
Tiada jalan lain, saya mencoba mencari tiket tersebut dengan aplikasi pegx-pegx.com. Juga vxa.com, yang lama saya gunakan, bahkan pernah menjadi agennya.
Naas dikata, harga tiket itu di atas Rp 8 juta sekali jalan. Ada yang 10 juta, dan disebut dapat dikembalikan. Belakangan saya tahu pengembalian bisa memakan waktu lama, dengan potongan administrasi yang besar.
Pada 18.15 petugas itu datang. Memakai jas, berdasi dan ramah. “Bagaiamana pak, sudah ada tiketnya?” tanyanya.
“Minta waktu 15 menit ya,” jawab saya percaya diri.
“Tidak bisa kelihatannya pak, sebab tinggal 15 menit, tidak mungkin mengejar ke pesawat,” jawabnya.
“Coba dijadwal ulang, nanti ada pemberangkatan jam 01.00,” terangnya.
Saya pun menyalaminya. Di tengah tidak ada pilihan lain. Saat saya minta berfoto. Ia menolak. Kemudian berlalu.
Saat tidak jadi terbang, kami berpindah-pindah lokasi duduk, menghilangkan rasa bosan.
Aisyah sudah mulai jenuh. Suci yang lapar sudah makan nasi rendang dan cabe merah ayam goreng, bekal yang dibungkus daun pisang dari rumah.
Saat itu pula, saya melihat seorang lelaki berusia lebih kurang 55 tahun berteriak ke sana kemari mencari tasnya yang hilang. Ia seperti orang mabuk, sambil menelpon entak kepada siapa.
“Mana tas saya, Bapak di mana? Ini tas saya tinggal sebentar aja ke toilet, hilang,” katanya.
Jelas orang ramai, siapa di belakang kita mana kita tahu.
Dalam pikiran belum tenang, saya tidak nyaman ada orang kehilangan itu. Memang kamu bodoh, kata saya dalam hati. Mana ada orang meninggalkan tas di area publik.
Tapi, balas saya dalam hati, betulkah ada maling di Bandara? Ada CCTV, ada Satpam, Bandara Internasional pula? Ada pikiran saya untuk menvideokan peristiwa itu secara diam-diam. Kalau dimasukkan ke media sosial, betapa akan beragam tanggapan. Kasihan, simpati atau sebaliknya. Tapi saya tak sanggup melakukannya.
Betulkah Bandara kita kurang aman? Ah, saya memang tidak mengerti. Sekadar punya pengalaman. Begitulah adanya.
Demi kenyamanan, saya mengajak Afiq dengan kereta dorongnya pindah duduk. Suci yang masih menghabiskan nasi rendangnya, pun saja gulung dan ajak menjauh. Di jalur sisi luar jendela kaca, kami menenangkan diri.
Lebih kurang 30 menit kemudian lelaki tadi sudah tak kelihatan di sana. Saya kembali ke tempat itu. Sebab di sana pula ada colokan cas HP, yang sudah redup sejak petang tadi.
Di kolam ikan koi, yang bisa duduk di jembatan kayunya, di sanalah saya mencolokkan HP. Semua kami beserta anak-anak duduk di situ.
Sejak tadi saya belum sholat magrib. Bukankah boleh di jamak taqhir, sehingga boleh magrib dan isya tengah malam nanti. Tapi kemudian saya memutuskan untuk ke Mushola. Jaraknya 100 meter dari tempat kami duduk, menuju parkir Terminal 2.
Di Mushola itulah usai sholat jamak qhosar, magrib dan isya, saya berdoa sepenuh hati. “Mudahkan ya Allah keberangkatan Afiq ini. terimalah ya Allah doa-doa saudara dan sahabat yang mereka curahkan panjang dan lengkap melalui facebook. Yang satupun belum sempat saya jawab. Kecuali tanda love, super itu.”
Sholat sudah. Perut terasa mulai lapar. Beruntung kami membawa lebih nasi bungkus. Daun pisang menjadikannya tidak basi walau dari ppagi dibawa dari rumah. Untuk pelengkap makan, popmie yang awalnya mau dibawa Afiq untuk perjalanan, terpaksa diseduh.
Sambil casan HP terus bertambah, kami makan ‘bataji’ sambil tertawa. Seperti tidak terjadi apa-apa.
Aksi dimulai dengan bismillah untuk menjadwal ulang tiket ini sesuai arahan pihak Qatar Airways. Saya menelpon beberapa teman dekat yang mungkin bisa diminta bantuan dan arahan.
Tapi telpon dari Efran, adik kelas Fakultas Olahraga, lebih dulu berdering. Efran adalah tenaga ahli di DPR-RI, tapi tidak pernah berjumpa saya kala masih di DPR. Awalnya saya menduga Efran adalah pemuda Sunda. Ia besar di Bandung, begitu pertama saya dengar. Sewaktu di Fakultas Olahraga, jauh setelah saya tamat, ia menjadi aktivis mahasiswa terkemuka di Sumatera Barat. Semasa SMA, ia pernah menjadi Paskibra Nasional.
Siap Efran kemudian baru terbuka saat Mariyetno, kakak kelas yang dulu ketua BPM, datang ke rumah saya. Uda Yet kemudian menelpon Efran. Ini ada uda Andi, kata Da Yet, sambil memberikan HP ke saya. Efran langsung menyebut salah seorang orang Rao-Rao.
Saya langsung menebak, jadi Efran ‘babako’ (keluarga ayah) ke Rao-Rao. Iya, jawabnya. Dan Efran juga mengaku mengikuti semua yang saya tulis. Masya Allah, saya bagai beroleh adik yang hebat, walau sebelumnya menganggapnya jauh. Efran ayahnya dari nagari keramat ini, tapi ibunya Majalengka.
Efran mengakuatirkan Afiq, begitu tahu gagal berangkat. Bila ada infro ini sejak awal, katanya, Efran akan datang ke Bandara. Dukungan yang membuat haru. Saya meyakini dalam hati, insyaallah semua ini teratasi. Doa saya seakan dijawab Allah saat di Mushola tadi. Buktinya telepon Efran menggambarkan saya tidak sendiri. Efran mencari cara bagaimana menjadwal ulang tiket. Bisa jadi protokoler pemerintah bisa membantu. Efran mungkin punya akses lebih.
Sama seperti Efran, saya juga minta nomor telpon Humas Qatar Air. melalui adinda Hendra Redaktur di Bisnis Indonesia. Telepon diangkat. Agak panjang lebar, akhirnya saya pahami, penjadwalan tiket memakan waktu dan proses yang lama.
Demikian pula Dr. Samsul Bahari, teman sama aktivis di IKIP Padang, dan sama S3 di UNJ. Sam, begitu panggilanya, saya kira tepat membantu. Tentu ada rekanan di kantornya, Dephan, yang bisa mengurus dengan mudah, “Saya lelah menyerah,” begitu bahasa saya agar Sam yakin membantu.
Begitu tiket itu batal, teman teman baik ada yang spontan meringankan biaya. Seperti Pak Fuad Nasar, serasa tak bisa dibalas kebaikannya. Demikian pula Yulmiati. Saah seorang adik di Yayasan Amal Saleh Padang, dosen STKIP dan kini kandidat Doktor di UNP. (Nama teman dan sahabat lain akan disebut juga di bagian lanjutan novel ini, sesuai peristiwanya).
Kata Afiq ke Bundanya: ayah banyak sekali temannya, dan baik-baik semua.
Sekitar pukul 21.00 sudah saya putuskan, harus membeli tiket baru pulang pergi.
Afiq bertanya, apakah ayah sering menghadapi hal ini? Ia bersungguh-sungguh. Bila tidak terbiasa, mungkin ayah sudah menyerah.
Ini adalah persoalan tiket. Kalau tiket itu dipenuhi, maka bisa berangkat, Berarti penuhi saja. Tiada jalan lain.
Ini adalah prinsip saat saya menyelesaikan disertasi. Kita sebagai yang dibimbing, harus mengikuti semua yang dimaui pembimbing. Bila membantah atau tidak mengerjakannya, berarti kita adalah orang yang tidak akan lulus.
Mahalnya sesuatu itu bukan karena kita menang karena menghindar. tapi bisa mengatasi dan lulus.
Afiq makin mantap. Ayahnya tidak mundur selangkah pun. Walau sebelumnya Bundanya mengajak pulang. Tapi Afiq jangan peduli apa kata orang. Saya tidak setuju itu.
Pencarian tiket di mulai. Ternyata tiket PP jauh lebih murah. Entah apa sebabnya. Ada yang Rp 5,5 juta. Setelah dicoba booking tapi gagal bayar. Kemudian naik menjadi Rp 6.1 juta. Masalah ada pada pilihan cara bayarnya.
Vxa.com hanya menunjuk satu bank saja: BCx. Saya kemudian menelpon Rizon, ketua kelas di S1. Rizon punya BCx link, dan bisa diopersikan dari rumah.
Rizon kemudian menyatakan gagal. Virtual Akun yang diberi tidak menerima. Singkat cerita, saya mencoba mengganti metode pembayaran. Itu pun tak bisa. Rizon terpaksa bersepeda motor berdua dengan Yuli, istrinya ke arah Margonda. Waktu sudah menujukan pukul 22.00.
ATM center sebentar lagi juga tutup. Rizon terpaksa beralih ke ATM yang buka 24 jam. Sementara bookingan tadi sudah batal. Bookingan baru, naik di harga Rp 6.5 juta, Saya mengiirm ulang 500 ribu lagi kepada Rizon. Saat saya telpon, Rizon sedang di sepeda motor, HP Diangkat Yuli. Tunggu da Andi, katanya, ada suara angin berisik karena melintas malam.
Sementara Afiq terus mencoba aplikasi vxa.com. Maha Perumah Allah, pada saat itu keluar harga tiket lebih murah, Rp 4.8 juta. Pembayaran bisa dengan atm. Saya buru-buru menelpon Rizon. jangan dibayar/tranfer.
Sebab ini ada harga murah. Uang di Rizon juga saya biarkan. Sebab ada sisa uang Afiq, dan sedikit di atm saya yang cukup untuk tiket itu.
“Ini bisa Ndi, pake kode 013 ternyata,: kata Rizon,
“Iya, tapi jangan Son,: kata saya.
Setelah dua kali ganti kartu, saya dan Afiq, pembayaran terbuka. Saya dua kali mempeloti layar atm, bahwa nomor pesanan sudah benar. Alhamdulillah, tiket itu jadi. Rizon pun bergerak pulang. “Nanti sampai di rumah saya tranfer ,” katanya.
Iya, terima kasih.
Pukul 22.00, saya baru bisa bernafas lega. Saat itu baru teringat badan sudah kering sejak tadi bekeringat. Saat itu pula baru ada rencana ke parkir mobil untuk mengambil bantal Aisyah. Ia tak bisa tidur, kalau tidak pake bantalnya itu. Saat itu pula baru mau mengisi botol air mineral, disalin dari air minum yang dibawa dari rumah.
Sebab saat tiga jam yang menegangkan itu, saya serasa tak sanggup berjalan. Ingin duduk dan tenang di tempat. Air mineral besar dijual di depan kami, Rp 25.000. Ok beli aja, kata saya kepada Afiq.
Saya teringat ajaran mamak Prof. Husni Rasyid Datuk Paduko Sinaro. Ada saatnya uang tidak ada harganya. Menghadapi situasi di Bandara ini, saya mengatakan ke Afiq, yang mahal saat ini bukan uang. Tapi kepastian. Asal Afiq berangkat, sampai tiga hari pun ayah tunggu di Bandara.
Ada tiga kali telepon pak Zulham berdering di kala itu. Tapi sedang memesan tiket dan sedang tegang. Terakhir saat menuju pulang pukul 02.00. Saya tolak panggilan wa, karena HP dipakai untuk navigasi.
Haji Erimen juga mnyesal baru tahu kobdisi itu. Kalau diberitahu ia akan membawa makanan ke Bandara. “Awak atm Bcx ado, kartu kredit ado,” katanya. H. Erimen tidak basa-basi. Ia selalu ada dan bersungguh-sungguh setiap kawan dan sesama perantau yang kesusahan.
Setelah mandi, barulah saya tahu keadaan Bandara di malam hari. Ada mba dari Brunei, akan terbang dengan Citilink pukul .05.00. Ia sengaja bergerak ke terminal 2, karena di sini aman untuk tidur.
Menuju Konter Etihad, ada penumpang yang mencas hp. Ia tidur sementara barang dan tasnya dia taruh disampingnya. Minuman dan makanan ia taruh di atas meja. Ia menunggu pagi.
Afiq lalu memberi tahu kepada Deri bahwa ia akan turun di Istanbul, tidak di SAW seperti awalnya. Deri pun menyambut gembira, Soalnya ia memang sedang di Istanbul, Kalau ke SAW di pagi hari, biungung menjemputnya. Tidak tau harus menginap di mana.
Pukul 15.00 Afiq sudah bertemu Deri. Ia ditemani dua teman dan dua santriwati Istanbul. Afiq dibawa berkeliling sebentar. Sambil mencari makan siang. Tas dan pakaian Afiq ditiitip di apartemen salah satu teman, mahasiswa Istanbul itu.
Magrib di Istambul, adalah pukul 12.00 malam di kita, Indonesia Barat. Saya tidak mengikuti lagi Afiq dimana. Dari WA saya ketahui, Subuh waktu Indonesia, Afiq menvideokan kamar tempat menginap.
Ia tidur di ruang tamu besar, dengan dua sofa empuk, dan banyak bantal di atas karpet tebal. Saya berucap alhamdulillah.
Kini tiga anak Pondok, Dua Darunnajah 8 dan satu Gontor berkumpul di Turki. Hari kedua Afiq pindah ke apartemen lain, tak jauh dari kampus. Hanya 5 menit dengan angkotnya bermerek Mercy.
Di sana Afiq bertemu dengan teman seangkatan Deri di Pondok. Ia datang ke Turki karena ada Deri di sana.
Tahun depan, bisa jadi akan ada kawan seangkatan Afiq yang menyusulnya ke sana. Turki sebagai Eropahnya, biayanya, kualitas pendidikannya, dan solidaritas anak pondoknya.
Bila tuan dan nyonya punya anak di Pondok, yakinlah bahwa tuan dan nyonya lebih beruntung. Anak pondok siap dengan dua bahasa: Inggris dan Arab. Dia juga saling membawa kawan kalau berhasil.
Berbeda dengan pendidikan non pondok. Ia hanya memperagakan hebatnya ia ke luar nageri. Tapi tidak pernah bisa membawa atau menunjukkan jalan kepada kawannya. Kawan baginya adalah pesaing. Bila perlu ia saja yang tahu luar negeri. Bila teman atau orang lain juga tahu, seolah-olah tidak ada lagi yang akan mendengar bualannya. Wallahu alam.